Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teroka

Cita-cita yang Tak Tercapai

Artidjo Alkostar mudah tertantang. Ia rela mengesampingkan kesehatannya demi membenahi dunia hukum di Indonesia. Mantan hakim agung itu berpulang pada Ahad, 28 Februari lalu. 

6 Maret 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Semasa kuliah, Artidjo Alkostar tak bisa duduk diam ketika melihat peristiwa yang menurutnya tidak adil.

  • Setelah lulus kuliah, ia menerima tantangan menjadi dosen untuk memperbaiki almamaternya.

  • Sikap Artidjo yang semula terbuka perlahan berubah begitu menjadi hakim agung. Baginya, putusan hakim agung harus murni berdasarkan keyakinan diri, tanpa pengaruh orang lain.

PESAN itu mampir ke telepon pintar saya dari nomor milik Artidjo Alkostar, Ahad, 4 Februari 2018, pukul 08.00. Isinya singkat dan terkesan instruktif. Ia berharap bisa bertemu dengan saya di rumahnya di bilangan Sidoarum, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Seminggu sebelumnya, ketika kami berjumpa di Mahkamah Agung, Artidjo memang mengatakan ingin menunjukkan sebuah buku lawas hasil penelitiannya berpuluh tahun lampau. Buku itu berisi hasil analisisnya sewaktu melihat kehidupan para gelandangan di Ujung Pandang—kini Makassar.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku terbitan 1980 itu bersampul cokelat dengan gambar karikatur seorang laki-laki. Di sana-sini, kertasnya mulai usang dan beberapa bagiannya dimakan rayap. Meski begitu, judulnya yang terkesan puitis, Insan Kesepian dalam Keramaian, membuat saya tergelitik dan tergerak membacanya lebih lanjut. Artidjo yang memilih sendiri judul itu, tanpa bantuan editor buku.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Semua itu berawal pada 1979. Ia mulai menyusun rancangan penelitian yang diajukan ke Pusat Latihan Penelitian Ilmu-ilmu Sosial. Sebagai dosen hukum pidana yang baru bergabung dengan Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII), Yogyakarta, pilihannya meneliti kajian sosial tentu tidak biasa. Apalagi ini berhubungan dengan gelandangan. Namun hal itu bisa dimengerti apabila ditengok kiprahnya yang cukup aktif di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta. Kebiasannya bergelut dengan persoalan struktural membuat pilihannya mengambil tema sosial seperti gelandangan menjadi masuk akal.

Beruntung Artidjo telah mengenal Syamsul Ridjal, yang kala itu menjabat Kepala Subdirektorat Direktorat Khusus Sosial Politik Provinsi Sulawesi Selatan. Berbekal perkenalan itu, ia mendapat tempat singgah selama lima bulan mengerjakan penelitian. Syamsul dikenal sebagai dermawan dan rumahnya menjadi tempat singgah orang miskin.

Ditemani Suse Daeng Tarang, sopir pribadi Syamsul, Artidjo berkeliling untuk menemui para gelandangan di Ujung Pandang. Tarang paham betul sisik-melik Ujung Pandang karena ia bekas gelandangan. Berbekal sepeda motor C70 merah, mereka berdua, nyaris setiap malam, berputar-putar dan bertemu dengan orang yang tak punya rumah serta makan seadanya di emperan toko. Artidjo rela tidur bersama mereka. Ia bahkan hafal kehidupan mereka, dari hal yang umum, misalnya cara memperoleh uang, sampai yang bersifat pribadi, seperti cara berhubungan seksual agar perempuan tak hamil meski tanpa alat pengaman.

Apa yang diteliti Artidjo secara tidak langsung membentuk karakter dan pribadinya. Ia terbiasa menghadapi persoalan marginal dan struktural. Apalagi ditambah dengan pergulatannya ketika berada di LBH Yogyakarta dan menangani berbagai kasus, dari yang sepele sampai perkara yang melibatkan institusi militer yang dikenal dengan petrus alias penembakan misterius. Keterlibatan dalam persoalan-persoalan itu membuat Artidjo tangkas dan berani serta cepat dalam mengambil keputusan.

Untuk memahami sifat Artidjo, latar belakang kehidupannya di Situbondo, Jawa Timur, tak bisa dilepaskan. Sejak kecil ia bukan anak pendiam, bahkan justru terkesan bandel. Sebagai anak sulung, ia mendapat didikan keras dari keluarganya. Perkenalannya dengan dunia hukum justru terjadi ketika ia masih duduk di sekolah dasar. Ayah Artidjo, yang merasa tak bisa mengendalikan sifatnya, rela menjebloskannya ke bui, meskipun cuma satu hari. Penyebabnya bukan tindak pidana, melainkan kebiasaannya bolos sekolah yang membuat ayahnya murka. Dengan niat memberikan sedikit pelajaran, sang ayah bersekongkol dengan seorang polisi untuk menjemput Artidjo dan menginapkannya di sel kepolisian sektor setempat. Persekongkolan itu membuahkan hasil. Artidjo tak lagi berbuat aneh dan memilih melanjutkan sekolah.

Menempatkan pendidikan sebagai muara untuk berkiprah adalah tujuan keluarga besar Artidjo. Setelah Artidjo lulus sekolah menengah atas, ayahnya mendorongnya kuliah di Yogyakarta. Itu hal yang tak lazim karena kebanyakan teman Artidjo memilih bekerja atau melanjutkan pendidikan ke pondok pesantren. Artidjo adalah orang kedua di Situbondo kala itu yang memilih kuliah dan tinggal jauh dari orang tua.

Semasa kuliah, Artidjo tak hanya duduk diam sembari mengerjakan tugas dari para dosen. Artidjo rela menempuh berbagai cara, termasuk berdemonstrasi, ketika melihat peristiwa yang menurut dia tidak adil. Dia mencermati banyak hal, dari pendidikan di kampus sampai isu nasional. Dari sisi ini, mulai terkuak sifat Artidjo yang sebenarnya tak bisa lari ketika mendapat tantangan. Di kemudian hari, sifat inilah yang melatari keputusannya mendaftar menjadi hakim agung melalui jalur nonkarier. Begitu juga ketika ia terpaksa melanggar janjinya pensiun dan beternak kambing di kampung halaman.

Tantangan pertama datang ketika Artidjo lulus dari Fakultas Hukum UII. Lama menggaungkan perubahan di tubuh kampus, dia justru diminta langsung memperbaikinya. Caranya: menjadi dosen di kampus yang selama ini ia kritik. Permintaan ini datang dari petinggi kampus. Ini tantangan yang menurut dia tak bisa ditolak dan langsung ia sanggupi. Artidjo bahkan tak pernah berpikir berapa gaji yang akan ia terima.

Latar belakangnya sebagai aktivis kampus membuat ia tak berjarak dengan mahasiswa. Status boleh berganti, tapi tabiat kesehariannya tak berubah. Artidjo tetap menjadi pribadi yang menyenangkan. Mahasiswa kerap berdiskusi dengan dia layaknya kawan, bahkan diperbolehkan meminjam buku koleksi pribadinya. Tak jarang mereka bersama-sama menonton film India yang diputar di bioskop setempat. Cara mengajarnya berbeda dengan kebanyakan dosen pada waktu itu. Hal itu terpengaruh oleh aktivitasnya sebagai pengurus LBH Yogyakarta yang menangani masalah orang-orang yang terpinggirkan.

Ketika tantangan menjadi dosen telah ia sanggupi, muncul tantangan kedua yang lebih heroik dari Yusril Ihza Mahendra, yang kala itu menjabat Menteri Kehakiman. Semula Artidjo menolak menjadi hakim agung dari jalur nonkarier. Alasannya tegas: tak mungkin dunia peradilan bisa diperbaiki saking banyaknya hakim yang bisa disuap. Tapi Yusril menyatakan hal yang nyaris sama dengan petinggi kampus yang menginginkannya menjadi dosen. Jika memang ada yang rusak, harus ada orang yang bisa memperbaiki. Tantangan itu pun akhirnya dipenuhi Artidjo.

Di titik inilah sebenarnya sikap Artidjo perlahan berubah. Ia semula orang yang terbuka dan bisa berkawan dengan siapa saja. Begitu menjadi hakim agung, ia menunjukkan sikap sebaliknya. Artidjo memegang prinsip teguh. Hakim agung harus percaya kepada Tuhan dan diri sendiri. Putusan hakim agung harus murni didasari keyakinan diri, tanpa pengaruh orang lain. Selama berpuluh tahun menjadi hakim agung, ia memilih menyendiri, jarang berkomunikasi dengan kawan, bahkan menyimpan penyakit yang dideritanya. Ia tidak menceritakan penyakitnya kepada orang lain, termasuk dokter.

Artidjo tak pernah bisa tertawa lepas. Napasnya juga terkesan pendek-pendek. Setiap kali ada pertanyaan saya yang mengundang tawa, ia hanya tertawa tertahan. Seolah-olah ada sesuatu yang menekan dadanya. Termasuk ketika saya menyinggung soal pribadinya, tentang pacar pertamanya. Ia menceritakannya dengan penuh semangat, bahkan menunjukkan sebuah foto dan surat cinta yang sangat lusuh. Semangat itu tetap tak bisa mengalahkan batuk-batuk kecil yang selalu muncul.

Saya berkesimpulan: ada yang salah dalam dadanya, ada yang salah dengan paru-parunya. Kesimpulan itu saya simpan rapi dalam hati, tak bisa saya keluarkan secara serampangan karena saya tidak ahli di bidang kesehatan. Saya bukan dokter. Maka, ketika ia berikrar dan berjanji setelah pensiun sebagai hakim agung bakal pulang ke kampung halaman dan beternak kambing, saya sepenuhnya setuju. Minimal ia akan lebih tenang dan jauh dari hiruk-pikuk serta kotornya udara Ibu Kota, keluar dari kungkungan penyejuk udara dan kembali bertemu dengan sawah, udara segar, suara gemercik aliran sungai.

Hanya, beberapa tahun kemudian, Artidjo melanggar janjinya sendiri. Ketika ia tiba-tiba menerima jabatan anggota Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi, saya langsung teringat batuk-batuk kecil yang dideritanya. Saya juga paham, ini pasti berhubungan dengan tantangan yang sama sekali tak bisa ditolaknya, yaitu memperbaiki dunia hukum di Indonesia. Itu seolah-olah menjadi jawaban mengapa Artidjo rela mengesampingkan suara kambing yang semula ia idam-idamkan.

PUGUH WINDRAWAN, PENULIS BUKU BIOGRAFI ARTIDJO ALKOSTAR
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus