Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Daniel Dhakidae bukan hanya seorang kurator, tapi juga pelaku sejarah dalam perkembangan ilmu sosial Indonesia.
Pengalaman dalam dunia aktivisme mempengaruhi perspektif ilmiahnya; sebaliknya, perspektif ilmiahnya juga sering dia sumbangkan kepada aktivisme politik.
Dalam tesisnya, Daniel berargumen bahwa perkembangan dunia pers sebagai bisnis kapitalis besar telah berdampak pada perilaku jurnalistik di Indonesia secara amat mendasar.
DANIEL Dhakidae, yang wafat 6 April 2021 pada usia 75 tahun, dikenang sebagai orang yang berjasa membesarkan (walaupun tidak melahirkan) jurnal ilmu sosial paling terkemuka di Indonesia, Prisma. Ia dua kali memimpin jurnal tersebut di masa keemasan pada akhir 1970-an dan awal 1980-an, serta sejak membangunkannya kembali dari keadaan mati suri selama satu dasawarsa pada 2009.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Untuk hal itu saja Daniel sudah sepatutnya tercatat sebagai orang penting dalam perkembangan ilmu sosial Indonesia. Walaupun mengalami masa pasang-surut, jejak perkembangan ilmu sosial Indonesia pada dasarnya dapat ditelusuri lewat artikel yang dimuat di Prisma.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Namun Daniel patut dikenang pula untuk sumbangan karyanya sendiri. Ia bukan hanya seorang kurator, tapi juga pelaku sejarah dalam perkembangan ilmu sosial Indonesia. Karyanya amat relevan untuk setidaknya dua generasi ilmuwan yang muncul setelah dirinya. Kedua penulis artikel ini adalah wakil dari salah satu generasi tersebut.
Vedi Hadiz berasal dari generasi ilmuwan yang mengalami sosialisasi politik dan intelektual pada masa puncak kekuasaan Orde Baru yang otoriter. Generasi Inaya Rakhmani mengalaminya pada masa awal reformasi dan demokratisasi serta di tengah iklim neoliberalisme yang menguat. Suasana pengekangan terhadap gagasan dan karya intelektual amat mewarnai periode Orde Baru. Kendati reformasi diharapkan melahirkan berbagai gagasan baru dan segar yang dapat diperdebatkan secara terbuka lewat karya ilmiah ataupun di ruang publik, kenyataannya tidak sesederhana itu.
Otoritarianisme yang bergantikan demokrasi tidak serta-merta membuka pintu bagi zaman keemasan ilmu sosial Indonesia. Sampai sekarang, ilmu sosial di Indonesia masih tertinggal dibanding banyak negara tetangga, dengan jumlah publikasi yang rendah.
Penjelasannya mungkin dapat ditemukan dalam suatu tema besar yang mempersatukan sebagian besar karya Daniel, terutama setelah ia mengikuti program doktoral di Cornell University pada akhir 1980-an dan awal 1990-an. Tema tersebut adalah kekuasaan dan produksi pengetahuan.
Tentu tema itu sudah pernah menjadi fokus perhatian berbagai sarjana Foucauldian, Marxian, dan lainnya. Tapi Daniel membumikan berbagai persoalannya pada kondisi sejarah dan sosial Indonesia yang konkret. Walaupun perspektifnya dibentuk oleh pengalaman kegiatan intelektual pada masa Orde Baru, banyak pengamatannya mengenai patron-klientelisme dalam dunia intelektual masih berlaku, misalnya. Ironi tersebut ada baiknya disadari oleh para pelaku ilmu sosial masa kini, apalagi yang tidak pernah mengalami zaman represi negara yang keras.
Lagi pula, dengan perubahan masyarakat informasi yang amat cepat, pembatasan gerak intelektual bisa mengambil bentuk simbolik. Hal ini telah dituliskan Daniel dalam “The State, The Rise of Capital and the Fall of Political Journalism in Indonesia”, tesis PhD-nya pada 1991.
Daniel berargumen perkembangan dunia pers sebagai bisnis kapitalis besar telah berdampak pada perilaku jurnalistik di Indonesia secara amat mendasar. Akibatnya adalah suatu bentuk komersialisasi berita dalam konteks sistem kapitalisme yang logikanya berkesinambungan dengan logika represi politik (dan pembatasan pengetahuan) oleh negara yang otoriter.
Menyambung argumen itu, dalam karya besarnya yang lain, Cendekiawan dan Kekuasaan, Daniel mengalihkan perhatian pada pelaku produksi pengetahuan secara lebih luas, yaitu kaum cendekiawan. Walaupun membahas hubungan cendekiawan dan kekuasaan masa Orde Baru, dalam karya tahun 2003 itu ia sebenarnya membentangkan persoalan lebih global mengenai mitos produksi pengetahuan yang netral. Institusi-institusi yang memproduksi pengetahuan--termasuk universitas--selalu berkelindan dengan kekuasaan. Artinya, pengetahuan itu sendiri sarat dengan kepentingan dan pergumulan kekuasaan, dan akses terhadapnya tidak dimiliki setiap jenis kepentingan pada derajat yang sama.
Pengamatan atas kondisi politik otoriter seperti di masa Orde Baru berlaku juga untuk kondisi demokratis. Kita mengetahui, misalnya, kepentingan pemodal, yang berkaitan erat dengan kepentingan politik dominan, makin menguasai dunia pers dan pengetahuan. Universitas dan para ilmuwannya pun beroperasi di ruang kekuasaan; karena bergantung pada dana dari pasar mahasiswa dan dana pemerintah; belum lagi dari sektor bisnis, untuk menjalankan riset dan pengabdian masyarakatnya. Tema ini didalami oleh Daniel dalam buku Social Science and Power (2005, disunting bersama Vedi Hadiz).
Cara pandang umum Daniel mewariskan fondasi intelektual buat generasi-generasi ilmuwan penerusnya yang harus bergelut dengan persoalan kekangan praksis akademik pada masa demokrasi. Kekangan ini muncul melalui rasionalitas instrumental yang mendominasi dunia pendidikan tinggi, yang berdampak mengecilkan makna ilmu sosial--khususnya karena kerap mengkritik dampak pertalian antara pemerintah dan bisnis--dan juga jarang menghasilkan paten yang bisa dikomersialkan.
Fondasi intelektual ini kokoh karena karya Daniel menghubungkan teori atau konsep dengan data. Daniel gemar memakai teori besar tentang kapitalisme atau negara, tapi analisisnya mempunyai landasan empiris kuat. Ia mampu melakukan itu tanpa obsesi terhadap metodologi penelitian positivis yang sering kali menarik hubungan linear simplistis yang dijustifikasi oleh model-model yang mewah.
Pemahaman Daniel akan pentingnya data buat analisis tidak berhenti di tulisan. Daniel menduduki jabatan Ketua Litbang Kompas selama 12 tahun. Di bawahnya, infrastruktur penyimpanan data Kompas berkembang pesat dan mungkin menjadi model buat dunia pers secara lebih luas. Di sana, Daniel meninggalkan tradisi kaitan pemberitaan dengan analisis sosial.
Belum lagi perannya sebagai aktivis politik, misalnya lewat Forum Demokrasi di masa Orde Baru. Pengalaman dalam dunia aktivisme pasti mempengaruhi perspektif ilmiahnya; sebaliknya, perspektif ilmiahnya juga sering dia sumbangkan kepada aktivisme politik.
Ketelatenan Daniel mengumpulkan, mengorganisasi, dan menjahit catatan sejarah dengan pengamatan terhadap dunia mewarnai analisisnya di berbagai tulisan. Mungkin ketelatenan ini berhubungan dengan fakta bahwa Daniel adalah seorang poliglot; kemampuan berpikir dalam berbagai struktur gramatika, sintaks, dan semantik mempertajam cara Daniel membaca realitas sosial. Daniel pernah mempelajari Jawa Kuno dan Latin, dan menghubungkannya dengan bangkit dan gugurnya dinasti-dinasti besar di Timur dan Barat. Bagi Daniel, seperti struktur bahasa, struktur kekuasaan mengambil bentuk spesifik tapi tidak lepas dari bangunan sosial masyarakat yang lebih luas dan kompleks.
Nilai rasa ini muncul terutama dalam pidato kebudayaan berjudul “Membulatkan Lingkaran Kekuasaan” pada 2014, ketika Daniel menempatkan semangat kebangsaan di tengah globalisme dan globalisasi--sebuah premis yang masih terlihat pada aspirasi internasionalisasi perguruan tinggi hari ini. Daniel mengupasnya melalui simbol (seragam dan pakaian; lagu dan lirik) dan memposisikannya di tengah ekspansi dan perebutan wilayah kekuasaan Eropa Barat di Asia.
Kemampuan unik ini mengingatkan kami bahwa Daniel adalah seorang intelektual yang mampu menunjukkan bagaimana tutur dan tindak tanduk sosial menggambarkan reproduksi kekuasaan selama setengah abad ini, apakah melalui rezim politik ataupun ekonomi. Ironisnya, kemampuan ini datang melalui matanya yang terbuka pada dunia lewat pengalaman belajar di seminari di pulau kecil, Flores, Nusa Tenggara Timur, yang membawa imajinasinya ke Roma, Italia, dan Timur Tengah serta belahan dunia lain.
Konsep bisa hebat. Data bisa lengkap. Metodologi bisa canggih. Akhirnya diperlukan imajinasi juga untuk meraciknya. Itulah yang ditunjukkan Daniel--seorang ilmuwan yang sadar akan konteks sosial, politik sejarah tempat peracikan itu dilakukan. Ia meninggalkan kesan teramat mendalam untuk dua generasi ilmuwan; dan semoga seterusnya.
VEDI HADIZ (DIREKTUR ASIA INSTITUTE, UNIVERSITY OF MELBOURNE), INAYA RAKHMANI (DIREKTUR ASIA RESEARCH CENTRE, UNIVERSITAS INDONESIA)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo