Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Maestro seni lukis Srihadi Soedarsono dimakamkan sebagai pahlawan perang.
Srihadi tak ingin disebut sebagai pelukis Borobudur semata.
Ia juga melukis kaligrafi sepulang dari naik haji.
SRIHADI Soedarsono genap berusia 90 tahun pada 4 Desember 2021. Karena pandemi Covid-19, ia menyelenggarakan peringatan kecil di rumahnya, Jalan Ciumbuleuit 173, Bandung. Untuk meramaikan acara itu, para sahabatnya menggelar pertemuan Zoom pada siang hari. Dalam pertemuan Zoom, Srihadi Soedarsono tampak sekali sehat dan berbahagia. “Sayang ya, kita cuma bertemu secara virtual. Tapi tidak kurang indahnya,” katanya dengan penuh senyum. Dalam “pertemuan” sekitar 60 menit itu ia sempat menunjukkan sebuah maket yang megah dan indah. “Apa ini, saya rahasiakan dulu,” katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada Senin, 21 Februari lalu, Srihadi mengirim foto lewat pesan WhatsApp kepada saya. Foto itu merekam ia sedang tertawa lebar di studionya dengan wajah yang disemati alat berpipa menjuntai. “Pagi ini sedang nambah oksigen,” ia menulis.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bersamaan dengan itu ia mengetik rapi kisah pendek: pada 1949 ia ditugasi membuat poster film yang diputar di bioskop Ura Patria (UP), Solo, Jawa Tengah. Ia mengatakan produksi MGM dan Paramount paling banyak masuk di bioskop itu. Salah satu yang ia bikin posternya adalah film Easter Parade (1948) yang dibintangi Judy Garland dan Fred Astaire. “Duet Fred-Judy sangat menarik, saya lihat beberapa kali, mumpung gratis! Direksi UP memang ahli bikin kontrak film bagus-bagus,” tulisnya.
Tanggal 23 Februari adalah hari sangat baik bagi Srihadi dan Farida, istrinya, karena itu adalah ulang tahun perkawinan mereka yang ke-58. Keluarga mereka merayakannya dengan perhelatan kecil. Dan kami, para sahabatnya, mengirim bunga secara patungan. Srihadi segera meresponsnya dengan hangat. “Saya terharu. Kok ada yang tahu kami ultah pernikahan? Terima kasih kepada semua.”
Dari riwayat pesan WhatsApp dan pertemuan Zoom itu saya berkeyakinan Srihadi dalam keadaan sehat. Ingatannya masih luar biasa, bahkan atas peristiwa film 70 tahun silam. Meskipun demikian, terdengar kabar bahwa sebelum ulang tahun perkawinannya Srihadi sempat dirawat di Rumah Sakit Borromeus, Bandung, ditemani oleh Farida yang sekalian menjalani operasi lutut. Setelah semuanya sehat, dua sejoli yang rukun ini sengaja pulang ke Ciumbuleuit bersama-sama.
Pada Jumat, 25 Februari lalu pukul 02.55 WIB, Srihadi mengirim voice mail sepanjang 29 detik. Yang terdengar dalam voice mail itu hanyalah napas yang terengah dan tersekat. Tidak ada satu kata pun yang terucap di situ, meskipun tampaknya Srihadi berusaha berbicara. Di bawah voice mail, pada pukul 02.57, terkirim gambar stiker bertulisan “salam rahayu” , “matur nuwun”, dan “God bless you”. Kiriman ini baru saya buka pada sekitar pukul 6 pagi.
Pada Sabtu, 26 Februari lalu sekitar pukul 7, saya mendapat kabar mengagetkan: Srihadi Soedarsono telah wafat pada pukul 05.15 WIB. Saya tercenung lama, kurang percaya, sampai kemudian saya hanya bisa mengucap lirih, “Ah...Pak Sri, selamat jalan….”
Srihadi adalah figur penting seni rupa Indonesia yang saya kenal sejak 1980-an. Saya selalu menganggapnya sebagai guru.
Ketika seantero Indonesia mendengar kabar Srihadi wafat, berita yang muncul semua hampir sama topiknya: “Telah Pergi: Srihadi, Pencipta Lukisan Borobudur”. Keseragaman topik yang bisa dipahami, lantaran Srihadi memang sangat terkenal dengan lukisannya yang bertema Borobudur. Apalagi pada 2021 ia dianugerahi Sang Hyang Kamahayanikan Award oleh panitia Borobudur Writers and Cultural Festival. Namun topik berita yang seragam ini justru menggugah saya untuk menceritakan mengapa Srihadi sangat dekat dengan Candi Borobudur. “Peluhuran saya atas Borobudur berangkat dari Eyang,” ucap Srihadi pada suatu kali.
Eyang dari garis ayahnya itu bernama Raden Ngabehi Nojotjoerigo (baca: Noyocurigo). Sang eyang adalah priayi trah Pajang yang ahli pewayangan dan keris serta bekerja di Keraton Surakarta Hadiningrat kala masa kekuasaan Paku Buwono IX. Sebagai tetua yang ditugasi memelihara jagat wayang, Nojotjoerigo “memilih” Srihadi sebagai pewaris. Lalu hikayat Mahabharata dan Ramayana pun terus-menerus diresapkan ke dalam benak Srihadi yang kala itu baru berusia empat tahun. Dari situ sang Eyang lantas mengajak bocah ini melihat pentas wayang kulit Mahbharata di keraton. Juga mengunjungi Candi Borobudur, tempat lelakon Ramayana divisualkan.
Pada langkah lanjut Nojotjoerigo mengajarkan: untuk menuju ke kedalaman moralitas dan spiritualitas wayang, meditasi adalah jalannya. “Karena segala keriuhan wayang itu akan bermuara ke dalam keheningan. Sementara dalam keheningan seseorang akan mendengar semua keriuhan,” tuturnya. Keheningan itu adalah meditasi. Srihadi lantas sering diajak ke tempat-tempat yang dianggap keramat untuk bermeditasi di malam gelap. Di situ Srihadi dianjurkan merasakan desir angin dan menghayati berbagai suara satwa sampai subuh tiba.
Srihadi Soedarsono dan Farida. Arsip Agus Dermawan T
Bertahun-tahun Srihadi diajak menyelami suasana senyap seperti itu. Setelah eyangnya wafat, Srihadi tetap melakukan tirakat semadi. “Entah mengapa, ketika saya berangkat remaja, semua hal serta-merta selalu saya cari jiwanya. Candi Borobudur, misalnya, tidak lagi saya tangkap sebagai benda arsitektur. Tapi sebagai roh. Dan roh itu saya pahami sebagai inti. Sedangkan inti ternyata adalah sesuatu yang sangat sederhana. Dan itu adalah hening.”
Lalu sampai berpuluh tahun publik seni rupa melihat betapa Srihadi mencipta lukisan-lukisan Borobudur hanya dalam siluet. “Siluet agung” itu—begitu dia menyebut—dikelilingi oleh berbagai elemen semesta yang acap kali bergerak. Tanah, langit, rumput, air, batu, rembulan, dan matahari. Dan siluet itu hadir dalam sangat banyak kanvasnya. “Sifat meditatif Borobudur akan menggerakkan semua energi yang ada di alam. Di sana ada desir angin, suara gesekan daun, suara belalang, bahkan guntur di langit,” ujarnya. Keyakinannya kepada kekuatan meditasi ini makin mengkristal ketika ia mempelajari Zen Buddhisme di Bali menjelang 1960.
Namun Srihadi tidak ingin disebut sebagai “pelukis Borobudur” semata. Sebab, sebagai pelukis ia merasa selalu bermetamorfosis. Dan itu dibuktikan lewat ragam ciptaan bertema lain, yang acap kali menawarkan guncangan, baik dalam market, wacana, dan konten. Simak seri lukisan dinamika gerak tarian Bali, sakralitas Bedaya Ketawang, kekhidmatan horizon dalam pemandangan, dan deretan lukisan kritik sosial semacam Jakarta the Big Village. Srihadi bahkan pernah mampir ke tema sejarah. Ia juga melukis kaligrafi sepulang dari naik haji.
Srihadi telah berpulang dan menuju satu pintu. Namun lelakon-nya bertutur bahwa untuk menuju ke pintu itu ternyata bisa melewati banyak jalan. Yang unik, jalan pulang yang dipilihkan untuknya adalah jalan kepahlawanan. Srihadi dimakamkan dengan upacara militer di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta. Beberapa jam sebelumnya diadakan upacara kebesaran dari Aula Timur Institut Teknologi Bandung. Semua mengakui, selain maestro seni rupa Indonesia, Srihadi Soedarsono Adhikoesoemo adalah pahlawan perang yang gigih berani pada era 1945-1950, sehingga menerima sejumlah Bintang Gerilya.
Kini studio di Ciumbuleuit lengang. Kanvas-kanvas besar tersandar sepi dengan dijaga wayang Kresna dan Sukrasana yang terpajang di tembok. Sementara itu, suara musik klasik Four Seasons Antonio Vivaldi yang biasa diputar Srihadi Soedarsono seperti samar-samar terdengar.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo