Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teroka

Fundamentalis Insaf dan Keutuhan Indonesia 

Syafii Maarif meninggalkan cita-cita utopia negara Islam dan memutar haluan memperjuangkan demokrasi, keadilan, dan kemanusiaan.

28 Mei 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Buya Syafii Maarif meninggalkan cita-cita utopia negara Islam dan memutar haluan memperjuangkan demokrasi, keadilan, dan kemanusiaan.

  • Bagi Buya, keindonesiaan yang berdasarkan Pancasila, dengan nilai-nilai kemanusiaan yang dikandungnya, adalah bagian dari kebajikan yang tak bisa dipisahkan dari pesan moral kitab suci.

  • Buya meyakini Islam adalah agama yang menjunjung tinggi keberagaman, menghormati perbedaan, dan memelihara perdamaian.

TEPAT tanggal 31 Mei 2022, Syafii Maarif akan berusia 87 tahun. Maarif Institute, lembaga nonprofit yang ia dirikan, sudah merancang banyak program untuk mensyukuri nikmat panjang usianya. Tapi takdir berkata lain. Empat hari sebelum berulang tahun, tepatnya pada Jumat, 27 Mei 2022, pukul 10.15 WIB, tokoh yang populer disapa Buya Syafii itu pergi menghadap Sang Khalik. Kita kehilangan seorang guru bangsa yang sampai di usia senjanya tak pernah lelah memikirkan dan menanam kebajikan untuk menjaga keutuhan Indonesia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Saya tahu tentang Buya sejak pertama kali bersinggungan dengan moda literasi, terutama buku, majalah, dan koran, pada akhir 1980-an. Saya mengkliping tulisan-tulisan Buya di koran. Saya suka sekali pilihan-pilihan diksinya yang unik dan menggelitik. Dia, misalnya, menulis "umat Islam berada di buritan peradaban" untuk menyebut ketertinggalan umat Islam dari kemajuan Barat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Saya baru benar-benar mengenal Buya secara interaktif setelah memimpin Maarif Institute pada 2005. Saya ingat betul karena pada tahun itulah saya, bersama Saleh Partaonan Daulay (saat ini Ketua Fraksi Partai Amanat Nasional Dewan Perwakilan Rakyat), mengadakan acara ulang tahun Buya yang ke-70. Di luar dugaan, respons Buya cukup antusias, terutama dengan rencana penyusunan buku kumpulan tulisan Buya yang tersebar di berbagai media, kumpulan tulisan sahabat-sahabat Buya mengenai pemikiran dan kesan-pesan humanisnya, serta yang paling penting tulisan tentang riwayat hidupnya yang kemudian ia susun sendiri menjadi otobiografi Titik-Titik Kisar di Perjalananku.

Dari program itulah saya makin kagum kepada Buya. Dari ratusan tokoh yang kami mintai tulisan, tak ada satu pun yang berkeberatan. Semua bersedia menulis dengan senang. Tak sedikit yang menulis dengan segenap jiwa dan perasaan hingga membuat kami yang membacanya terharu. Ihwal kesan, hampir semua menyebut Buya sebagai teladan, sebagai tokoh yang sulit dicari tandingannya dalam menyatukan kata dan perbuatan. Buya adalah "walk the talk!". Karena itu, sebagai editor, saya dan Saleh sepakat memberi judul buku kado 70 tahun Buya Cermin untuk Semua. Terkesan "sombong", tapi sejauh ini siapa pun yang membacanya sepakat dengan judul itu.

Buya Syafii, yang lahir di Sumpur Kudus, Sumatera Barat, 31 Mei 1935, adalah satu dari sedikit cendekiawan muslim generasi kedua di era Orde Baru yang mengenyam pendidikan Barat. Ia bersama Nurcholish Madjid (Cak Nur) dan Amien Rais disebut Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai tiga pendekar dari Chicago, Amerika Serikat.

Adapun generasi pertama cendekiawan muslim yang belajar ke Barat adalah HM. Rasyidi, Mukti Ali, dan Harun Nasution. Yang disebut pertama dan kedua adalah mantan Menteri Agama, sementara yang ketiga mantan Rektor Institut Agama Islam Negeri (kini Universitas Islam Negeri) Jakarta yang merupakan guru para cendekiawan yang masih eksis saat ini, seperti Azyumardi Azra, Din Syamsuddin, Komaruddin Hidayat, dan Saiful Mujani.

Di Chicago, Buya berguru kepada pemikir neo-modernis Islam, Fazlur Rahman, yang kemudian menjadikannya "fundamentalis insaf". Dikatakan demikian karena sebelum bertemu dengan Fazlur Rahman, Buya adalah pengagum tokoh-tokoh Islam fundamentalis, seperti Hasan al-Banna dari Mesir, Abul A'la Maududi dari Pakistan, serta Maryam Jameelah yang terlahir dengan nama Margaret Marcus di New York dan berganti nama setelah masuk Islam dan berkiprah di Pakistan. Seperti ketiga tokoh ini, Buya pernah berangan-angan mendirikan negara Islam.

Selain Fazlur Rahman, orang yang sangat mempengaruhi keinsafan Buya adalah Muhammad Iqbal, filsuf dan penyair besar abad ke-20 yang lahir dan wafat di Pakistan. Di dalam negeri, Buya sangat mengagumi Wakil Presiden RI pertama, Mohammad Hatta, yang berpola hidup islami dan merupakan tokoh utama di balik penghapusan tujuh kata pada Piagam Jakarta yang dianggap berpotensi membelah keutuhan Indonesia.

Insafnya Buya adalah berkah bagi Indonesia. Ia meninggalkan cita-cita utopia negara Islam dan memutar haluan memperjuangkan demokrasi, keadilan, dan kemanusiaan. Sebab, tegaknya demokrasi, keadilan, dan kemanusiaan sejatinya adalah wujud nyata (implementasi) nilai-nilai agama.

Buya meyakini Islam adalah agama yang menjunjung tinggi keberagaman, menghormati perbedaan, dan memelihara perdamaian. Al-Quran memberi kebebasan pilihan dan menghormati setiap pilihan (termasuk pilihan tidak mempercayai Tuhan) dengan konsekuensi masing-masing.

Bagi Buya, keindonesiaan yang berdasarkan Pancasila, dengan nilai-nilai kemanusiaan yang dikandungnya, adalah bagian dari kebajikan yang tak bisa dipisahkan dari pesan moral Kitab Suci. Ia berada pada titik ekuilibrium yang mendamaikan sekularisme yang cenderung mencampakkan agama dengan Islamisme yang dalam sejarah banyak dipraktikkan dengan mengabaikan nilai-nilai keislaman. 

Menurut Buya, yang dibutuhkan sebuah bangsa bukan kibaran bendera agama, melainkan bagaimana substansi nilai-nilai moral bisa mempengaruhi secara konstruktif kehidupan warganya. Agama bukan dijadikan gincu yang merah menyala tapi tak ada rasanya, melainkan garam yang memberikan rasa meskipun tidak ada warnanya.

Itulah sebabnya Buya tak segan mengkritik teman-teman seperjuangannya yang masih bermimpi menghidupkan kembali Partai Masyumi. Buya tak menyangkal bahwa ia berasal dari Sumatera Barat dengan semangat keislaman yang kental. Namun Buya adalah "urang awak" yang dianggap "murtad" oleh sebagian kalangan karena sering mengkritik bumi Minang, kampung halamannya yang dulu banyak melahirkan otak besar dengan gagasan maju dan terbuka tapi sekarang sudah tak lagi membanggakan karena di dalamnya kerap muncul sikap yang dinilai eksklusif, intoleran, dan sektarian.

Baik pada saat memimpin Muhammadiyah (1998-2005) maupun setelahnya (2005-2022), Buya menjadi teladan bagi semua kalangan. Ia hidup berbalut kesederhanaan dengan menjalin pertemanan tanpa pandang bulu. Meskipun namanya sudah menjulang, Buya masih setia mengayuh sepeda, juga mencuci dan menyetrika baju sendiri. Tak pernah ada cerita ataupun saksi mata Buya meminta tasnya dibawakan. Di antara teman-temannya, ada yang berasal dari kalangan miskin papa, juga konglomerat yang tak terhitung hartanya. Dari tukang sapu, marbut masjid, dan sebagainya hingga para menteri dan bahkan presiden adalah sahabat-sahabat baiknya.

Buya ibarat muazin yang bersuara lantang menyerukan kebaikan. Kritik-kritiknya tajam saat ia melihat ketidakadilan atau ketika muncul kebijakan politik yang dinilainya melanggar prinsip-prinsip kemanusiaan. Uniknya, para pihak yang terkena sasaran kritiknya tidak merasa sakit hati. Mungkin karena mereka tahu, Buya menyampaikannya dengan tulus tanpa ada udang di balik batu.

Buya adalah manusia yang bebas dari hasrat takhta dan harta. Itulah salah satu hal yang membedakan Buya dengan dua sahabat karibnya, Cak Nur dan Amien Rais, yang pernah sama-sama berhasrat menjadi penguasa. Buya sendiri pernah berkata, dia bukan tak ingin berkuasa, tapi ia merasa usianya sudah cukup tua. Alasan yang masuk akal, walaupun kita tahu hasrat bertakhta ternyata tak pandang usia. Tidak sedikit orang, bahkan sampai di usia senjanya, masih ingin menumpuk harta, masih mengejar kuasa, hingga ajal menghentikannya.

Indonesia adalah negara dengan keberagaman agama, suku, etnis, budaya, dan kepentingan politik. Yang membuat Buya gelisah adalah gejala munculnya banyak politikus yang gemar memecah-belah. Karena berbeda agama tak mau bertetangga, karena perbedaan aspirasi politik tak mau bertegur sapa.

Buya gelisah karena kesenjangan sosial kian menganga, kemakmuran hanya dinikmati segelintir orang, keadilan masih dalam angan-angan. Kata Buya, "Sila yang paling sial dari Pancasila adalah sila kelima, Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.”

Kegelisahan Syafii Maarif, juga kritik-kritiknya, sekarang sudah terjeda. Adalah tugas kita semua yang memiliki kepedulian yang sama untuk melanjutkan cita-cita dan mimpinya, mewujudkan keadilan, menjaga keutuhan Indonesia, hingga minimal sehari sebelum kiamat tiba. Selamat jalan, Buya!

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Abd. Rohim Ghazali

Abd. Rohim Ghazali

Direktur Maarif Institute

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus