Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teroka

Arjuna Kembali ke Sang Maha Mencintai

Sastrawan Yudhistira Massardi meninggal Selasa malam. Terkenal sebagai penulis novel Arjuna Mencari Cinta.

5 April 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Sastrawan Yudhistira Massardi meninggal pada Selasa malam, 2 April 2024.

  • Yudhistira dikenal luas sebagai penulis novel Arjuna Mencari Cinta yang terbit pada 1977.

  • Malang melintang di dunia jurnalistik, termasuk Tempo, sebelum berhenti untuk mengembangkan sekolah untuk anak-anak kurang mampu di Bekasi.

SANG Arjuna telah kembali ke cintanya. Yudhistira A.N.M. Massardi meninggal pada Selasa malam, 2 April 2024, akibat sakit jantung di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Bekasi. Yudhistira Massardi dikenal dengan berbagai predikat, dari sastrawan, wartawan, hingga yang terbaru, pegiat pendidikan. Tapi dunia literatur Indonesia tak akan melupakan karya terbaiknya, Arjuna Mencari Cinta. Novel itu terbit pada 1977 saat dia baru berusia 23 tahun.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Yudhistira menghadirkan karya sastra dengan gaya bahasa anak muda yang humoris serta menggugat kemapanan kaum elite Jakarta. Roman itu mendapat penghargaan sebagai bacaan remaja terbaik oleh Yayasan Buku Utama dan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Novel itu juga diterjemahkan ke dalam bahasa Jepang dan diadopsi menjadi film. Pada 2002, Yudhistira memenangi perkara melawan Ahmad Dhani, pentolan Dewa 19, sehingga mengganti judul lagu Arjuna Mencari Cinta menjadi Arjuna.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Yudhistira Massardi aktif menulis sejak remaja. “Pada 1970-an, cerpennya tiap minggu dimuat di harian Kompas,” kata Musthofa Yanto, rekan yang sejak 2006 ikut mengelola Sekolah Batitus Al-Ilmi milik Yudhistira.

Dikenal sebagai sastrawan, kata Yanto, Yudhistira ingin mempelajari ilmu jurnalistik. Karier kewartawanannya dimulai dari majalah Le Laki. “Kemudian ia bergabung dengan Tempo untuk lebih menekuni jurnalistik,” ujar Yanto.

Yudhistira A.N.M. Massardi (kiri) saat mewawancarai penyanyi Franky Sahilatua di kantor Majalah Tempo, Jakarta, 1979. TEMPO/Ilham Soenharjo

Yudhistira menjadi wartawan Tempo sebelum majalah berita itu diberedel Orde Baru pada 1982. Dua tahun berselang, bersama saudara kembarnya, Noorca M. Massardi—koresponden Tempo di Prancis pada 1978-1981—dia mendirikan majalah Jakarta-Jakarta. Setelah itu, Yudhistira beberapa kali pindah ke media lain, seperti majalah Humor dan Gatra.

Akmal Nasery Basral, penulis, mengaku sebagai murid abadi Yudhistira Massardi. Akmal mengenalnya saat baru menjadi wartawan Gatra pada 1994. Saat itu dia sempat grogi karena mengenal atasannya itu sebagai sastrawan besar. Akmal akrab dengan karya-karya Yudhistira sejak 1980-an dan sering menonton pembacaan puisinya di Taman Ismail Marzuki. “Ternyata dia sangat bersahaja,” kata Akmal, yang mengenang kerap menumpang pulang di Suzuki Carry merah milik Yudhistira.

Setelah menelurkan banyak buku puisi, cerpen, dan novel, serta malang melintang di dunia jurnalistik, Yudhistira menepi pada 2006. Dia berfokus mengembangkan taman kanak-kanak yang ia rintis di garasi rumahnya di Bekasi sejak 2005. “Sekolah itu untuk anak-anak kurang mampu,” kata Yanto.

Dari garasi, sekolah itu berkembang menjadi gedung sendiri. Namanya SD Batutis Al-Ilmi di Pekayon, Bekasi Selatan. Sedari awal, maktab itu mengusung metode sentra. Metode sentra atau Beyond Centers and Circle Time (BCCT) adalah model kurikulum pendidikan anak usia dini yang dirancang oleh Pamela C. Phelps asal Amerika Serikat, yang menekankan pembelajaran lewat permainan. “Lewat metode ini, Yudhis ingin menekankan bahwa pendidikan tidak serta-merta soal prestasi akademis, tapi juga soal pengembangan karakter,” kata Yanto. 

Yudhistira Massardi kembali ke dunia sastra lewat buku kumpulan sajaknya pada 2016. Ada 99 Sajak, Perjalanan 63 Cinta, dan Luka Cinta Jakarta. Karya terakhirnya adalah Kita Seperti Dedaunan yang diluncurkan pada ulang tahun Yudhistira yang ke-70 pada 28 Februari lalu. Sementara itu, Noorca menerbitkan Dari Paris untuk Cinta. “Waktu itu sebenarnya sudah bolak-balik ke RS, tapi masih semangat ingin membuat acara peluncuran buku itu,” ujar Yanto.

Noorca mengatakan adiknya itu memiliki kecintaan besar pada sastra. “Tiap ada temannya yang meninggal, dia tidak pernah absen membikinkan puisi,” ujar Noorca. “Tidak jarang puisinya itu dibacakan di pemakaman.”

Yudhistira ANM Massardi bersama Harry Roesli di Bandung, Jawa Barat, 1981. TEMPO/Aris Amiris

Yudhistira bukan Arjuna yang playboy. Dia tipe ayah yang hangat, kocak, dan tak pernah marah. “Saat puasa, Papa punya kebiasaan mengetuk pintu tiap kamar saat sahur. ‘Tok... tok... Sahur, sahur.’ Nadanya selalu sama. Khas banget. Puasa ini, momen itu enggak ada,” ujar Matatiya Taya, 32 tahun, anak Yudhistira, kepada Tempo di rumah duka, Bekasi Selatan. 

Kedekatan Yudhistira dengan ketiga anaknya terpancar dari deretan foto yang dipajang di ruang keluarga rumah itu. Salah satunya foto bersama Siska, istrinya, dengan tangan terentang, sementara ketiga anaknya duduk di depan mereka—semua tersenyum lebar.

Menurut Matatiya, ayahnya tidak pernah memaksakan kehendak kepada anak-anaknya, termasuk soal pendidikan dan karier. Tapi dia selalu mendorong mereka untuk terus membaca. “Kata Papa, ‘Kalau enggak baca, nanti kamu bodoh’,” ujar Matatiya. Toko buku menjadi tempat favorit mereka saat bepergian.

Belakangan, Yudhistira Massardi jarang mengajak anak, juga cucunya, ke toko buku. Sejak operasi jantung sepuluh tahun lalu, aktivitasnya agak terbatas.

Kesehatan Yudhistira Massardi memburuk sejak awal tahun ini. Dia bolak-balik masuk rumah sakit. Puncaknya, dua pekan terakhir, ia masuk ruang rawat inap di RSUD Bekasi. Pada Sabtu, 30 Maret lalu, dia sempat diizinkan pulang dengan oksigen pembantu pernapasan.

Tensi yang anjlok membuatnya dilarikan ke RS EMC Pekayon pada Senin sore lalu sebelum dirujuk ke RSUD Bekasi pada Selasa dinihari. Malam itu, pukul 21.12, Yudhistira Massardi berpulang. Dia dikebumikan di Tempat Pemakaman Umum Padurenan, Kota Bekasi, pada Rabu siang lalu.

Hujan rintik membasahi tanah merah itu saat Iga Massardi, anak sulungnya, mengumandangkan azan di telinga jenazah Yudhistira Massardi. Tak ada puisi dibacakan di sana.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus