Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ke sana-kemari Thompson Hs. bergerak. Dari ujung satu ke tepi panggung lain. Ia, sebagai narator, menyampaikan solilokui penutup dalam pertunjukan opera Batak: Perempuan di Pinggir Danau karya Lena Simanjuntak. Panjang solilokui itu, di bukunya, tiga halaman penuh dan sarat muatan pesan lingkungan.
Seorang Jerman berbadan besar di tepi kanan, di belakang sebuah podium, yang tak mengerti menyergah dalam bahasa Jerman kepada Thompson, "Hei, kamu berbicara begitu, tapi penonton kok tertawa?" Meledaklah tawa penonton.
Malam itu pertunjukan berlangsung di Kota Köln, Jerman. Sesungguhnya pertunjukan Perempuan di Pinggir Danau di Jerman sudah dilengkapi narator kedua—dimainkan Albert Klütsch. Lelaki Jerman ini tak sekadar jadi penerjemah, tapi juga jadi mitra Thompson dalam menggulirkan lakon. Thompson bisa berinteraksi dengan Klütsch kendati masing-masing berbicara dalam bahasa sendiri. Thompson berbahasa Indonesia campur Batak dan Klütsch berbahasa Jerman—sesekali berbahasa Indonesia.
Dalam pertunjukan di Jerman (di Köln dan Wuppertal), para pemain memang dilengkapi tiga "penerjemah", yang menyulih suara pemain yang sedang tampil di panggung. Anna Kresnobadi menyulih suara Rinda Turnip dalam peran Ibu Ikan dan Michaela Haug menyulih suara Nomi Sagala dalam peran Sondang Nauli alias Putri Ikan.
Klütsch, selain menjermankan dialog narator yang diperankan Thompson, menyulih suara tokoh Samosir (Ojax Manalu) dan Toba (Edi Tua Nainggolan). Penampilan Klütsch sangat vital dalam pertunjukan ini. Tanpa dia, agak susah membayangkan bagaimana pertunjukan bisa berjalan selama hampir dua jam dengan dialog panjang dan penuh muatan.
Betul, ini memang sebuah lakon penuh tujuan. Sutradara dan penulis naskah Lena Simanjuntak secara sadar memaksudkan Perempuan di Pinggir Danau sebagai cara menyuarakan dengan lantang permasalahan lingkungan yang mendera Danau Toba: sampah, pencemaran, pembabatan hutan, dan industrialisasi sekitarnya. Pengusaha serakah adalah pendosa utamanya, tapi penduduk sekitar juga punya andil—selain jadi korban.
Lena memang seniman "bertendens". Perempuan Batak jebolan Institut Kesenian Jakarta itu dikenal dengan karya-karyanya yang selalu digali dari persoalan nyata. Sebagian besar karyanya bahkan digarap bersama orang biasa yang mengalami masalah itu. Di Papua, Lena berÂkarya bersama masyarakat setempat. Di Surabaya, ia berkarya bersama para pekerja seks. Sedangkan di Jerman, negeri yang menjadi kampungnya yang kedua sejak 25 tahun lalu, ia berkarya bersama penghuni penjara.
Justru kali ini, dalam Perempuan di Pinggir Danau, Lena berkarya secara lain: para pemainnya kali ini betul-betul pelaku kesenian opera Batak. Kendati bukan opera Batak otentik, karena sudah punah sejak awal 1980-an, melainkan dalam versi revitalisasi yang dipimpin Thompson Hs. sejak awal 2002 melalui Pusat Latihan Opera Batak di Pematang Siantar. Bahkan pengiring musiknya dipimpin oleh Alister NainggoÂlan, pemusik asli opera Batak masa lalu. Ceritanya didasarkan pada legenda asal-usul Danau Toba.
Sayangnya, selain naskahnya terlalu sarat beban, para pemain Perempuan di Pinggir Danau bukan aktor dan aktris yang kuat. Nomi Sagala mengucapkan dialog selalu dengan meratap dan menangis. Rinda Turnip sering kehilangan cara mengucapkan dialognya yang panjang-panjang itu. Sedangkan Ojax Manalu sering mati gaya. Hanya Thompson yang tampak cukup nyaman dengan panggung.
Masalah lain, pertunjukan tidak terbantu secara visual: panggung, artistik, dan cahaya boleh dikata tanpa penataan. Lampu sangat datar, sekadar menerangi panggung belaka. Tanpa penciptaan suasana dan perubahan atmosfer.
Panggung di Aula VHS Museum Rautenstrauch-Joest, Köln, yang dijejali lebih dari 300 penonton itu relatif polos, tidak ditata sebagai setting. Di tepi kanan dan kiri panggung hanya dibentangkan kain hitam-merah-putih—menyiratkan gabungan bendera Indonesia dan Jerman, alat musik, serta tas anyaman tradisional Batak. Jadinya lebih tampak sebagai panggung acara seremonial, bukan pertunjukan kesenian atau peristiwa budaya.
Andre, lulusan IKJ yang sejak beberapa tahun lalu tinggal di Belanda, mengaku merasa "gatal". "Kalau saja," ucapnya, "panggung ditata untuk menghadirkan suasana desa Batak, misalnya dengan menghadirkan kesan tiang-tiang rumah adat Batak, pertunjukan akan lebih 'jadi'." Justru peristiwa pra-pertunjukan opera Batak itu lebih terasa hidup, otentik, dan punya konteks, yakni acara di luar Aula VHS. Beberapa saat sebelumnya di Foyer, ruangan besar museum etnologi Köln, berlangsung acara longgar: pergelaran nyanyian dan tari Batak tradisional, yang dilanjutkan permainan boneka Sigale-gale.
Memang opera Batak merupakan puncak acara dari Batak Tag (Hari Batak) di museum itu. Awalnya sejumlah pengunjung acara berpakaian tradisional Batak menyanyi-nyanyi bebas sambil bersenda gurau di sekitar rumah lumbung Toraja. Lumbung Toraja merupakan maskot Museum Rautenstrauch-Joest. Itu bangunan otentik yang merupakan maskot museum etnologi yang didatangkan dari Toraja. Bangunan itu didirikan pada 2009 oleh para perajin yang didatangkan khusus dari Toraja. Museum ini memang menaruh perhatian khusus pada budaya Indonesia.
Tak berapa lama, muncul sejumlah pemusik dengan alat-alat tradisional Batak yang ringkas: gondang, suling, dan kecapi Batak. Makin hangatlah suasana. Orang-orang menyanyi dan menari makin ramai, makin terkonsentrasi. Dan makin menyerupai suasana pesta adat di tanah Batak: sejumlah orang sambil menari bergantian mengeluarkan lembar-lembar uang—euro—yang disawerkan alias diberikan kepada para pemusik.
Sesudah itu, dimunculkan boneka Sigale-gale. Larutlah hadirin dalam musik, tarian, dan permainan Sigale-gale. Atmosfer peristiwa itu sangat terbangun oleh rumah Toraja di latar belakang.
Tentu saja Toraja dan Batak adalah dua kebudayaan berbeda. Tapi suasana yang muncul oleh latar lumbung Toraja dengan Sigale-gale di kakinya serta musik dan tari tortor orang-orang berpakaian adat Batak sungguh dahsyat. Ini jenis atmosfer yang sangat dibutuhkan tapi justru tak muncul dalam Perempuan di Pinggir Danau.
Ging Ginanjar (Jerman)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo