Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PERANAN WANITA DALAM PERKEMBANGAN MASYARAKAT DESA Oleh: Pudjiwati Sayogyo Penerbit: Yayasan Ilmu-Ilmu Sosial, Jakarta, 1983, 379 halaman APABILA kita membicarakan wanita Indonesia dan peranan mereka dalam pembangunan, mau tidak mau itu harus dimulai dengan membicarakan problem dasar, yakni definisi tentang kodrat wanita Indonesia. Definisi resmi yang dipergunakan instansi resmi dan pimpinan organisasi wanita adalah bahwa sesuai dengan status mereka sebagai wanita Timur, maka wanita Indonesia adalah sosok manusia yang bersifat halus, bersifat keibuan, sopan santun, pendamping suami yang setia, dan ibu yang baik bagi anak-anak mereka. Definisi kodrat wanita seperti itu memang tepat apabila digunakan untuk menggambarkan citra wanita priayi. Bagi wanita golongan ini, hampir keseluruhan aspek kehidupan mereka mencerminkar tlpe ideal wanita Indonesia yang terkandung dalam definisi. Mereka, misalnya, karena kehidupar ekonomi yang baik, merasa tidak perlu bekerja mencari nafkah, dan dengan demikian dapa mencurahkan segala waktunya untuk keluarga. Sedangkan merek yang harus bekerja dapa menggaJi pembantu, se hingga tidak perlu repot repot lagi mencurahkar waktu bagi tugas-tugas rumah tangga. Apakah definisi itu ju ga berlaku bagi wanit pedesaan? Prof. Pudjiwa ti Sayogyo, melalui studi nya tentang peranan wa nita dalam perkembangan masyarakat di dua desa Jawa Barat, memberikan gambaran berbeda dari definisi kodrat wanita Indonesia. Wanita desa, khususnya dari golongan miskin, adalah "wanita pekerja", dalam arti pencari nafkah, di samping juga sebagai ibu rumah tangga (halaman 146). Data profil wanita desa yang diajukan Pudjiwati ini sangat penting, karena mempunyai implikasi kebijaksanaan pembangunan, khususnya di pedesaan. Apabila kita ingin meningkatkan peranan mereka dalam pembangunan pedesaan, maka pembangunan pedesaan itu minimal mempunyai tujuan melestarikan kesempatan bagi mereka memperoleh pekerjaan. Kini kesempatan bagi wanita di pedesaan meneruskan naluri sebagai "wanita pekerja" makin menyempit. Bagi golongan kaya, menyempitnya kesempatan kerja di desa mungkin belum menjadi persoalan. Tetapi bagi golongan miskin, masalah itu benar-benar terasa. Dipandang dari tradisi, keterlibatan wanita dalam proses produksi pertanian sangatlah dominan. Mereka terlibat sejak penyemaian bibit, menuai, sampai menumbuk padi menjadi beras. Secara tradisional, wanita di pedesaan, baik kaya maupun miskin, terlibat secara aktif dalam setiap tahap proses produksi itu. Keadaan itu saat ini telah berubah - datang bersamaan dengan terjadinya perubahan teknologi dalam proses produksi pertanian kita. Perubahan teknologi yang dimulai dari penyiangan, penuaian, sampai proses penyiapan padi menjadi beras itu mengakibatkan tergusurnya pekerja wanita dari proses produksi padi kita. Sementara itu, industri pedesaan, yang secara tradisional menjadi alternatif bagi wanita desa memperoleh pekerjaan, sudah banyak pula yang menghilang. Mereka tak kuat bersaing dengan perusahaan besar di kota yang menghasilkan produk serupa. Yang paling menderita akibat perubahan teknologi pertanian ini adalah wamta tua. Pendapatan keluarga di pedesaan masih sangat tergantung dari luas tanah yang dimiliki - suatu hal yang mempengaruhi tingkat kesejahteraan wanita pada keluarga-keluarga itu. Dengan membagi keluarga di dua desa penelitiannya atas tiga golongan, berdasarkan luas tanah yang dimiliki, Pudjiwati melihat gejala yang menunjukkan bahwa rumah tangga golongan 1 (memiliki tanah 0-0,3 ha) selalu mengalami "net dissavings". Sedang golongan III, yang menguasai tanah lebih dari 0,3 ha, selalu mengalami "positive (net) savings" (halaman 193). Adanya gejala minus di kalangan rumah tangga miskin menunjukkan semakin sempitnya kesempatan kerja yang terbuka bagi mereka, khususnya untuk para wanita yang memang selalu bekerja untuk menambah pendapatan keluarga. Sempitnya peluang bagi keluarga miskin, selain disebabkan makin ketatnya seleksi yang diberlakukan dalam proses produksi pertanian, juga lantaran wanita golongan ini hampir-hampir tidak memiliki keterampilan yang dapat membekali diri bekerja di luar bidang pertanian. Keterampilan minim ini menyebabkan mereka dengan mudah dapat disingkirkan pria yang berasal dari lapisan mereka sendiri. Dari buku ini, selain profil wanita desa, hal lain yang menarik adalah pendapat mereka tentang teknologi sebagai-sarana peningkatan kesejahteraan wanita. Pudjiwati berpendapat, teknologi dapat meningkatkan kesejahteraan wanita pedesaan apabila dapat membantu mereka mengurangi beban untuk pekerjaan rumah tangga. Tanpa meringankan beban kerja, tiap usaha pelayanan terhadap golongan wanita, khususnya wanita miskin, tidak akan efektif (halaman 261). Pendapat Pudjiwati ini "menyimpang" dari pendapat umum di Indonesia yang melihat teknologi selalu dikaitkan dengan keinginan menaikkan produksi. Teknologi baru dalam sektor pertanian memang dapat menaikkan produksi, tapi ini juga "menyebabkan" wanita miskin di pedesaan terpaksa mencurahkan lebih banyak waktu untuk pekerjaan rumah tangga, karena tergusur dari proses produksi pertanian. Membaca buku ini terkesan betapa sedikitnya pengetahuan kita tentang wanita Indonesia, khususnya di pedesaan. Maka, karya Pudjiwati ini dapat dianggap sebagai pendorong untuk lebih memperhatikan persoalan kaum wanita. Loekman Soetrisno * Staf ahli Pusat Penelitian Studi Pedesaan dan Kawasan, universitas Gadjah Mada.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo