Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teroka

Otto djaya 1977

Otto djaya, pelukis, mengadakan pameran tunggal di tim 9-14 januari 1978. komposisi lukisannya dinamis, bergerak, meriah. kekuatan otto nampaknya pada lukisan karikatural. (sr)

21 Januari 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PAMERAN tunggal Otto Djaya, di TIM, 9 - 14 Januari 1978, agaknya hendak melukiskan kemeriahan pesta-pesta. Komposisi Otto adalah komposisi dinamis, bergerak, meriah. Warnanya yang jingga, merah, hijau, kuning, mendominasi suasana keseluruhan karya. Tema lukisan memungkinkan penyuguhan kemeriahan itu: Bali Operette, Pria Pemain Suling dan 7 Wanita, Pcrtunjukan Wayalg Golek, Penghidupan Malanl, Pesta, dan lain-lain. Semua itu dilukiskan secara biasa saja: orang menari ya orang menari, kuda kepang ya kuda kepang, wanita ya wanita. Ia melihat dunia seolah bagai panggung sandiwara. Coba lihat, hampir semua laki-laki dalam lukisannya berbaju surjan dan berblangkon, sementara wanitanya berkain meskipun pasarnya herlampu neon (lukisan Pasar Batik). Di sana-sini ada humor - berhasil mengundang senyum kita atau tidak, tidak soal. Dalam Padukunan misalnya, dukun seolah sedang bersin, dan wanita yang datang "berobat" tersenyum-senyum. Dalam Purbasari Ayu Wangi, melukiskan Purba Sari lagi mandi di Pancuran, ada monyet (Lutung Kasarung, tentunya) bergelantung pada bambu pancuran. Sekedar contoh. Bisa ditebak, dengan cara penyuguhan bagai ketoprak atau Srimulat. dengan banyaknya mengambil tema dari mitologi atau cerita rakyat, agaknya ia memang ingin bercerita. Dan cerita itu, yang tentu sudah kita kenal bila ia merupakan mitologi atau cerita rakyat, hanya bernilai semacam berita kalau ia mengambil kenyataan kini. Warung di Jawa (dalam katalogus salah cetak menjadi Warung di Bali hanya menceritakan warung yang bukan menjual penganan atau barang lain tapi menawarkan pelayannya. Biasa, bukan? Kalau hanya biasa-biasa saja, lalu apa yang musti kita lihat dari Otto Djaya (lahir di Rangkasbitung, Banten, 1916)? Melihat ke belakang (karya Otto yang menjadi koleksi Direktorat Kesenian sekarang tergantung di Balai Seni Rupa, Jakarta, yang melukiskan dua orang pria-wanita duduk di pinggir tempat tidur), agaknya kekuatan Otto ada pada pelukisan karikatural. Ia melukiskan satu peristiwa atau cerita dengan lucu, menyindir, simpatik. Itulah yang sekarang hanya nampak remang-remang. Kanvas Otto kini meriah tanpa makna. Seolah hanya hendak mengatakan: itu pesta, itu orang menari, tanpa sesuatu untuk dinikmati selain apa yang dikatakan judul lukisan. Seperti lukisan dinding yang banyak menghiasi rumah geduny di kampung-kampung: jelas melukiskan apa, tapi hanya berhenti pada bentuk - yang toh jauh dari menarik. Banbang Bujono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus