Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teroka

Potret Intim Goenawan Mohamad

Sastrawan Goenawan Mohamad kembali memamerkan karya-karya seni rupanya. Menyuguhkan, antara lain, sebanyak 38 lukisan, seni instalasi, dan ratusan gambar di kertas. Beberapa di antaranya menghadirkan wajah para sahabatnya yang berpengaruh di dunia seni.

 

31 Oktober 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Goenawan Mohamad kembali memamerkan karya-karya seni rupanya.

  • Menyuguhkan, antara lain, 38 lukisan, seni instalasi, dan ratusan gambar di kertas.

  • Kecakapan teknik melukis dalam karya-karya GM meningkat.

GOENAWAN Mohamad menggandeng Djoko Pekik yang bertongkat di lorong Museum OHD (Oei Hong Djien), Magelang, Jawa Tengah. Dua tokoh yang secara ideologis berada dalam dua kutub bersimpangan di era Sukarno itu lalu duduk membaur bersama pengunjung.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hari itu, Sabtu, 23 Oktober 2021, GM, salah seorang pengusung Manifes Kebudayaan, memulai pameran karyanya di museum tersebut. Pameran itu dibuka oleh perupa yang dulu berhimpun di Lembaga Kebudayaan Rakyat. Keduanya memang bersahabat dan kerap bertemu dalam sejumlah pameran di berbagai kesempatan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pameran itu berlangsung hingga 28 Februari 2021. Ekshibisi itu menyuguhkan 38 lukisan pada kanvas berbagai ukuran yang lahir pada 2018-2021. Ada juga seni instalasi berobyek kera, tujuh boneka Den Kisot, satu video rekaman pertunjukan, satu video wawancara, 107 gambar di kertas, dan puluhan gambar di atas kertas di dalam meja kaca yang dibuat dalam lima tahun terakhir.

Dalam usia 84 tahun, Pekik, yang baru sembuh dari operasi tulang karena kecelakaan, terdengar masih bersemangat. Saat membuka pameran bertajuk “Potret” itu, Pekik menyinggung seniman yang terkotak-kotak karena ideologi yang berseberangan di era Orde Lama.

Sastrawan Goenawan Mohamad (kiri) dan perupa Djoko Pekik di pameran tunggal GM bertajuk Potret di Museum OHD Magelang, Jawa Tengah, 23 Oktober 2021. TEMPO/Shinta Maharani

Saat Soeharto berkuasa, banyak seniman yang dituduh berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia dipenjara dan mendapat cap buruk. “Sing wes yo wes, Mas Goen. Ayo seniman bersatu mengisi kemerdekaan yang diperoleh dari tumpah darah dan revolusi,” ujar Pekik di hadapan puluhan pengunjung.

Sosok Pekik punya tempat khusus buat GM. Ia melukis sahabatnya itu berkali-kali. Tengoklah lukisan teranyar GM berjudul Djoko Pekik bertarikh 2021. Karya berbahan cat minyak di kanvas berukuran 150 x 100 sentimeter ini menggambarkan Pekik dengan janggut putihnya yang menggantung sedang berdiri dengan latar laut dan karang.

Jaran kepang dan bunga padma melengkapi citraan Pekik pada lukisan itu. Pekik selama ini dikenal sebagai perupa dengan ciri khas rambut yang dikepang rapi. Ia pernah mengatakan kebiasaan mengepang rambutnya itu muncul karena dirinya menyukai kesenian tradisi kuda lumping atau jaran kepang di Purwodadi, Jawa Tengah, kampung kelahirannya.

Lukisan berjudul Djoko Pekik. TEMPO/Shinta Maharani

Lukisan GM kali ini bermetamorfosis dari sudut teknik artistik. Bandingkan dengan lukisan GM berfigur Pekik yang dipamerkan di Museum dan Tanah Liat Yogyakarta pada 2019. GM melihat lukisan berbahan cat akrilik itu penuh pretensi. “Saya lihat lagi kok jelek banget. Pretensius.” Pretensius yang dimaksud, karena lukisan itu ditambahi dengan puisi karyanya.

Sastrawan kelahiran Batang, Jawa Tengah, 29 Juli 1941, itu mengaku tak sanggup menghadirkan Pekik yang akrab dengan kehidupan orang di bawah. Misalnya, perempuan yang menjunjung meja dagangan ke pasar diikuti anaknya yang memegangi radio transistor.

Sohib dekat GM lainnya muncul pada karya berjudul Sapardi berbahan cat minyak di kanvas. Karya ini diciptakan pada 2020, selepas Sapardi meninggal pada 19 Juli 2020. Berukuran 150 x 100 sentimeter, karya ini memperlihatkan kemuraman GM karena kehilangan sahabatnya.

Mengenakan jubah hitam, penyair bertopi pet itu digambarkan sedang berdiri dan menggenggam kertas bertuliskan puisi. Payung mini dan guratan garis-garis berwarna gelap menjadi latar Sapardi berdiri. GM melukis Sapardi dengan sapuan yang kasar pada karya itu. “Saya sedih saat melukis Sapardi,” tutur GM.

Lukisan berjudul Frida Muda. TEMPO/Shinta Maharani

Figur yang mempesona GM, Frida Kahlo, juga muncul di pameran itu. Ia kembali melukis seniman Meksiko itu. Hanya, bahan yang ia gunakan kali ini berbeda, yakni menggunakan cat minyak di kanvas. GM memberi judul lukisan berukuran 100 x 70 sentimeter itu Frida Muda.

Frida adalah perupa yang dikenal dengan lukisan potret diri ikonik dan dikultuskan oleh sebagian feminis di dunia. Sebelumnya, lukisan GM dengan citraan Frida tampil dalam pameran seni rupa Biennale Jawa Tengah di Galery Semarang pada Oktober 2018. Lukisan berbahan akrilik itu diberi judul Frida Hitam.

Wajah orang-orang terdekat GM yang berpengaruh dalam jagat seni lainnya juga kembali muncul, di antaranya Slamet Gundono, W.S. Rendra, Melati Suryodarmo, dan Ayu Utami. Kurator pameran, Wahyudin, mengatakan lukisan potret manusia itu menggambarkan penghormatan pada wajah dan keintiman GM dengan sosok tersebut.

Menurut Wahyudin, GM mampu menangkap ekspresi dengan komposisi karya yang pas. Ia mencontohkan lukisan berfigur Sapardi menunjukkan koneksi suasana batin GM yang sedang murung selepas Sapardi wafat. Dalam keadaan pilu, pelukis berisiko gagal mengeksekusi karyanya. Namun GM berhasil menyelesaikan karya itu, lengkap dengan elemen simbolik Sapardi, yakni payung.

Wahyudin menyebutkan kecakapan teknik melukis dan kesadaran eksistensial sebagai perupa menopang perubahan karya GM yang meningkat. GM tahu diri dan memperbaiki karya-karya sebelumnya yang dinilai menggunakan teknik kurang mumpuni.

Lukisan berjudul Moon Over Bourbon Street. TEMPO/Shinta Maharani

Ia mencontohkan karya berjudul Moon Over Bourbon Street. Lukisan berkarakter manusia berkepala tikus itu berjubah hitam dengan topi. GM memperbaiki lukisan itu dengan mengubah elemen artistik. Dia menambah bahan baru berupa cat minyak dari yang mulanya cat akrilik.

Efeknya, karya itu berwujud seperti tiga dimensi. Perubahan terlihat pada warna muka tikus, pakaian, topi, sorotan cahaya bulan, dan ornamen di bawah bulan tosca. “Saya perbaiki dengan cat minyak. Semula terlalu gelap,” kata GM dalam katalog pameran Di Muka Jendela Enigma.

Begitu pula dalam lukisan lain, misalnya yang mengambil judul persis seperti judul lagu musikus asal Inggris, Sting Tahun 1985. Salah satu lirik lagu itu menggambarkan wajah pendosa dengan tangan pendeta. Karya itu lebih hidup ketimbang lukisan dengan judul sama pada 2018 yang pernah dipamerkan di Biennale Jawa Tengah. Karya tersebut, menurut Wahyudin, menunjukkan pencapaian teknik yang baik.

Tapi Wahyudin punya catatan untuk GM, yaitu kurangnya proyeksi dalam melukis layaknya pelukis profesional yang fokus pada tema tertentu. GM melukis apa saja secara acak. “Yang menurut dia asyik dan menyenangkan.”

SHINTA MAHARANI

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Shinta Maharani

Shinta Maharani

Kontributor Tempo di Yogyakarta

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus