Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Idiom Visual Goenawan Mohamad

Pameran tunggal Goenawan Mohamad menghadirkan puluhan lukisan dan ratusan drawing. Ia sebagai penyair yang ingin menemukan idom baru dalam bentuk visual.

1 Agustus 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Karya Di Masa Pandemi. Dok Salihara

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ringkasan Berita

  • Goenawan Mohamad menghadirkan puluhan lukisan dan ratusan drawing dalam pameran tunggalnya.

  • Pameran itu untuk peringatan ulang tahun ke-80 Goenawan Mohamad.

  • Goenawan disiplin dan telaten menuangkan proses kreatifnya dalam catatan-catatan.

RABU, 31/3... Kanvas ke-3 dari seri Burmese Days. Kombinasi marionet Italia dan wayang Burma. Saya senang dengan wajah dalam kepala wayang itu: kegembiraan yang naif di hari-hari tak menentu... Selesai kanvas terakhir dalam seri Burmese Days. Wajah Aung San Suu Kyi, dengan arang dan cat minyak, di atas kanvas mentah...

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Begitulah Goenawan Mohamad menuliskan proses kreatif berkarya dalam katalog pameran tunggalnya bertajuk "Di Depan Jendela Enigma", di Salihara (29 Juli sampai 29 Agustus 2021) dan Nadi Gallery (29 Juli sampai 29 September 2021). Goenawan menuangkan energi seni rupanya menjadi karya di kanvas, di kertas-kertas sketsa.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ia menuliskan catatan-catatan proses kreatif itu seperti buku harian. Ia menggambarkan suasana yang ia alami. Misalnya saat tergugah, sehingga tangannya seperti tergerak untuk menggoreskan pena atau kuas. Lain waktu mengingat sebuah puisi, bangunan, peristiwa, dan sebagainya. Apa yang ia rasakan dan lihat mempengaruhi lukisannya.

Salah satunya karya yang memperlihatkan sosok pemimpin Myanmar, Aung San Suu Kyi, dalam posisi menghadap samping dan wajah berbalut masker. Lukisan cat minyak berdimensi 150 x 100 sentimeter itu salah satu karya dari seri Burma. Dalam seri ini ada tiga lukisan lain berjudul Jenderal, Rakyat Desa, dan Saudagar.

Karya Aung San Suu Kyi. Dok Salihara

Pada saat lain, ia menceritakan terus menggambar setelah mendapatkan vaksin pada Rabu, 24 Februari 2021. Ia menyelesaikan lukisan wajah Arti  (Widarti- istrinya) untuk hadiah kejutan ulang tahunnya. Tapi keesokan harinya ia tak bisa tidur lagi setelah sempat terlelap dua jam. “Ada yang mengatakan efek samping vaksin adalah ngantuk. Tak berlaku pada saya,” ujarnya.

Melukis dan menggambar membuatnya lupa waktu. Pada malam sebelumnya, ia menggambar untuk merespons lakon Antigone karya Sophocles dan sajak Subagio Sastrowardoyo, Daerah Perbatasan. “Sajak ini maskulin, tak seasyik sajak Mas Bag yang lain. Agak predictable.”

Pameran itu digelar untuk peringatan ulang tahun ke-80 Goenawan Mohamad. “Saya berpameran ini karena umur 80 tahun, bukan prestasi. Saya beruntung mendapat kurator yang membantu memperkaya diri,” ujar Goenawan dalam bincang-bincang pembukaan pameran yang ditayangkan di saluran YouTube Salihara, Kamis, 29 Juli 2021. “Saya hanya melanjutkan sejarah kreatif supaya tidak mati.”

Goenawan mengaku tak pernah merencanakan karyanya. Semuanya mengalir begitu saja. “Mengalir, bahkan mungkin meloncat-loncat, tidak bisa diulangi, atau dikonstruksi. Susah. Biasanya diam, tidak dramatis, ada momen seperti hening cipta, semacam kebatinan,” ujarnya. Ia biasa melukis di rumah atau di studio di Salihara dengan sangat intens.

Goenawan Mohamad. Dok Salihara

Goenawan Mohamad menyiapkan "pesta" ulang tahunnya yang ke-80 itu dalam dua tahun terakhir. Bersamaan dengan pameran yang dikuratori oleh Hendro Wiyanto dan Sri Malela Mahargasarie itu, dihadirkan pula sebuah buku dengan dua sampul berjudul Rupa, Kata, Objek dan Yang Groteks.

Hendro Wiyanto menyebut tenaga Goenawan terasa sangat berlebih dalam menuangkan inspirasinya di banyak medium. Menurut dia, kemajuan GM—begitu Goenawan Mohamad akrab disapa—dalam melukis berkembang. Hal itu terlihat pada kerapian lukisan dan lebih menguasai warna. “Saya melihat GM menemukan identitas warnanya,” ujar Hendro kepada Tempo, Jumat 30 Juli 2021.

Ia akrab dengan warna muram, seperti cokelat, kobalt, amber, dan biru. Menurut Hendro, Goenawan sebagai penyair yang ingin menemukan idom baru dalam bentuk visual. Seperti puisinya, kata dia, Goenawan ingin mencapai suasana dalam lukisannya.

Dalam proses kuratorial, kata Hendro, ia dan Goenawan sering berbincang seperti ketika ia tertarik pada realisme atau lebih dekat dengan realisme, hingga memperdalam aspek teknis dalam melukis. Ia sempat belajar dengan R.E. Hartono, perupa dari Bandung. Selain itu GM juga belajar dari Youtube.

Karya Monyet Tanpa Teman. Dok Salihara

Goenawan juga dinilai sangat disiplin dan telaten menuangkan proses kreatifnya dalam catatan-catatan, sehingga memudahkan proses kuratorial. Catatan itu lengkap dengan foto. “Tidak cuma menulis catatan, tapi juga intim dengan prosesnya sendiri, dengan benda di sekelilingnya.”

Adapun Sri Malela Mahargasarie mengaku lebih banyak mengobrol dan berdiskusi tentang pengalaman dan proses kreatifnya. “Dia tidak melulu bertumpu pada gagasan. Ia sangat terdorong suasana ketika sedang berproses. Itu yang saya tangkap,” ujar Malela.

Gagasan yang sudah ada di kepalanya berhubungan dengan emosi, situasi, dan atmosfer ketika berkarya. Jadi, kata Malela, Goenawan tidak selalu terpukau pada gagasan rigid di kepala, tapi dari pengalaman yang ia temui. Misalnya, ketika lampu mati, melihat sebuah benda, bahkan material yang ia temui. “Beberapa kali ia bercerita dapat kanvas bagus yang mempengaruhinya bergerak. Ketika menggoreskan kuas menghasilkan warna yang berbeda.”

Karya Sirkus Terakhir. Dok Salihara

Menurut Malela, Goenawan berproses seperti ketika menulis puisi. Tidak membuat kata-kata indah, berpetuah, melainkan menemukan kata yang membentuk suasana. “Seperti suasana atau pengalaman keseharian yang sering kita alami.”

Dari proses itu, lahirlah karya-karya, misalnya lukisan seekor monyet bertopi Pak Tino Sidin berjudul Monyet tanpa Teman (2021). Monyet itu berbulu putih abu-abu, raut wajah sedih, matanya menyiratkan kebingungan, hanya berteman dengan sebotol bir dan buntalan melayang. 

Ada pula gajah beratraksi berdiri dengan kakinya di hadapan sesosok tubuh berpakaian biru, berjudul Sirkus Terakhir. Sedangkan lukisan lain tentang sesosok tubuh berambut keriting, berkulit coklat gelap hanya bercelana pendek putih terbaring kaku . Sosok itu dilukis dalam judul Black Lives Matter (2020), seolah menyiratkan kematian dingin sosok itu.

GM intens menuangkan inspirasi dan gagasan seni rupanya dalam lima tahun terakhir. Ia mengaku belajar dari YouTube, lalu sempat berproses bersama perupa Hanafi. Keduanya kemudian berpameran bersama di Galeri Nasional beberapa tahun lalu.

Setelahnya, Goenawan bertumbuh subur dengan cat minyak, akrilik, kanvas, pena, dan kertas sketsa. Kemudian ia berpameran tunggal di Semarang dan Yogyakarta. Ia menemukan medium baru di sela-sela menulis puisi, esai, naskah lakon, novel, dan tulisan-tulisan lainnya.

DIAN YULIASTUTI
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus