Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TAHUN lalu. Sekitar bulan ini juga. Cobalah datangi apotek ataupun minimarket dan tanyakan apakah mereka menjual vitamin C. Hampir dapat dipastikan jawabannya tidak ada. Kalaupun ada, pembeliannya dibatasi. Kala itu, Covid-19 baru saja secara resmi diumumkan masuk ke negeri ini dan banyak orang dengan panik menimbun berbagai kebutuhan sehari-hari ataupun amunisi melawan pandemi. Barang-barang menjadi langka di mana-mana, termasuk vitamin C. Di tangan pematung Dolorosa Sinaga, situasi kelangkaan suplemen penjaga daya tahan tubuh itu diejawantahkan dalam sebuah karya seni menggelitik. Dia membuat patung dari bekas plastik pembungkus Ester-C.
“Patung” itu tentu berwarna kuning seperti ciri warna vitamin C. Dolorosa memilin, meremas, dan menempel kemasan plastik hingga membentuk figur manusia dengan rok berkibar. Satu tangannya terangkat ke udara, memegang secarik plastik memanjang yang dapat dibayangkan sebagai papan ataupun bendera. Gayanya mirip ciri patung perempuan Dolo dalam seri tariannya beberapa tahun lalu yang dia buat dari resin. Namun yang ini dihiasi tulisan merek vitamin dan bekas sobekan di sekujur tubuhnya. Karya itu diberi judul tanpa basa-basi: Berebut Vitamin C Akibat Covid-19.
Karya Dolorosa ini mungil sekali. Pada keterangannya tercantum ukuran 10,5 x 3,5 x 21 sentimeter. Kita dapat melihatnya secara virtual lewat pameran berjudul “Hidup Berdampingan dengan Musuh” oleh Ciputra Artpreneur sepanjang 25 Februari-1 Juni 2021. Dalam ruang virtual yang dapat dinavigasikan lewat kursor atau tanda panah di keyboard itu, karya ini bisa saja terlewatkan, saking mungil dan tipisnya. Agaknya menarik juga jika karya dari limbah ini suatu saat dapat kita lihat di ruang pamer betulan, berdampingan dengan karya-karya logam Dolorosa yang sarat emosi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Nursing You, Nursing Me karya Arya Pandjalu. Ecatalogue HBDM
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ada sekitar 100 seniman yang turut serta dalam pameran yang dikuratori Rifky Effendi ini. Sebagian besar memamerkan karya dua dimensi berupa lukisan atau foto serta beberapa patung dan figur tiga dimensi. Tak perlu ditebak, temanya adalah respons artistik atas situasi pandemi. Namun ada juga beberapa karya lama sejumlah seniman dari dua-tiga tahun lalu—sebelum virus merebak—yang diturutsertakan karena sesuai dengan topik pameran. Misalnya, karya Agan Harahap berjudul The Ingredients yang memotret seperangkat senjata di tengah penganan sehari-hari buatan 2018.
Untuk menikmati pameran ini, kita dapat mengaksesnya melalui alamat ciputraartpreneur.com/exhibition. Setelah mendaftarkan nama, alamat e-mail, dan nomor telepon seluler, kita akan memasuki sebuah ruang virtual yang tampak seperti lobi utama dengan warna dominan abu-abu gelap. Sejumlah karya sudah langsung terlihat pada sisi kiri dan kanan ruang. Karya-karya itu terlihat seperti logo-logo kecil berbagai warna dan ukuran yang dapat diamati lebih jelas jika kita dekati dengan memencet tanda panah atau menggeser kursor. Ini purwarupa yang mirip dengan yang digunakan Art Jakarta virtual tahun lalu. Bedanya, tata ruang virtual pameran ini tidak dikembangkan dengan mereplikasi ruang atau galeri yang ada fisiknya. “Kami membuat ruang virtual yang benar-benar imajinatif agar pengunjung juga dapat lebih imajinatif dalam penjelajahannya di antara karya-karya,” ujar kurator Rifky Effendi lewat wawancara telepon, Jumat, 23 April lalu.
Ruang pameran dibagi menjadi beberapa aula pamer yang terhubung dengan lorong-lorong. Tiap aula memamerkan karya yang telah dikelompokkan berdasarkan kesamaan gaya, tema, dan corak. Yang menarik, ada atmosfer berbeda yang muncul setiap memasuki ruangan baru. Nuansa itu muncul berkat tata cahaya yang dirancang untuk merepresentasikan perubahan waktu dari terang-benderangnya pagi, siang, sore, hingga pekatnya malam.
Fragment 2020 karya I Wayan Upadana. Ecatalogue HBDM
Salah satu yang paling mencolok pada ruangan utama adalah lukisan cat minyak dua panel Kemalezedine berjudul Ahmad-Muhammad. Pada deskripsi tertulis bahwa lukisan ini berukuran 2 x 4 meter. Tentu gigantisme karya ini tak terasa karena kita hanya mengamatinya lewat layar. Tapi proporsinya yang lebih besar dibanding karya lain pada dinding yang sama membuat lukisan ini langsung menarik perhatian.
Lukisan ini dibuat berdasarkan geguritan Ahmad Muhammad, sebuah naskah lontar tentang perjalanan dua saudara bernama Ahmad dan Muhammad yang berkembang di Kabupaten Jembrana, Bali. Karya sastra ini merekam persentuhan budaya Hindu di Bali dengan tradisi Islam yang dibawa pendatang dari Bugis dan Pontianak. Dalam lukisan Kemalezedine, dua pria itu ditampilkan bertelanjang dada, mengenakan sarung, dan memegang senjata di tangan masing-masing. Mereka terlihat sedang berkejaran dengan wajah serius di tengah hutan dengan tumbuhan aneka warna. Kanvas ini ramai, penuh detail bentuk dan semarak warna. “Lukisan ini saya buat dengan mengikuti pakem-pakem gaya lukisan Ubud,” tulis Kemalezedine dalam deskripsi karyanya.
Ahmad-Muhammad menjadi serial karya Kemalezedine yang diniatkan untuk menghidupkan kembali karya-karya seni lukis Bali Lama. Dia mengikuti jejak Ida Bagus Made Jatasura yang dulu banyak melukis karya dengan tema yang sama untuk menunjukkan keberagaman masyarakat Bali. “Cara ini memperluas anggapan kita selama ini yang menyebut bahwa seni lukis Bali hanya terbatas bicara tentang keseharian masyarakat dan mitologinya saja,” ucapnya.
Dari ruangan utama, kita dapat melangkah ke dua arah berbeda. Satu arah akan membawa pengunjung bertemu dengan karya-karya seniman lain yang diundang khusus oleh tim kurator. Sementara itu, lorong di bagian kanan akan membawa kita ke ruangan yang ditujukan bagi karya-karya dari seniman yang terlibat lewat proses opencall atau undangan terbuka. Kurator menyeleksi 30 seniman muda atau yang belum dikenal luas karyanya untuk tampil pada bagian ini.
Berebut Vitamin C Akibat Covid-19 karya Dolorosa Sinaga. Ecatalogue HBDM
Menjaga harapan dan ingatan di tengah masa sulit adalah semangat utama yang muncul pada sebagian karya. I Wayan Upadana membuat karya yang hampir tak mungkin dilewatkan berupa patung dari kayu jati berbentuk sosok manusia mengenakan kacamata dan setelan alat pelindung diri. Karya ini dibuat untuk mengabadikan ingatan akan terbatasnya interaksi fisik selama 2020. Mengagumkan bagaimana kayu jati yang kokoh itu dapat dipahat hingga menunjukkan rinci kerutan-kerutan pada pakaian.
Salah satu cara “mengabadikan” momen lain dilakukan Arya Pandjalu dengan menggambar wajah-wajah orang mengenakan masker yang saling tumpang-tindih di atas kanvas. Berjudul Nursing You, Nursing Me, pembuatan lukisan ini dimulai Arya dengan mengumpulkan foto teman-temannya dan foto orang lain yang berpose dengan masker lalu diunggah di media sosial. Ratusan foto itu lalu digambar dengan spontan dan sederhana di atas kanvas berukuran 140 x 200 sentimeter. Ratusan wajah dalam warna berpendar bertumpuk memenuhi bidang datar itu, hanya menyisakan sedikit ruang kosong bersaput warna merah di bagian atas. Chaos, sekaligus ada keteraturan, yaitu senasib sepenanggungan.
Beberapa seniman menyelami filosofi di balik pandemi seperti takdir dan teguran untuk kembali berharmoni dengan alam. Sebagian lain melihat dari sudut pandang lebih luas, yaitu tentang perjuangan dan perlawanan. Jika pandemi ini berlangsung lebih lama lagi, barangkali akan muncul pula karya seni tentang betapa ganjilnya mengunjungi pameran seni hanya dengan menggeser panah ke kanan dan ke kiri.
MOYANG KASIH DEWIMERDEKA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo