Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teroka

Panggung Dramaturgi Dua Perupa

Gilang Pradika dan Dian Suci menekankan aspek dramaturgi dalam karya mereka. Menghadirkan fragmen kultural drama kehidupan.

17 Maret 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Pelukis Gilang Pradika dan Dian Suci menggelar pameran di CGartspace, Jakarta.

  • Semangat kesetaraan perempuan yang setia diusung Dian Suci hingga kini.

  • Kekuatan aspek panggung pertunjukan ala Gilang Pradika.

Dua lukisan berkelir merah terang menjadi penyambut tamu pameran berjudul "TABLO!" di CGartspace, Jakarta Selatan. Kedua lukisan itu ditempel di ruangan terdepan galeri. Sekilas kedua lukisan itu seperti kembar karena punya ukuran kanvas yang sama, yakni 90 x 60 sentimeter, serta penggunaan warna cat minyak merah yang serupa.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Salah satu lukisan berjudul It is the Gate Where We are Turning menampilkan sesosok perempuan yang dilukis dari belakang. Perempuan berambut pendek seleher dan memakai baju terusan berwarna merah itu tampak sedang menatap ujung lorong yang dindingnya juga berkelir merah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di sebelahnya terdapat lukisan berjudul When They All were Seated yang lebih vulgar. Secara garis besar, lukisan ini memperlihatkan sebuah mikrofon yang disematkan pada tiang dengan latar belakang tirai besar berwarna merah.

Namun, jika dilihat lebih dekat, pada kepala mikrofon itu terpasang kondom berwarna merah muda. Adapun bagian tirai membentuk lekukan yang dengan mudah diidentikkan dengan alat kelamin perempuan.

Kedua lukisan itu karya terbaru perupa Dian Suci yang mencuri perhatian dalam pameran "TABLO!", yang dihelat sejak 9 Maret lalu. Total ada sembilan lukisan karya Dian bertema perempuan yang dipamerkan kali ini. Ya, perupa kelahiran Kebumen pada 1985 itu memang dikenal kerap menghasilkan karya bertema perempuan.

Lukisan Dian Suci berjudul It is the Gate Where We are Turning yang disajikan dalam pameran bertajuk "TABLO!" di CGartspace, Jakarta Selatan, 15 Maret 2024. TEMPO/Indra Wijaya

Dian mengatakan lukisan It is the Gate Where We are Turning sejatinya menggambarkan perempuan yang terjebak di jalan buntu. Menurut dia, selama ini perempuan kerap mengalami berbagai kendala dan rintangan dalam berbagai perkara, termasuk kesetaraan dengan laki-laki

"Perempuan sering menemui masalah konstruktif, seperti norma dan tatanan. Ini yang bikin perempuan putar balik dan cari jalan lain," katanya ketika dihubungi, Sabtu, 16 Maret 2024.

Adapun melalui lukisan berjudul When They All were Seated, Dian mencoba bereksperimen dengan membebaskan penonton mengartikan lukisannya yang berani itu. Dia mempersilakan orang lain memaknai lukisan tersebut secara seksual lantaran bentuk dua obyeknya, yakni mikrofon dan tirai, mirip alat kelamin laki-laki dan perempuan.

"Penggunaan obyek yang tidak menyiratkan secara langsung kelamin, tapi menggunakan benda lain," ujar perupa yang terjun ke dunia seni sejak 2007 itu.

Namun, menurut Dian, situasi pada lukisan tersebut adalah perempuan yang diberi panggung untuk berbicara. Sayangnya, mikrofon yang digunakan sebagai sarana bicara malah ditutup atau disumbat. Ia menilai itulah permasalahan yang masih kerap dialami perempuan di Indonesia.

Lukisan-lukisan karya perupa Dian Suci dalam pameran bertajuk "TABLO!" di CGartspace, Jakarta Selatan, 15 Maret 2024. Lukisan berjudul Dalam Penjara yang Tak Sama (kanan), You Have Been Hearing My Story So Patiently for a Livetime (kiri atas), dan As Wholly as Dew (kiri bawah). TEMPO/Indra Wijaya

Berkarya dengan membawa isu perempuan rupanya menyimpan kekhawatiran di benak Dian. Salah satunya tentang keterwakilan isu yang ia usung. Ya, Dian gelisah isu dan persoalan perempuan yang ia tuangkan dalam karya seni rupanya tidak mewakili perempuan lain. Dian khawatir isu atau permasalahan yang diangkat hanya ia rasakan sendiri.

"Makanya saya enggak berani dengan istilah mewakili perempuan," ujar perempuan lulusan arsitektur Universitas Indonesia itu.

Selain menampilkan karya Dian, pameran yang bisa dinikmati secara gratis hingga 31 Maret itu menyuguhkan sembilan lukisan Gilang Pradika. Seniman asal Majenang, Cilacap, Jawa Tengah, itu memboyong lukisan bertema surealisme. Karya-karya Gilang menyajikan gambaran yang megah dan rumit.

Seperti karya berjudul Burn yang sejatinya terdiri atas dua lukisan yang digandeng menjadi satu kanvas berukuran 180 x 306 cm. Dalam lukisan tersebut tampak dua pria yang sedang menyemprotkan benda semacam asap ke tumpukan benda. Terdapat pula benda-benda imajinatif, seperti deretan gigi dan gusi yang tersangkut di atas langit-langit rumah sehingga mirip lampu gantung. 

Ada pula lukisan Gilang berjudul Blooms yang menampilkan dua tikus yang memiliki badan dan pakaian seperti manusia. Kedua tikus dengan pose berdiri itu berteduh di bawah bunga berwarna merah. Bunga itu tumbuh di atas pot yang terdiri atas beberapa benda tak lazim, salah satunya deretan gigi lengkap dengan gusinya.

Lukisan berjudul Blooms karya Gilang Pradika dalam pameran bertajuk "TABLO!" di CGartspace, Jakarta Selatan, 15 Maret 2024. TEMPO/Indra Wijaya

Sejatinya pameran ini menyuguhkan sesuatu yang unik. Sebab, ciri khas nan berbeda dari dua perupa seperti membentuk dua sisi di atas panggung. Pertama, karya-karya bertema perempuan Dian Suci yang menampilkan lukisan yang memuat tangkapan gerak manusia dalam gestur teater.

Sedangkan karya-karya Gilang Pradika mengedepankan hal-hal surealisme yang sangat rapat. Perupa kelahiran 1988 itu lebih banyak menyuguhkan kolase, yang jika digabungkan menghasilkan sebuah adegan karut-marut.

Kurator pameran Gintani Swastika dan Hendra Himawan mengatakan Dian dan Gilang sukses menghadirkan fragmen kultural drama kehidupan dalam karya-karyanya. Keduanya juga mampu meneguhkan metode kekayaan lewat mode kerja tableaux vivant atau tablo, yang berarti sebuah dramaturgi pertunjukan dengan figur dan obyeknya berpose dramatik di depan mata pengamat.

"Membangun dialog estetik antara seni lukis dan teater, kedua pelukis menekankan aspek dramaturgi dan pengolahan visual dan narasi," demikian ditulis Gintani.

Pada isu domestifikasi perempuan dan anti-otoritarian, Dian memanggungkan sendiri dirinya lewat pose teatrikal, perangkat, dan latar penanggungan. Dian, kata Gintani, sanggup menghadirkan penangguhan estetis dengan pose agitatif, obyek seduktif, dan gestur performatif. Potret diri Dian hadir sebagai subyek yang mengambil posisi dan kendali atas obyek serta tatapan patriarki.

Sementara itu, Gilang lebih menaruh perhatian pada aspek konflik panggung pertunjukan. Adapun konflik dalam dunia Gilang condong pada isu eksistensi, ambiguitas kondisi, tragedi, dan eskapisme manusia. Setiap konflik itu merupakan rangkaian peristiwa janggal yang menyisakan kecanggungan.

"Kolase merupakan metode yang dipilih untuk menggambarkan pandangannya atas momen konflik yang mengiris nalar dan batin," Hendra menerangkan dalam tulisan kuratorial.

Gintani dan Hendra sepakat menautkan lukisan dan panggung teater yang menunjukkan kedua pelukis mampu menjemput arti kebebasan untuk mengkonstruksi gambar sampai membangun ilusi. Menurut kedua kurator, "Lewat pameran ini, mereka mendorong ingatan dan imajinasi serta menghadirkan ruang bagi panggung batin pengamat."

INDRA WIJAYA

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus