Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kopassus: Inside Indonesia's Special Forces
Penulis : Ken Conboy
Penerbit : Equinox, 2002
SESUAI dengan namanya, Kopassus memang memiliki banyak "kekhususan"—baik dalam hal formasi tempur maupun non-tempur. Pasukan elite ini diberi label Pasukan Khusus (Special Forces) karena posisi dan perannya yang khusus dalam formasi tempur. Tidak seperti pasukan infanteri umumnya, Kopassus bergerak dalam unit kecil, dadakan, dan terselubung (combat intelligence). Pasukan ini juga bersifat "khusus" pula dalam hal sejarah dan penyebaran informasi menyangkut seluk-beluk institusi.
Kalau sudah berurusan dengan soal sejarah atau informasi, Kopassus memang terkesan tertutup. Dalam Special Forces: the Men, the Weapons and the Operations (Salamander Books, 1999), karangan David Miller, hanya ada satu paragraf yang menjelaskan unit ini. Itu pun tidak memberikan informasi tentang organisasi dan besar kekuatannya, tapi lebih ke soal operasi pembebasan sandera di Mapenduma, Papua (1996). Padahal pasukan khusus negara lain—seperti Inggris, Prancis, Korea, dan Israel—bisa dibahas berlembar-lembar. Ini menunjukkan bahwa penulis buku itu tidak memperoleh data yang memadai, atau Kopassus memang memberlakukan kebijakan sangat ketat soal pemberian informasi bagi pihak luar, bagi peneliti sekalipun.
Di sinilah kehadiran buku Kopassus: Inside Indonesia's Special Forces memberikan sumbangan bagi penyebaran pelbagai informasi penting: dari sejarah pendirian, riwayat perjalanan satuan, hingga kisah beberapa operasinya (menumpas DI/TII, PRRI/Permesta, Irian Barat, hingga ke operasi Woyla di Bangkok 1981). Dari buku ini pula, kita banyak memperoleh informasi tentang figur komandan pertama Kopassus, Mayor Moch. Idjon Djanbi (Rokus Bernardus Visser), yang selama ini hanya terdengar samar-samar. Kopassus: Inside Indonesia's Special Forces menunjukkan adanya sentuhan Mayor Djanbi dalam memilih warna (merah)—sebenarnya merupakan warna baret pasukan khusus Inggris—bagi baret satuan ini.
Itu tak lepas dari perjalanan Djanbi sendiri sebagai anggota pasukan khusus Belanda di bawah bendera Sekutu pada Perang Dunia II dulu. Saat mendaftar sebagai anggota pasukan komando dulu, Djanbi berlatih di pusat pelatihan pasukan khusus Inggris di kawasan Acknacary (Skotlandia), di bawah pengawasan para instruktur Inggris pula. Karena itu pula, kurikulum yang dipakai Djanbi untuk menempa "embrio" pasukan komando di negeri kita banyak mengadopsi kurikulum Inggris, tempat Djanbi dulu dibentuk.
Sampai kini baret warna merah tetap dipakai oleh pasukan elite Inggris (The Parachute Regiment). Sementara itu, pasukan elite lain yang sudah sangat identik dengan nama "Baret Hijau" (The Green Berets), yaitu US Army Special Forces, baru didirikan pada 1952, tahun yang sama dengan berdirinya Kopassus, dan karena itu belum bisa dijadikan acuan bagi pembentukan satuan komando.
Buku ini murni membaca sejarah kesatuan khusus ini dari sisi operasi militer, termasuk persiapannya dan jenis senjata yang digunakan, tapi menghindari pembahasan sisi politiknya—terutama setelah Soeharto menjadi presiden. Jadi, jangan berharap kita akan mendapat data soal bisnis ilegal tentara, misalnya, apalagi topik-topik kontemporer saat Kopassus menghadapi periode kritis: penculikan para aktivis menjelang Mei 1998, pembunuhan Theys mulai diketahui dan dipermasalahkan publik, ataupun saat pembangunan Mal Cijantung. Rentang waktu yang dibahas buku ini—sejak masa pembentukannya (1952) sampai akhir 1980-an—tidak memungkinkan hal itu.
Tapi buku ini bisa bercerita tentang proses pergantian pucuk pimpinan di tengah situasi politik yang panas. Ada pelbagai referensi untuk memandang penyerahan jabatan dari Mayjen TNI Muchdi P.R. kepada Mayjen TNI Syahrir M.S. di tahun 1998. Mantan orang nomor satu di Baret Merah ini tak selalu mulus dalam karier selanjutnya. Komandan pertama dan kedua Kopassus, Moch Idjon Djanbi dan Djaelani, harus pensiun dini dari dinas militer, selepas memimpin Kopassus, dengan problematika masing-masing. Ini juga terjadi pada masa-masa sekarang, seperti pensiun dini pada Letjen TNI (Purn.) Prabowo Subianto.
Kopassus adalah satuan militer yang sudah terpandang sejak didirikannya. Terkadang hal ini membawa dampak yang kurang baik: rentan terhadap ajakan pihak luar yang menarik-narik Kopassus dalam kegiatan bernuansa politis. Selain itu, sebagai satuan militer elite yang penuh dengan berbagai operasi, sejak dulu Kopassus menjadi tempat persemaian para perwira muda potensial yang kelak mengisi pos-pos jabatan pimpinan TNI. Nama-nama seperti Benny Moerdani, Dading Kalbuadi, Sugito, Sintong Panjaitan, Yunus Yosfiah, Hendropriyono, Prabowo, dan lain-lain adalah perwira yang sudah dikenal publik saat masih berpangkat kapten atau mayor, berkat prestasi mereka di lapangan. Buku macam ini memang langka ditulis.
Aris Santoso, pengamat TNI, alumni Jurusan Sejarah FSUI
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo