Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pelukis Salim (71 tahun) telah tinggal di Perancis sekitar 50
tahun. Kemudian bekerja di Kedutaan Besar Indonesia di Paris
sampai tiga-empat tahun yang lalu. Selama itu ia sempat
berpameran tunggal di Sete (Perancis Selatan), di Paris, Jenewa,
Amsterdam.' Juga sempat berpameran tunggal di Jakarta dua kali
(1956 dan 1964). Beberapa kali memenangkan badiah pameran
internasional di Paris.
Di bawah ini wawancara Noorca Marendra, koresponden TEMPO di
Yaris.
WAWANCARA ini berlangsung di ruang pameran dan di rumahnya yang
cukup besar di tingkat 6 186 avenue Charles de Gaulle -- 92
Neuilly sur Seine beberapa ratus meter dari Paris. Di rumah yang
dihuni sendirian itu Salim memelihara burung-burung mandarin
yang beterbangan dalam rumah. Juga empat ekor kura-kura kecil
yang ditaruhnya dalam baskom. Yang tertua 7 tahun, lalu 5, 4 dan
3 tahun umurnya. Beberapa lukisan tergantung di dinding.
Setumpuk plat dan rak buku serta sangkar burung bertengger di
ruang tamu. Banyak pot bunga di jendela. Serta botol-botol
minuman. Ia minum vodka. Pakaiannya seperti kebanyakan orangtua
di Paris. Wajahnya yang berlemak dan berkaca mata serta suaranya
yang berat menyarankan betapa sudah jauhnya ia meniti hidup.
Lukisan anda sebagian besar berupa pemandangan beton dan pohonan
tanpa makhluk hidup. Terasa sunyi. Apakah anda begitu kesepian?
Ya, saya memang kesepian. Saya hidup sendirian di tengah kota
besar ini selama 40 tahun. Tapi saya tak merasa asing. Bahasa
Perancis sudah menjadi bahasa saya. Dan lukisan saya itu walau
pun sepi tapi tampil dengan warna riang.
Apakah itu berarti anda sekarang bahagia?
Bahagia? Mungkin. Tapi saya sudah tua. Orang seumur saya ini
tentu banyak penyakit.
Kapan ide-ide lukisan anda ini lahir?
Lebih dari enambelas tahun yang lalu. Anda tahu, selama itu saya
dipenjara di KBRI Paris. Saya bekerja di sana untuk bisa hidup
dan menabung. Saya tak punya waktu untuk melukis. Satu-satunya
kesempatan pada hari Sabtu dan Minggu. Bila week-end tiba,
saya rasanya gemetar. Saya ingin melukis. Tapi hari Senin segera
tiba. Begitulah sepanjang tahun hingga ketika saya pikir
tabungan saya sudah cukup saya keluar dari KBRI. Dua tahun saya
mengerjakan lukisan-lukisan ini. Setiap hari.
Apakah anda tidak iri dengan pelukis Rusli yang sudah menikah?
Ya, ya, saya dengar itu. Saya mau menikah. Tapi sama siapa? Saya
memang punya seorang teman wanita, tapi untuk menikah di Paris
ini harus menghitung uang. Dan saya tetap seorang Salim yang tak
punya apa-apa.
Anda tak ingin pulang?
Untuk apa? Hidup di Jakarta sungguh gersang. Kota besar di
Indonesia sudah berkembang tidak teratur. Saya senang tinggal
di Tegal, Pasuruan Besuki dan Solo. Kota-kota itu nyaman. Tapi
saya tidak bisa untuk selamanya tinggal di sana. Saya tak punya
apa-apa. Lagi pula di Jakarta tak ada buku-buku yang baik. Dan
tanpa bicara soal politik, saya tak bisa membaca koran-koran
yang isinya sudah di .... anda tahu maksud saya. Mau baca
majalah luar negeri, eh, ada tinta hitam-hitam. Tadinya saya tak
mengerti kenapa begitu. Tapi setelah diberitahu saya cuma
ketawa. Di sana suasana tidak terbuka seperti di sini. Tapi
kadang-kadang saya ingin pulang bila ingat buah sawo. Sawo itu
enak sekali. Saya ini pemakan sawo. Di sini tidak ada.
Sampai kapan anda melukis?
Umur saya tak akan lama memang. Tapi saya ingin melukis sampai
mati. Bung Karno dulu bilang sama saya Salim, kamu mau mati
tinggal di Paris? Saya jawab, tidak, saya justru mau hidup, Bung
! Dan kalimat itu jadi semacam pendorong bagi saya sampai
sekarang.
Tapi untuk apa sebenarnya anda melukis?
Untuk apa? Untuk mengabadikan keindahan di depan Tuhan Allah.
Tuhan menciptakan keindahan alam bagi manusia. Dan saya ingin
mengabadikannya dalam lukisan-lukisan saya untuk semua orang.
Bagaimana kritik senirupa di sini (Paris) menurut anda?
Harus diketahui bahwa di Paris cukup banyak kritikus yang buruk.
Sebagai intelektuil mereka pandai menyatakan jalan pikiran. Tapi
menilai karya senirupa intelek saja tidak cukup.
Tentang kritik senirupa Indonesia?
Saya tak pernah baca. Siapa, sih, kritikus yang baik?
Pertanyaan terakhir, mengapa anda memilih pameran Juni, waktu
orang sudah siap pakansi musim panas?
Yang menentukan bukan saya. Tapi Galeri. Dan saya tak bisa
berbuat lain. Anda tahu, pembeli lukisan di sini kebanyakan
perempuan. Merekalah yang merajuk kepada suaminya. Dan di
mana-mana perempuan memang banyak menentukan kebijaksanaan suami
atau mempengaruhinya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo