Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teroka

Pelukis pemakan sawo

Wawancara noorca m. koresponden tempo di paris dengan pelukis salim, yang tinggal di prancis sekitar 50 tahun. beberapa kali memenangkan hadiah pameran internasional di paris. (sr)

21 Juli 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pelukis Salim (71 tahun) telah tinggal di Perancis sekitar 50 tahun. Kemudian bekerja di Kedutaan Besar Indonesia di Paris sampai tiga-empat tahun yang lalu. Selama itu ia sempat berpameran tunggal di Sete (Perancis Selatan), di Paris, Jenewa, Amsterdam.' Juga sempat berpameran tunggal di Jakarta dua kali (1956 dan 1964). Beberapa kali memenangkan badiah pameran internasional di Paris. Di bawah ini wawancara Noorca Marendra, koresponden TEMPO di Yaris. WAWANCARA ini berlangsung di ruang pameran dan di rumahnya yang cukup besar di tingkat 6 186 avenue Charles de Gaulle -- 92 Neuilly sur Seine beberapa ratus meter dari Paris. Di rumah yang dihuni sendirian itu Salim memelihara burung-burung mandarin yang beterbangan dalam rumah. Juga empat ekor kura-kura kecil yang ditaruhnya dalam baskom. Yang tertua 7 tahun, lalu 5, 4 dan 3 tahun umurnya. Beberapa lukisan tergantung di dinding. Setumpuk plat dan rak buku serta sangkar burung bertengger di ruang tamu. Banyak pot bunga di jendela. Serta botol-botol minuman. Ia minum vodka. Pakaiannya seperti kebanyakan orangtua di Paris. Wajahnya yang berlemak dan berkaca mata serta suaranya yang berat menyarankan betapa sudah jauhnya ia meniti hidup. Lukisan anda sebagian besar berupa pemandangan beton dan pohonan tanpa makhluk hidup. Terasa sunyi. Apakah anda begitu kesepian? Ya, saya memang kesepian. Saya hidup sendirian di tengah kota besar ini selama 40 tahun. Tapi saya tak merasa asing. Bahasa Perancis sudah menjadi bahasa saya. Dan lukisan saya itu walau pun sepi tapi tampil dengan warna riang. Apakah itu berarti anda sekarang bahagia? Bahagia? Mungkin. Tapi saya sudah tua. Orang seumur saya ini tentu banyak penyakit. Kapan ide-ide lukisan anda ini lahir? Lebih dari enambelas tahun yang lalu. Anda tahu, selama itu saya dipenjara di KBRI Paris. Saya bekerja di sana untuk bisa hidup dan menabung. Saya tak punya waktu untuk melukis. Satu-satunya kesempatan pada hari Sabtu dan Minggu. Bila week-end tiba, saya rasanya gemetar. Saya ingin melukis. Tapi hari Senin segera tiba. Begitulah sepanjang tahun hingga ketika saya pikir tabungan saya sudah cukup saya keluar dari KBRI. Dua tahun saya mengerjakan lukisan-lukisan ini. Setiap hari. Apakah anda tidak iri dengan pelukis Rusli yang sudah menikah? Ya, ya, saya dengar itu. Saya mau menikah. Tapi sama siapa? Saya memang punya seorang teman wanita, tapi untuk menikah di Paris ini harus menghitung uang. Dan saya tetap seorang Salim yang tak punya apa-apa. Anda tak ingin pulang? Untuk apa? Hidup di Jakarta sungguh gersang. Kota besar di Indonesia sudah berkembang tidak teratur. Saya senang tinggal di Tegal, Pasuruan Besuki dan Solo. Kota-kota itu nyaman. Tapi saya tidak bisa untuk selamanya tinggal di sana. Saya tak punya apa-apa. Lagi pula di Jakarta tak ada buku-buku yang baik. Dan tanpa bicara soal politik, saya tak bisa membaca koran-koran yang isinya sudah di .... anda tahu maksud saya. Mau baca majalah luar negeri, eh, ada tinta hitam-hitam. Tadinya saya tak mengerti kenapa begitu. Tapi setelah diberitahu saya cuma ketawa. Di sana suasana tidak terbuka seperti di sini. Tapi kadang-kadang saya ingin pulang bila ingat buah sawo. Sawo itu enak sekali. Saya ini pemakan sawo. Di sini tidak ada. Sampai kapan anda melukis? Umur saya tak akan lama memang. Tapi saya ingin melukis sampai mati. Bung Karno dulu bilang sama saya Salim, kamu mau mati tinggal di Paris? Saya jawab, tidak, saya justru mau hidup, Bung ! Dan kalimat itu jadi semacam pendorong bagi saya sampai sekarang. Tapi untuk apa sebenarnya anda melukis? Untuk apa? Untuk mengabadikan keindahan di depan Tuhan Allah. Tuhan menciptakan keindahan alam bagi manusia. Dan saya ingin mengabadikannya dalam lukisan-lukisan saya untuk semua orang. Bagaimana kritik senirupa di sini (Paris) menurut anda? Harus diketahui bahwa di Paris cukup banyak kritikus yang buruk. Sebagai intelektuil mereka pandai menyatakan jalan pikiran. Tapi menilai karya senirupa intelek saja tidak cukup. Tentang kritik senirupa Indonesia? Saya tak pernah baca. Siapa, sih, kritikus yang baik? Pertanyaan terakhir, mengapa anda memilih pameran Juni, waktu orang sudah siap pakansi musim panas? Yang menentukan bukan saya. Tapi Galeri. Dan saya tak bisa berbuat lain. Anda tahu, pembeli lukisan di sini kebanyakan perempuan. Merekalah yang merajuk kepada suaminya. Dan di mana-mana perempuan memang banyak menentukan kebijaksanaan suami atau mempengaruhinya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus