Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teroka

Pemberontakan Melawan Televisi

Festival video internasional digelar. Perlawanan terhadap kemapanan citra bentukan teknologi media dan budaya tontonan.

25 Juli 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pada mulanya sebuah kaleng. Awal Juli lalu, sekitar sepekan menjelang Jakarta Video Festival 2005 digelar, mata Eko Nugroho tertumbuk pada kaleng makanan. Berasal dari Cina, bermerek Ma Ling, kaleng itu terus mengusiknya. Merek Ma Ling yang tertera melecut ide liar pemuda 28 tahun ini: membuat video tentang kriminalitas bertema maling--dalam arti sesungguhnya.

Lalu, Eko merangkai ceritanya. Dengan menggunakan teknik kolase, ia mengkombinasikan potongan-potongan adegan acara interaktif dari sejumlah stasiun televisi swasta nasional. Berbagai adegan itu dihilangkan bunyinya sehingga para presenter dalam acara-acara itu hanya terlihat mengangguk-angguk. Di sela-sela itu, muncul seseorang yang dipukuli massa hingga babak-belur. Mencekam, dramatis, menyentak.

Video instan berjudul Maling itu satu di antara 30 karya seni video yang dipamerkan di Jakarta Video Festival, di Galeri Nasional, 18-31 Juli 2005. Maling ditampilkan di televisi 14 inci yang masih terbungkus kardusnya. Televisi itu ditempatkan di dalam sebuah troli belanjaan, bertumpukan dengan barang konsumsi sehari-hari, dari biskuit, minuman kaleng, detergen, hingga susu kaleng. "Saya sendiri yang merancangnya," kata seniman dari komunitas Daging Tumbuh, Yogyakarta, itu.

Seni video (video art) merupakan sebuah ranah baru yang muncul dari sejarah seni rupa. Di Barat, tempat gerakan ini berasal, awalnya seni video digunakan sebagai kritik terhadap budaya televisi yang homogen. Para penggiat seni video berasumsi bahwa ideologi televisi yang komersial telah menanamkan sesuatu yang berdimensi tunggal ke benak penonton. Mereka berupaya membebaskannya dengan mempertanyakan kembali problem narasi, imaji, plot, dan citra-citra kebudayaan massa yang disuguhkan televisi.

Gerakan itu menjalar ke sejumlah negara. Di Indonesia, Teguh Ostentrik dan Krisna Murti boleh dibilang perupa yang selama ini memelopori gerakan seni video itu. Seiring bergulirnya waktu, sejumlah komunitas anak muda di Bandung dan Jakarta kemudian getol bergelut di jagat ini. Dan Ruang Rupa, sebuah komunitas seni di bilangan Tebet, Jakarta, adalah satu di antara yang cukup menonjol. Jakarta Video Festival 2005, yang diikuti peserta dari, antara lain, Belgia, Swiss, Italia, Amerika, Meksiko, Jepang, Korea, Cina, Rusia, dan Indonesia, merupakan festival seni video kedua yang dimotori komunitas seni tersebut.

Menurut Ade Darmawan, Direktur Ruang Rupa, festival pertama pada 2003 lalu hanya memotret perkembangan seni video. Festival kali ini--bertema sub/version--menawarkan pengertian kritis tentang gambar bergerak. Karya-karya seni video yang ditampilkan berupaya memberikan pengertian kritis kepada cara kita melihat kenyataan yang dibentuk teknologi media dan budaya tontonan. "Festival ini berusaha menegaskan kembali sebuah cara intervensi terhadap realitas semu yang dibentuk oleh teknologi media dan budaya tontonan," katanya. "Caranya dengan mensub-versi atau membuat versi berbeda lewat medium video."

Kurator festival, Agung Hujatnikajenong, menyatakan bahwa 30 karya seni video yang ditampilkan itu merupakan bentuk perlawanan--dalam arti positif--terhadap kemapanan citraan gambar bergerak yang telah dibentuk teknologi media dan budaya tontonan. "Bentuk perlawanan itu dengan cara memanipulasi apa yang telah diproduksi teknologi media dan budaya tontonan," ujarnya.

Sebagian besar cara yang dipakai para seniman dari 17 negara dalam festival itu adalah memanfaatkan strategi para hacker di dunia Internet. Mereka terlebih dulu "masuk ke dalam"--dengan cara mengutip, merekam, dan mereka ulang--citraan gambar bergerak yang telah mapan: iklan, film-film populer, berita TV, reality show, gambar satelit, Internet. "Setelah itu, mereka merusaknya dengan tendensi untuk melakukan kritik," Agung menjelaskan.

Misalnya karya Ra di Martino dari Italia bertajuk Untitled (Rambo). Martino, 30 tahun, membuat versi berbeda dari film klasik Hollywood, Rambo. Ia mengubahnya menjadi film bisu berdurasi pendek, sekitar tiga menit. Martino mengutip dan mereka ulang beberapa adegan dalam film Rambo III, lalu membubuhkan teks narasi dan percakapan para tokohnya. Dalam video itu, Rambo, yang senantiasa diceritakan sebagai pahlawan perang Amerika nan tangguh, justru mengalami kegagalan dalam misinya. Ia putus asa dan pergi mencari perang lain. Karya ini mengkritik secara halus propaganda politik Amerika sebagai negara adikuasa lewat media film yang populer.

Apoohcalypse Now, karya Artemio dari Meksiko, cukup menyentak. Dalam tayangan video sekitar delapan menit itu, Artemio menggubah footage dari film Apocalypse Now besutan sutradara Francis Ford Coppola dan Winnie the Pooh. Si beruang Pooh memainkan monolog dari tokoh utama film, Kolonel Kurtz, yang aslinya diperankan Marlon Brando. Artemio mengkombinasikan kehalusan dan keluguan Pooh dengan horor kesunyian perang yang merajai Kolonel Kurtz. Artemio mereka ulang Pooh yang imut gelisah dihantui masa silam menyeramkan: membantai anak-anak Vietnam. Karya seniman berusia 29 itu mengkritik kekerasan sepihak yang dilakukan Amerika dalam Perang Vietnam. Juga dampak mengerikan dari perang terhadap jiwa para pelakunya sendiri, Kolonel Kurtz.

Mungkin yang cukup unik adalah karya Jompet, 28 tahun, dari Indonesia. Video instalasi bertajuk Nobody's Body itu menyuguhkan hasrat seseorang untuk selalu menggandakan tubuhnya. Menurut Jompet, ide itu muncul dari perenungannya atas perjalanan sejarah hidupnya. "Tubuh saya merupakan salinan genetis dari orang tua saya," katanya. "Dan apa yang saya lakukan tak lepas dari sejarah masa lalu saya."

Gagasan itu dituangkan pemuda Yogyakarta bernama asli Kus Widananto ini dalam video instalasi. Terdiri dari tiga panel, cermin, layar proyektor, dan foto sejumlah tokoh bersejarah yang wajahnya diganti dengan wajah Jompet sendiri. Di antara ketika panel itu dipasang sensor cahaya yang akan berbunyi ketika ada benda yang melintas di depan instalasi itu.

Menurut Jompet, cermin itu ingin mengajak orang untuk melihat dirinya sendiri. Tapi, begitu berdiri di depan cermin itu, dia akan terkena sensor sinar yang membentuk bayangannya. Meski dia melihat dirinya pada cermin itu, ia hanya merupakan bayangan dari masa lalu. "Dan bayangan itu direpresentasikan dalam foto-foto tokoh sejarah yang menyala," ujar alumni Ilmu Komunikasi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, itu.

Begitulah. Hanya, festival yang ingin menggunakan video sebagai alat berkomunikasi lebih intens dengan publik itu terasa kurang mengena. Sebab, format festival video itu sendiri masih berkesan pameran, yang hanya dinikmati sekian ratus orang. Atau, jangan-jangan para seniman video itu memang tak sejalan dengan kapabilitas komunikasi massal mediumnya.

Agung Hujatnikajenong menampiknya. Menurut dia, ke depannya, mereka akan memperluas ruang-ruang pameran. "Mungkin kita akan memamerkan karya seni video itu di ruang-ruang publik," katanya. "Seperti di pusat perbelanjaan, stasiun kereta api, terminal bus, taman, dan lain-lain," pengajar Institut Teknologi Bandung itu menjelaskan.

Nurdin Kalim

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus