Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teroka

Pencarian di Dalam Sunyi

Film-film yang ditayang-kan Jakarta International Film Festival masih saja membuat kita takjub. Inilah sebagian yang kami rekomendasikan untuk Anda.

17 Desember 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Into the Wild Sutradara: Sean Penn Skenario: Sean Penn Berdasarkan buku karya Jon Krakauer Pemain: Emile Hirsch, William Keener, Marcia Hay Garden, Hal Holbrook.

Bayangkan hidup di antara kebesaran alam tanpa peta; tanpa jam dan tanpa peradaban. Inikah yang dicari seorang Chris McCandles di ujung dua tahun petualangannya di dalam keganasan alam? Sutradara Sean Penn mengangkat Into the Wild karya Jon Krakauer ke layar lebar, buku berdasarkan kisah nyata Chris McCandles, putra sulung dari sebuah keluarga yang berkecukupan. Pendidikan tinggi di Emory College melicinkan jalannya meneruskan ilmu hukum di Universitas Harvard; sementara orang tuanya yang bangga menyiapkan hadiah mobil bagi Chris yang sudah menjadi sarjana.

Tetapi Chris menginginkan jalan yang berbeda.Dia membakar kartu kredit dan kartu identitasnya; dia menyumbangkan uang tabungan US$ 24 ribu (yang disiapkan untuk biaya pendidikan ke Harvard) ke Oxfam; dan dia meninggalkan Washington beserta mobilnya; dengan ransel, sedikit beras, serta beberapa botol air minum, dia pergi bertualang mencari diri.

Dengan suara Eddie Vedder (vokalis Pearl Jam), Sean Penn memulai filmnya di tengah perjalanan Chris—yang menggunakan nama samaran Alexander Supertramp—di Alaska. Film itu dimulai dengan beberapa kalimat buku harian Chris yang ditulis di tengah layar; teknik yang jarang digunakan para sineas, tapi tampak begitu pas, liar sekaligus menimbulkan rasa ingin tahu yang besar.

Apa yang dicari Chris? Apa dia gila; otaknya terbalik atau dia memang ingin bermesraan dan berpelukan dengan alam yang—sering begitu—ganas dan kejam? Untuk pemahaman penonton, Penn perlahan bolak-balik pada masa kecil Chris ketika dia tumbuh dalam keluarga kaya yang sering bertengkar; ayah (diperankan William Hurt) yang keras dan kaku (yang ternyata sebelumnya memiliki istri yang belum diceraikan). ”Secara hukum, ternyata ibuku hanyalah simpanan gelap, dan aku dan adikku adalah anak yang lahir di luar nikah,” katanya memberikan narasi dengan suara pahit.

Narasi itu dilakukan bergantian dengan Carine (Jena Malone) adiknya, yang juga menjadi salah satu sumber buku Jon Krakauer. Sesekali, kita terharu, tersentuh, terutama ketika Chris bertemu dengan berbagai karakter dalam perjalanannya menuju Alaska: sepasang hippies, seorang gadis berusia 16 tahun, petani, dan seterusnya. Mereka mewakili pertanyaan kita: apa yang kau cari, Nak? Kenapa membuang semua milikmu untuk temuan yang tak jelas di tengah hutan dan salju?

Jawaban itu seharusnya terdapat tatkala Chris bertemu dengan kehidupan di alam: menembak binatang, menghemat beras, tidak mandi, tidak cukur, tidur di alam terbuka, atau bus yang terdampar. Terkadang dia berbicara sendiri, terkadang dia berbicara kepada matahari. Namun hubungan dan intensitas antara Chris dan alam tak terlalu menyentuh dibanding hubungannya dengan manusia. Alam yang ditemuinya tidak agresif secara visual; tampak tenang (meski mematikan) dan Chris tampak santun. Maka ada menit-menit yang cukup terasa ”lama” dan lamban.

Kematian Chris pada akhir film—yang tentu saja sudah diketahui mereka yang membaca kisah hidup Chris —baru menjadi klimaks dari seluruh aliran dan emosi yang mondar-mandir menyesaki dada. Chris mencari dirinya, dan itu sesuatu yang mengagumkan; yang tak sering terjadi pada anak-anak muda seusianya yang lebih memuja kemudahan dan kenyamanan.

Pada akhirnya, Chris menemukan kedamaian di dalam sunyi.

Leila S. Chudori


Dari Imajinasi Berisik Sang Brionny Karya gemilang Ian McEwan yang diangkat sebagai film yang sama dahsyatnya. Calon penerima Academy Awards.

ATONEMENT Sutradara: Joe Wright Skenario: Christopher Hampton Berdasarkan novel karya Ian McEwan Pemain: Keira Knightley, James McAvoy Produksi: Focus Films

DI sebuah musim panas pada 1935, segalanya tampak begitu sempurna. Sinar matahari berhasil memandikan kulit Cecilia Tallis (Keira Knightly) yang mulus bak pualam; sementara sang adik yang cerdas yang baru berusia 13 tahun, Brionny Tallis (Saoirse Ranon), tengah menggunakan jari-jari kecilnya mengetik drama berjudul The Trial of Arabella.

Siang yang tampak sempurna tak memberikan indikasi bahwa malam itu nahas akan menimpa keluarga Tallis. Keluarga itu tengah menerima tetamu. Sang putra sulung, Leon, kembali sembari membawa Paul Marshall, seorang pengusaha muda. Tiga keponakan lain, Lola, 15 tahun dan si kembar Pierrot dan Jackson yang ’dititipkan’ sementara di keluarga itu, menjadi problem lain yang kelak akan mengubah nasib keluarga Tallis.

Pada siang yang panas itu, dari sebuah jendela, Brionny melihat pemandangan yang menyesakkan dada: si jelita Cecilia membuka baju dan menceburkan diri ke dalam kolam air mancur. Di dalam imajinasinya yang subur—dan menjadi begitu berbahaya—Brionny menyangka baru saja diperlakukan tak senonoh oleh Robbie Turner (James McAvoy), putra pengurus rumah keluarga besar Tallis. Robbie seorang pemuda ganteng dan santun yang menyelesaikan pendidikannya di Cambridge (bersama Cecilia) atas biaya keluarga Tallis. Si kecil Brionny pun mengagumi sang pemuda dari jauh.

Tingkah laku Cecilia dan Robbie yang tak dipahami Brionny kemudian menumbuhkan imajinasi buruk dalam pemikiran Brionny. Malam itu, ketika terjadi pemerkosaan terhadap Lola, Brionny langsung mengasumsikan Robbielah yang bertanggung jawab. Ingat, ini tahun 1935. Perangkat forensik ala CSI belum ditemukan. Dan tuduhan pemerkosaan bisa terjadi hanya berdasarkan kesaksian Brionny yang menciptakan bualan.

Film ini dibuat dengan plot yang amat setia kepada novel karya Ian McEwan (terbit tahun 2001); yang masuk 100 novel terbaik versi majalah Time. Yang mengagumkan, kesetiaan sutradara Joe Wright pada setiap bab dan dialog novel ini tetap menghasilkan film indah dan mengharukan. Lihatlah adegan pertemuan Cecilia dan Robbie—setelah beberapa tahun terpisah karena Robbie dipenjarakan atas tuduhan palsu Brionny—di sebuah rumah sakit. Mereka tak mampu berkata; sama-sama kikuk dan hati berkecamuk. Robbie (diperankan dengan dahsyat oleh James McAvoy), dengan suara serak karena beban yang ditanggungnya tertahan di tenggorokan, membuka pembicaraan yang samar-samar. Kita merasakan kepedihan yang tak akan selesai.

Sutradara Wright menggambarkan pertumbuhan Brionny dengan ketelitian mengagumkan: dari gadis kecil yang ”berisik” dengan imajinasi berbahaya; hingga menjadi seorang gadis 18 tahun yang bekerja sebagai perawat untuk menebus dosa dan kesalahan terhadap Cecilia dan Robbie; hingga akhirnya sebagai perempuan 77 tahun yang siap menghadapi maut sembari mengeluarkan novel terakhirnya.

Kita tak tahu apakah novel karya Brionny yang diberi judul Atonement itu cukup menjadi ”tebusan dosa”, apalagi hingga akhir hayatnya, Brionny tak pernah mampu mengakui kesalahannya kepada polisi. Sebuah kesaksian palsu—di Indonesia kita menyebutnya: fitnah—yang kemudian mengubah kehidupan orang menjadi tragedi, tak akan bisa ditebus oleh apa pun.

Leila S. Chudori


Sebuah Liburan, Sebuah Kehilangan Ketika seluruh negeri larut dalam sihir bola, seorang bocah justru mengerti artinya nestapa. Nominasi untuk film asing terbaik Oscar 2008.

THE YEAR MY PARENTS WENT ON VACATION (O, Ano em Que Meus Pais Saíram de Férias) Sutradara: Cao Hamburger Skenario: Adriana Falcao, Claudio Galperin, Cao Hamburger, Braulio Mantovani, Anna Muylaert. Pemain: Michel Joelsas, Germano Haiut, Daniela Piepszyk

KENANGAN masa kecil mengendap di kepala orang dewasa dengan berbagai cara. Sutradara Italia Giuseppe Tornatore mengungkapkan fantasi seksual seorang bocah lelaki lewat Malena (Monica Bellucci). Sedangkan sutradara Brasil Carlos Imperio Hamburger, lahir tahun 1962, memilih periode ketika sang bocah mulai paham arti kehilangan: lewat kematian kakek dan ayahnya yang tak pernah kembali dari ”liburan.”

Pada 1970, seorang bocah lelaki delapan tahun bernama Mauro (dimainkan dengan gemilang oleh Michel Joelsas) dititipkan orang tuanya kepada sang kakek yang tinggal di Bom Retiro, pinggiran Sao Paulo yang dipenuhi komunitas Yahudi. Kedua orang tuanya mengaku mereka harus ”segera liburan” tapi akan kembali menemani Mauro menonton final Piala Dunia. Saking tergesa, mereka meninggalkan bocah itu di depan gerbang apartemen sederhana si kakek .

Yang tak diketahui sang bocah adalah bahwa kedua orang tuanya pendukung partai komunis, pilihan politik yang sangat berbahaya karena berseberangan dengan pemerintah junta militer pimpinan Jenderal Emilio Garrastazu Médici (1969-1974), yang sedang giat melakukan pembersihan politik. Yang tak diketahui orang tua Mauro, beberapa saat sebelum mereka sampai di apartemen, sang kakek meninggal ketika bekerja sebagai tukang cukur. Ia nyaris menyembelih leher seorang pelanggan.

Terlunta-lunta di apartemen sang kakek seorang diri, Mauro kemudian bersahabat dengan seorang penghuni renta bernama Shlomo (Germano Haiut), seorang Yahudi taat yang tinggal di samping kamar kakeknya. Lebih dari dua pertiga film setelah itu berkisah tentang proses adaptasi Mauro di lingkungan barunya, termasuk bertemu dengan seorang bocah perempuan Hanna (Daniela Piepszyk), yang memiliki ”otak dagang” cerdas. Ibu Hanna punya toko baju perempuan dengan tiga bilik ganti sederhana yang dimanfaatkan Hanna dengan membuat lubang-lubang kecil di setiap bilik untuk disewakannya kepada para bocah lelaki Bom Retiro yang mulai doyan mengintip rahasia tubuh perempuan. Namun kepada Mauro, Hanna tak meminta sepeser pun uang sewa.

Kian hari Mauro bertambah gelisah karena Piala Dunia hampir dimulai dan orang tuanya tak menunjukkan tanda-tanda kembali. Ia sangat butuh ayahnya yang juga penggila bola sebagai diskusi. Tatkala pertandingan demi pertandingan yang dimenangi Pele dan kawan-kawan mulai menenggelamkan Brasil dalam euforia, perasaan Mauro terbelah. Ia bolak-balik berlari dari depan layar televisi, berjingkrak jika Brasil mencetak gol, dan kembali melesat ke tepi jendela menunggu keda-tangan VW biru sang ayah.

Piala Dunia akhirnya jatuh ke pangkuan Brasil untuk ketiga kalinya. Seluruh negeri luruh dalam sukacita. Ibu Mauro kembali dari ”liburan”. Seorang diri. Letih, kusut, dan putus asa.

Kendati The Year dibesut secara digital dengan menggunakan video yang tak secantik visualisasi seluloid 35 mm, kisah semi-biografis yang dikandungnya begitu kuat sehingga memukau para juri di banyak festival film internasional, seperti Berlin dan Montreal. The Year juga menjadi wakil Brasil untuk film berbahasa asing terbaik di Oscar 2008, tahun yang diharapkan para penonton berbahasa Portugis sebagai ”The Year Brazil Will Win An Oscar”.

Akmal Nasery Basral

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus