Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebuah perhelatan ”per-kawin-an” dimulai dengan seperangkat gamelan. Perkawinan itu adalah antara budaya Timur dan Barat yang dirancang oleh almarhum Ton De Leeuw, seorang komposer Belanda yang berpulang 10 tahun silam. Dan perhelatan ini adalah sebuah acara yang dirancang komposer terkemuka Otto Sidharta dan Piet Hein untuk mengenang De Leeuw di tiga kota: Jakarta, Yogyakarta, dan Solo, dua pekan silam.
Malam itu, di Erasmus Huis Jakarta, Jurrien Sligter, konduktor lulusan konservatori Amsterdam itu, tampak seperti menghadapi sebuah orkestra kecil. Di depannya, 10 musisi dari Belanda menghadap seperangkat lengkap gamelan. Masing-masing serius membaca partitur. Mereka memainkan Bala Katunda karya Dody Satya Ekagustdiman, dosen karawitan di Bandung yang pernah belajar komposisi di Freiburg, Jerman.
Bergantian kemudian muncul Iwan Gunawan, memimpin 15 mahasiswa dari Universitas Pendidikan Ban-dung. Mereka memainkan komposisi Ton De Leeuw: Gending, a Western Homage to the Musicians of the Gamelan.
Itulah sebabnya ini menjadi perhelatan penting dalam musik kontemporer Indonesia, karena kedua kelompok gamelan Belanda-Indonesia berpentas bersama. Ensemble Gending dari Belanda menampilkan karya-karya komponis Indonesia. Sementara Kyai Fatahilah, nama kelompok dari Bandung itu, mengusung karya komponis Belanda. Ini menunjukkan karakter Ton De Leeuw yang memang sangat berminat pada silang budaya Barat dan Timur. Syahdan, tahun 1980-1981, Ton De Leeuw datang ke Jakarta memberikan lokakarya di Institut Kesenian Jakarta. ”Kami merasa memiliki hubungan batin istimewa dengan Ton De Leeuw,” kata Slamet Abdul Syukur.
Bagi mereka yang terbiasa mende-ngar karya eksperimental pun, pertunjukan itu cukup berat. ”Terlalu serius,” demikian komentar Dr Alex Dea, pemain gamelan asal Amerika, saat menyaksikan Festival Gamelan Yogya. Menurut dia, komposisi yang ditampilkan 100 persen Barat dan sama sekali tak menyisakan rasa Jawa. ”Kadang-kadang roh dari komposisi yang dimainkan tak bisa menyatu dengan gending.”
Akhir-akhir ini, berbagai kelompok gamelan dari Barat memang lahir dan bertumbuhan. Mereka berusaha menciptakan sebuah visi gamelan baru dengan berbagai pendekatan. Misalnya, sebuah kelompok gamelan dari Amerika bernama Gamelan Madu Sari mempunyai album New Nectar. Komposisinya avant garde dan me-reka berusaha seperti mencari ”space music”; namun toh alam kosmologi Jawa sedikit-banyak masih terasa.
Itu yang membedakan dengan kom-posisi malam itu. Gamelan ha-nya s-e-bagai sumber bunyi, sementa-ra struktur dan komposisi musik adalah komposisi Barat kontemporer. Keti-ka berpentas di Solo, pemusik Wa-yan S-adra sangat memahami hal itu. Menurut dia, Ton de Leeuw menangkap e-sensi gamelan, tapi memiliki persepsi sendiri tentang gamelan.
Misalnya komposisi Ton sendiri- yang begitu panjang, yang meng-ingat-kan pada komposisi tradisional di Jawa yang disebut gending-gending besar (gendhing ageng). Komposisi ini la-zim terasa lengang dan instrumennya bi-sa muncul dimainkan sendiri-sendi-ri, seakan tidak berkaitan tapi berhu-bungan. Tom mengetahui gen-dhing- ageng, tapi komposisinya sama sekali berbeda dengan prinsip-prinsip gendhing ageng. ”Ton mengangkat gamelan dari aspek kultur untuk menciptakan kultur baru,” kata Sadra.
Saat ini di Indonesia, kelompok gamelan masa kini jarang yang bersedia menghadapi tantangan ini de-ngan serius. ”Hanya segelintir (yang bersedia—Red),” kata Slamet Abdul Syukur. Ia melihat Kyai Fatahilah termasuk yang tidak terpenjara oleh pemikiran tradisional, dan siap membaca partitur komposer Barat mana pun. Slamet memuji kemampuan mereka menafsirkan komposisi Ton. ”Merasa bisa menyampaikan roh yang diinginkan oleh Ton,” katanya
Meski penonton tak begitu ba-nyak, pertunjukan itu memperlihatkan kemungkinan-kemungkinan baru dari gamelan. Kita mendengar karya Phi-lemeon Mukarno, 38 tahun, berjudul Malaikat for Gamelan Ensemble and Electronic, yang dimainkan oleh Ensemble Gending. Namanya jarang di-ketahui dalam lingkaran musisi kontemporer di sini. Tapi pria kelahiran Jakarta yang menetap di Belanda itu memiliki karya yang langsung meng-asosiasikan pada kekinian.
Awal karyanya: gamelan dibenturkan dengan suara-suara berisik yang muncul dari loudspeaker. Muncul gesekan rebab disertai timpalan seperti suara-suara pecah. Terasa bahwa Mukarno memiliki pengalaman komposisi yang berhubungan dengan disiplin seni lain, seperti teater dan tari.
Seno Joko Suyono, Istiqomatul Hayati (Jakarta), L.N. Idayani (Yogya), Imron Rosyid (Solo)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo