Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Raudal Tanjung Banua
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam peralihan musim pancaroba, angin perubahan berpusar di lorong-lorong tembok tebal, menyusup ke celah-celah kusen Ndalem Ageng, mengantar perkabaran: Raden Winongo, pangeran yang terbuang, akan pulang!
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kabar itu bagai lepas dari tembolok seekor burung liar, berat dan berdenyut. Merasuk ke kepala orang-orang yang resah di atas tilam.
Apakah Winongo akan membalas rasa sakitnya dari tahun-tahun panjang keterbuangan? Akankah Ndalem Ageng ia bakar dengan percik api dendam?
Bisik-bisik percakapan, gempar yang tertahan-tahan, sampai juga ke telinga Eyang Mulyopuro, kuncen pemakaman trah Ki Wistrotomo di Bukit Macanan Putih Kali Kersan. Abdi setia ini paham tabiat hidup penghuni Ndalem, sebaik ia memahami mereka yang mati.
Eyang Mulyopuro mengabdi lebih dari separuh usianya di kompleks makam keramat itu atas nama bakti pada leluhur. Turun-temurun sejak kakek-buyut hingga orang tuanya mengabdi di Ndalem Ageng, yang di masa lalu mengayomi Negara-Manca Lemah Wetan. Kesetiaan itu tak lenyap digerus waktu. Romo dan simboknya bahkan menghabiskan seluruh usia di balik tembok makam tinggi berlumut. Beruntung Mulyopuro muda masih sempat mengembara, dari sendang yang ramai gelak-ria, gua-gua yang pengap-harap oleh doa, hingga hening pucuk gunung. Sesekali ia terdampar ke kota-kota yang tak mau ia ingat namanya, tapi akhirnya ke patron leluhur juga ia kembali: Ndalem Ageng Ki Wistrotomo.
Mulyopuro menggantikan tugas ayahnya yang sudah sepuh sebagai juru kunci makam, sampai ia sendiri beranjak sepuh. Sampai kini. Entah berapa sudah generasi trah Wistrotomo menyebar di muka bumi, entah berapa sudah anak-cucu lahir, lepas lajang dan mati; Eyang Mulyopuro tetap setia sebagai seorang kuncen.
Sastrosuminto, sosok turunan Ki Wistrotomo yang berkuasa di Ndalem Ageng, menyukai tindak-tanduk Eyang Mulyopuro. Sastrosuminto sering menjadikan si Eyang tempat berkeluh-kesah. Eyang Mulyopuro pun menjalankan peran tambahannya sebagai pendengar yang baik bila Sastrosuminto memanggilnya ke Ndalem.
Juga kini. Saat santer kabar bahwa Raden Winongo akan pulang! Tak tahu dari mana kabar itu berembus, tiba-tiba membesar, dan mungkin akan "membakar" Ndalem lebih awal bila tidak diredam lewat selidik dan bisik-bisik. Keluarga Sastrosuminto sangat berhati-hati meresponsnya. Mereka tak ingin muncul gejolak, dan jika pun ada, jangan sampai tampak. Selama ini mereka menjaga segala riak supaya tak terbaca di permukaan. Demi harmoni jagat-Ndalem.
Tapi mata batin Eyang Mulyopuro bisa membaca keresahan itu saat ia diminta menghadap. Ia melihat ketegangan di mata anak-anak Sastrosuminto, mata istrinya yang letih, dan mata Sastrosuminto sendiri yang awas lan waspodo. Sebaliknya ia juga bisa menghikmati kabar yang berseliweran itu, betapa Raden Winongo akan nongol dengan gelagat dan ambisi.
Tanpa perlu dicatat serat "Kamulyan"-serat khusus trah Wistrotomo yang mencatat prestasi keluarga-selama pergi, Winongo beserta adik-adiknya menjadi sosok yang berhasil, dihormati. Jika surat kabar bisa dianggap sebentuk serat modern, maka keberhasilan Winongo tercatat dalam sejumlah berita, wawancara atau persona-jauh sebelum boom media virtual. Dari situlah keluarga Sastrosuminto diam-diam mengikuti perkembangan Sang Raden yang energik itu.
Capaian Raden Winongo, harus mereka akui, bertolak belakang dengan prestasi keluarga besar Sastrosuminto sendiri yang kian surut luar-dalam. Anak-anak, anak-mantu, kerabat dekat, banyak yang ditangkap karena korupsi, narkoba dan bisnis gelap. Bangkrut, terbelit utang. Sebagian dililit sengkarut rumah tangga.
Maka Eyang Mulyopuro dipanggil. Meski hanya seorang kuncen, ia selalu dimintai pertimbangan jika ada hal-ihwal yang dianggap gawat, sekalipun pertimbangannya kerap diabaikan. Kadang ia dipanggil lebih karena alasan bahwa ia menyerap aura makam, dan lewat kedatangannya aura itu akan memancar sepenuh Ndalem.
"Ia akan pulang dan memamerkan keberhasilannya. Dan aku tahu ia tak akan pernah sungkem kepadaku," Sastrosuminto setengah berbisik. "Tapi itu lebih baik. Jika ia berziarah, tunjukkan padanya bagaimana ayahnya diperlakukan."
"Ampun, Romo, kulo khawatir roh macan putih dari Ki Wistrotomo bangkit padanya...."
Eyang Mulyopuro menyembah, sebab paham bahwa "roh" kanuragan Ki Wistrotomo bisa menitis kepada sosok terpilih. Konon, seekor macan putih bersurai api akan menjelma dalam diri sosok terpilih itu. Kuat dan elegan. Eyang pun tahu, kezaliman terus-menerus atas seseorang, memberinya peluang untuk terpilih. Eyang lihat melalui mata batin, syarat itu dimiliki penuh oleh Winongo selama ia pergi, apatah lagi jika ditambah dengan deraan aniaya baru.
Sastrosuminto sempat terperangah, tapi pantang menyerah. "Tidak! Mereka tak berhak mendapat titisan itu. Ayahnya anak haram jadah dari selir tak diakui, dan ia adik-beradik tak dianggap. Jadi laksanakan perintahku!" Itulah akhirnya yang keluar, perintah tanpa bisa ditawar.
"Winongo, Winongo! Betapa berat penderitaanmu," bisik Eyang Mulyopuro saat kembali ke Bukit Macanan Putih. Dan ia lalu tersadar bahwa daun-daun jati serta mahoni, buah-buah sawo, putik-putik jambu, bunga-bunga kantil, dan kembang kemboja di kompleks makam yang ia rawat, akan mendengar dan menyesap bisiknya itu. Maka ia mingkem. Ia tak ingin keluarga junjungannya tahu bahwa ia berpihak. Meski keberpihakan itu sebenarnya sudah ada sejak keluarga Winongo diperlakukan tak adil. "Inikah pengkhianatan?" bisik batinnya.
Pengkhianatan Seorang Kuncen
Wijayengkusumo, ayahanda Raden Winongo, dituduh bersekongkol mencongkel kedudukan Sastrosuminto sebagai Romo Sepuh Berkuasa Penuh. Itu artinya mencongkel haknya atas hasil kebun tembakau dan hutan jati berusia ratusan tahun di wilayah Wetan serta hak-hak pelungguh dari sawah dan kebun tebu di Palemahan Kulon.
Trah Ki Wistrotomo memang berasal dari penguasa Negara-Manca sejak masa Mataram jaya, hingga berlanjut ke masa kolonial dan masa peralihan. Kekuasaan mereka terpelihara turun-temurun, bahkan setelah senjakala Mataram dan kolonial hengkang, mereka tetap berjaya dalam selimut Indonesia Raya. Hanya caranya yang berbeda. Kalau dulu tangan kuasa kakek-buyut mereka menjangkau Negara-Manca dengan mengirim para bekel dari Kotapraja, sekarang mereka berpencar masuk melalui partai-partai tidak terlarang atau kursi empuk pangreh praja.
Ndalem Ageng selalu punya seorang penguasa yang dinamai Romo Sepuh. Sang Romo mengatur aset dan harta benda mereka di mana-mana. Sebutan sepuh tak harus dalam arti usia. Itu hanya penanda posisi, kematangan, dan pengalaman. Sastrosuminto malih-rupa jadi Romo Sepuh jauh sebelum paruh baya, dan dia berkuasa paling lama sehingga benar-benar sepuh secara usia, persis Eyang Mulyopuro. Padahal dalam garis silsilah, posisi itu bukan giliran dia, masih ada dua-tiga sosok lagi yang berhak. Hanya saja ambisi dan segala cara membuat Sastrosuminto duduk di posisi itu, membungkam sosok lain yang berani berteriak.
Salah satu bentuk kekuasaan Sastrosuminto konon mengirim Wijayengkusumo untuk segera terbaring di tanah gamping Bukit Macanan. Kematiannya yang misteri-tubuh membiru di hutan jati-dianggap hukuman setimpal yang dijatuhkan langit, melalui tangan Romo Sepuh, kepadanya. Karena ia berani berteriak dan berkata tidak. Tapi tentu saja kematian itu diluruskan dengan tampang yakin; tak ada tanda-tanda penganiayaan bahkan tidak hal-hal mencurigakan.
Yang dipikirkan Eyang Mulyopuro sekarang ialah, jika Raden Winongo pulang, lalu datang berziarah ke Macanan Putih Kali Kersan, ia akan terbentur kenyataan di luar batas. Betapa tidak. Selama ini, setiap anggota trah yang berziarah ke kompleks makam, "wajib hukumnya" menghentakkan kaki di salah satu anak tangga sambil berucap, "Kualat kau, pengkhianat!" atau yang sejenisnya.
Di bawah tangga itu terletak liang lahat Wijayengkusumo, ayahanda Raden Winongo, si pecundang, sehingga jarak makamnya mepet ke anak-anak tangga yang mengular hingga ke pusat makam keramat Eyang Buyut Wistrotomo.
Tiga tahun setelah anak-anak malang Wijayengkusumo keluar Ndalem, Sastrosuminto mengajukan gagasan itu di hadapan Eyang Mulyopuro dan empat kuncen lain:
"Karena dosa-dosa Wijayeng, ah, rasa tak sudi kusebut nama pengkhianat ini, kita akan membangun tangga baru di atas makamnya. Tangga lama di selatan khusus untuk tamu tertentu. Wajibkan tiap peziarah menghentak kaki di anak tangga, sambil mengutuk namanya..."
"Ampun, Romo, kulo mohon ampun; apakah makam di luar pagar tidak cukup?" suara Eyang Mulyopuro bergetar.
"Tidak! Tak pernah cukup..."
"Kulo lihat air mata bocah-bocah Wijayeng menggenang melihat makam ayah-ibunya tanpa cungkup, bagaimana kalau mereka pun tahu setiap peziarah melontarkan caci-maki?"
"Itu resiko. Toh anak-anak malang itu juga sudah pergi."
"Ampun, Romo... Suatu waktu mereka tentu akan kembali."
"Saya tak peduli. Itu pelajaran bagi semua orang bahwa tak gampang jadi pengkhianat!"
Eyang Mulyopuro sadar, tuntutan itu bertambah-tambah karena setiap hari ada saja yang membisiki Sastrosuminto tentang dosa Wijayeng. Banyak hal dibebankan pada mendiang Wijayeng karena motif cuci tangan. Bila seorang anggota keluarga menjual barang kuno, lalu barang itu ditemukan pada penadah, misalnya, maka itu dibilang perbuatan Wijayeng semasa hidup. Jika penyelewengan hasil kebun terungkap, maka dikatakan itu sistem yang pernah disepakati Wijayeng.
Setiap bertambah bilangan dosa almarhum, tiap itu pula Sastrosuminto putar otak bikin pembalasan dengan cara kelewat dingin. Maka tangga di atas liang lahat Wijayeng itu adalah salah satu jawaban. Eyang Mulyopuro, apa boleh buat, melaksanakan perintah junjungannya itu. Bertahun-tahun ia saksikan wajah peziarah berubah marah-sebagian marah dibuat-buat-tiap kali mereka menghentakkan kaki di anak tangga terkutuk itu.
Pada saat bersamaan, wajah Eyang Mulyopuro pun berubah merah padam. Ia terbayang betapa dulu Raden Winongo sangat menderita melihat makam ayah-ibunya berada di luar pagar utama. Hanya karena penjelasan yang sabar dari dirinyalah akhirnya Winongo dapat menerima.
"Jangan sedih, Cah Bagus, makam di luar pagar kadang lebih aman lan tentrem, sebab terhindar dari macam-macam doa aneh, kaul tak masuk akal, bahkan intrik dan bisik-bisik," katanya dulu. Eyang Mulyopuro tak mau dianggap lancang seolah yang ia ucapkan itu merujuk makam keramat para junjungannya di ketinggian, maka ia menunjuk makam leluhurnya sendiri yang terpisah dari kompleks makam utama, jauh di bawah, pinggir kali. Tapi di makam leluhurnya sendiri, dekat ricik air, Eyang Mulyopuro mengaku bisa berdoa khusyuk sekali.
Waktu itu Winongo mengangguk setuju. Winongo mengerti meski tetap merasa tersakiti.
Tak terbayangkan jika kini ia datang berziarah dan melihat tata-cara yang digariskan, dengan "hentak tangga" dan "mantra serapah"-seolah mantra penjinak beludak-alangkah sedih, marah, dan terhinanya ia adik-beradik. Apalagi kalau sampai ia dituntun menyaksikan semua itu sebagaimana perintah terbaru sang Romo Sepuh!
Eyang Mulyopuro terus berpikir mengolah batin. Ia sungguh khawatir dendam tambah membuncah bila semua itu terjadi. Dulu, Winongo memang bocah kecil tak berdaya. Tapi kini? Sejak ayahnya ditemukan mati, tak lama menyusul ibunya, ia adik-beradik memutuskan keluar tembok Ndalem. Memang tak diusir.
"Untuk apa kau pergi? Tetaplah di sini, Winongo. Yang salah ayahmu. Bukan kalian," begitu kata Sastrosuminto saat Winongo pamit. "Sudah kumaafkan, dan ia mati baik-baik."
Bagi Winongo, itu basa-basi licik. Eyang Mulyopuro, meski menunduk, bisa melihat pamitnya Winongo dua puluh tahun lalu sangat menusuk. Eyang Mulyopuro, masih berseragam blangkon, surjan, dan batik parang jati, diminta mengantar Winongo ke alun-alun, menunggu jemputan-ketika kebetulan ia dipanggil menghadap. Dua adik Winongo, Pangestu dan Saptorini, sudah lebih awal dijemput paman mereka dari pihak ibu, dibawa bermukim di Negeri Kangguru.
Raden Winongo sendiri mula-mula ikut kerabat ibunya di Makassar. Setelah agak besar, ia pergi mengembara tanpa kembali ke Pulau Jawa. Namanya lalu hilang dari peta bekas kota praja yang didirikan leluhurnya. Kadang, saat mengikis lumut pada tembok, atau mencabut rumput di celah nisan, sambil menembang, Eyang Mulyopuro membayangkan Winongo itu seperti dirinya. Memang tak persis. Si Eyang mengembara di masa muda karena rasa haus pada perigi dan mata air kebijakan di petilasan-petilasan sepi. Sesekali ia terdampar ke kota-kota yang mengasingkan jiwanya. Tapi seperti "mayat", ia tak melawan, ia biarkan dirinya mengalir hingga aliran itu membawanya kembali ke tanah leluhur.
Ada pun Winongo, cah bagus itu, pergi membawa luka jiwa. Terbaca oleh Eyang, tatapan matanya persis perigi kosong di petilasan tak dikenal. Itu sebelum mereka berpisah di alun-alun bertahun-tahun lalu. Bahkan ketika Eyang Mulyopuro membujuknya berziarah dulu ke makam ayah-ibunya, semacam sungkem-pamit, Winongo menolak. Sejak itu, Winongo dan dua adiknya tak pernah lagi sampai ke Bukit Macanan Putih Kali Kersan.
Winongo akan kembali! Winongo akan pulang! Sastrosuminto jadi resah. Entah mengapa ia merasa tiba-tiba lungkrah. Padahal dulu ia menganggap anak-turunan Wijayengkusumo tak lebih dari kutu atau ulat bulu yang hanya mungkin bikin gatal, tapi tak berbahaya.
Kini pikirannya tersita oleh berita kepulangan bocah ajaib itu. Ia tahu, nama Winongo yang disematkan mendiang Wijayengkusumo kepada putra kesayangannya itu adalah nama sebatang sungai yang tenang. "Ia yang tenang, akan dahsyat jika mengamuk," Begitu Wijayeng pernah bilang saat menyantap mangkuk-mangkuk ikan sembilang dalam perjamuan.
Perjamuan itu sengaja diadakan Sastrosuminto untuk memata-matai kaum kerabat. Dan Wijayengkusumo, setelah menyantap habis masakan kesukaannya itu, ditemani sebotol arak, biasanya akan mabuk atau mengantuk. Hasilnya sama saja. Jika mabuk ia mengigau dan jika ngantuk ia ngelindur. Maka bagai cecak-cecak di loteng, orang-orang Sastrosuminto tinggal menyesap apa yang mereka istilahkan "kata-kata siap tandur".
"Tidak! Ia tak berhak akan titisan roh macan putih. Ayahnya anak haram dari selir tak diakui.... Laksanakan perintahku!" Perintah itu masih bergema di telinganya sendiri.
"Saya tak peduli. Itu pelajaran bahwa tak gampang jadi pengkhianat!" Bahkan pernyataan bertahun-tahun lalu hidup kembali di kepalanya.
Eyang Mulyopuro yang menghadap sudah pergi. Saat sang kuncen pamit, suasana terasa ngelangut. Mata Sastrosuminto berkunang-kunang. Sikap kerasnya tak lain kompensasi dari rasa cemas. Ia tahu tindakannya berlebihan, bukan saja atas perintah barusan, juga perintah-perintah sebelumnya. Bagaimana pun ia sadar, ia kerap diperalat oleh kerabat dan keluarga sendiri. Tapi nasi sudah jadi bubur. Ia akan bertarung di masa senjakala. Dalam pusaran musim pancaroba.
Eyang Mulyopuro kembali ke Bukit Macanan Putih Kali Kersan dengan wajah memberat. Ia berpikir, inikah saat berkhianat? Selama ini ia mencoba bersetia. Bahkan keberpihakan batinnya atas ketidakadilan yang diterima Wijayengkusumo dulu kala, sudah cukup membuatnya merasa berkhianat. Dan mungkin itulah bibit pengkhianatan lebih besar yang akan segera dilakoninya.
Ia kumpulkan empat juru kunci sahabatnya yang setia. Ia katakan bahwa tangga di samping makam Jayengkusumo akan ditutup karena ada perbaikan. Peziarah dialihkan ke tangga lama di selatan. Sehingga tak ada kutuk dan sumpah serapah terdengar di atas makam Wijayeng. Inilah pengkhianatannya yang pertama setelah berpuluh tahun mengabdi!
Ketika Raden Winongo benar-benar datang dengan sosok yang gagah, Eyang Mulyopuro tersenyum menyambutnya. Dua adiknya mengikut di belakang, sumringah. Sudah lama mereka tidak berjumpa. Salam dan rangkulan menyemburatkan cahaya pagi di punggung baju dan lengan mereka. Terdengar cericit burung dan ricik air kali. Itu kata-kata murni melebihi kata-kata mereka sendiri. Setelah itu doa. Kata yang menghubungkan yang hidup dan yang mati. Lalu taburan bunga-bunga; kantil, seroja, mawar, melati.
"Ricik kali itu masih seperti dulu, ya, Eyang," Winongo berbisik. Bagai sebuah isyarat yang tak lekang.
Eyang mendehem. "Seperti pernah Eyang bilang, makam dekat ricik kali membuat kita berdoa khusuk sekali," suaranya bergetar. "Dan waktu itu, Cah Bagus setuju, bukan?"
Kini pun Winongo mengangguk setuju.
Mereka akhirnya istirahat di pelataran, di bawah teduh pohon sawo yang batangnya berlumut karena usia. Pawon para kuncen mengepulkan asap tungku. Makanan hangat-hangat diangkat dari situ. Dihidangkan para ibu dan gadis-gadis berkebaya. Mereka riang menyambut pangeran mereka yang lama hilang telah tiba. Meski ini seperti menggenapkan pengkhianatan di balik tinggi tembok makam.
Tapi tidak. Ajaib, setiap hidangan disuap, satu-satu bara dendam di hati Raden Winongo, Pangestu, dan Saptorini, menguap.
"Jadi ke mana Raden setelah ini?" hati-hati Eyang Mulyopuro bertanya.
Winongo menatap wajah kedua adiknya. Kemudian tanpa sungkan ia berkata, "Sebaiknya kami ke Ndalem Ageng, Eyang."
Empat kuncen muda didampingi seorang kuncen sepuh, berbaris melepas anak-anak perkasa Wijayengkusuomo turun tangga.
Dan kuncen sepuh itu, Eyang Mulyopuro, sadar telah berkhianat, atau apa pun sebutannya. Maka ia segera bersiap-siap menyusul Raden Winongo ke Ndalem. Sungkem.
Rumahlebah Yogyakarta, 2018-2019
Raudal Tanjung Banua lahir di Lansano, Pesisir Selatan, Sumatera Barat, 19 Januari 1975. Buku cerpennya antara lain Parang Tak Berulu (2005) dan Kota-kota Kecil yang Diangan dan Kujumpai (2018).
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo