Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teroka

Disrupsi Tanto Mendut

Seniman Sutanto Mendut menyajikan pentas bertajuk The Voice of Borobudur's Disruption. 

27 November 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Pentas seniman Tanto Mendut menampilkan karya terbarunya, The Voice of Borobudur’s Disruption.

  • Pentas yang menyuguhkan suasana bernuansa kekacauan.

  • Gagasan tema disrupsi dalam pentas itu berangkat dari kekacauan selama masa pandemi.

KERUMUNAN penari berpakaian hazmat putih memenuhi rumah seniman Sutanto Mendut di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Sebagian dari mereka ada yang mengenakan jas hujan. Masker menutupi muka puluhan penampil.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Siang itu, tempat tinggal Tanto tampak acak-acakan, dari ruang tamu, halaman, hingga kolam. Penari Dusun Tutup Ngisor di lereng Merapi dan Merbabu tumpah ruah di sana. Mereka beraksi dengan topeng berbentuk binatang, misalnya banteng. Penari jatilan dengan mahkota rangkaian dedaunan menjulang bergerak dan melompat tak keruan. Suara kambing mengembik terdengar nyaring. Ada pula lantunan dari permainan piano.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mulanya Tanto duduk di sebuah singgasana tinggi terbuat dari bambu. Takhta tinggi ini awalnya dibuat Tanto sebagai “tafsir total” atas imbauan protokol kesehatan. Ia membuat kursi tinggi agar yang duduk bertamu di rumahnya bisa menjaga jarak. Mengenakan kemeja putih, Tanto duduk di situ seolah-olah menjadi raja yang dikelilingi para penari. Tapi, begitu Tanto duduk di “singgasana”, kekacauan terjadi. Para penari berpakaian hazmat dan penari jatilan bergolak, semburat tak terkendali, tanpa aturan.

Karya Tanto yang berjudul The Voice of Borobudur's Disruption itu tampil dalam perhelatan Borobudur Writers & Cultural Festival ke-10 yang digelar pada 18-21 November 2021 secara daring. Presiden Lima Gunung—sebutan untuk Tanto dari para petani dan warga sekitar lereng Merapi dan Merbabu—itu menyebutkan gagasan disrupsi muncul ketika dia melihat kekacauan selama masa pandemi.

Dalam karya itu, Tanto tidak hanya melibatkan pelaku seni, tapi juga warga desa yang bukan seniman dari lintas daerah. Ada yang dari Jakarta, Solo, dan Kebumen. Bagi Tanto, semua orang bisa menjadi komponis. Semuanya tumplek, tanpa sekat, dan terlihat menikmati pentas bersama. Di antara mereka ada penyandang disabilitas, sastrawan, dan wartawan. Di akhir pertunjukan, Tanto menyelipkan adegan sastrawan Goenawan Mohamad yang mengibing di rumahnya dalam acara lain. Ia mengolok sastrawan, budayawan, dan wartawan tak bisa menari dengan luwes. “Mas Goen (Goenawan Mohamad) kaku menarinya,” kata Tanto.

The Voice of Borobudur's Disruption, yang merupakan karya terbaru Tanto, mengingatkan orang pada komposisi ciptaannya di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, pada Pekan Komponis Muda 1978. Dia mengeksplorasi hal yang berbau noisy dan chaos. Saking semrawutnya pentas di Taman Ismail Marzuki itu, (almarhum) komponis Suka Hardjana menyebut karya Tanto sebagai neraka bunyi. Dia mencampur suara piano klasik, suara kitiran, dan bebunyian mendengung mirip suara drone. Sayang sekali, naskah pementasan itu hilang di Taman Ismail Marzuki. Menurut Tanto, panitia tidak cakap mendokumentasikan naskahnya.

Dan, siang itu, bagian paling liar serta klimaks adalah saat para penari membuat ritual di kolam di rumah Tanto. Satu per satu penari jatilan, penari banteng, bahkan seorang warga desa yang cebol melompat ke air. Byur. Byur. Seperti kesetanan mereka menari di kolam disertai gending yang keras. Bagian ini betul-betul tak terduga—tak ditata, spontan. Mereka seperti mengalami trance. Mereka yang masuk ke kolam lalu beramai-ramai memegangi tanduk banteng yang dipakai seorang penari, seolah-olah hendak mencelupkan muka banteng itu ke kolam.

Tanto menutup pertunjukan itu dengan memainkan piano. Dengan suara sumbangnya, ia menyanyikan lagu Sting “Englishman in New York”, menimpali musik jatilan yang mengiringi para tamunya ngibing. “Ini memperkuat aksentuasi dari disrupsi supaya orang kota tahu bahwa orang desa pun akrab dengan Sting,” ujar Tanto.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Shinta Maharani

Shinta Maharani

Kontributor Tempo di Yogyakarta

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus