Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kalau saja jalanan itu tak pernah ada, mungkin
kau tak akan melintas di sana dan bertemu aku. Tetapi jalanan itu terlanjur ada, maka bermulalah semuanya—kisah-kisah itu: harapan dan kecemasan itu.…
Teater bisa dibicarakan melalui dua pendekatan, yaitu sebagai gagasan dan sebagai tontonan. Gagasan—yang dalam hal ini bisa berupa naskah atau tafsir atas naskah—merupakan desain atau rancangan dari titik mana seorang sutradara memulai kerjanya dalam suatu proses produksi. Tontonan merupakan penuangan atas rancangan, yang hasil akhirnya dipengaruhi oleh sejumlah faktor. Tempat penyelenggaraan, materi yang tersedia, atau waktu pengerjaan menjadi unsur penting dalam pelaksanaannya.
Pertunjukan Teater Satu Lampung bertajuk Kisah-kisah yang Mengingatkan–90 Menit yang Hilang Darimu, yang dipergelarkan di Salihara, 20-21 November 2009, menarik dibicarakan dengan kedua pendekatan itu. Justru karena Iswadi Pratama, sutradaranya, adalah sekaligus penulis naskah.
Naskah itu sendiri ditulis berdasarkan suatu hasil riset. Penyair Sitok Srengenge mewawancarai 100 orang sehubungan dengan pengalaman mereka perihal rasa kehilangan. Dari persamaan dan perbedaan ragam perasaan itulah kemudian Iswadi Pratama menyusun teks pertunjukan, serupa fragmen-fragmen yang ditulis dalam bentuk puisi panjang.
Pertunjukan diawali suatu gumam atau igauan: cahaya meremang, suara-suara dalam nada rendah susul-menyusul melafalkan penggalan kalimat yang mengingatkan orang pada dongeng-dongeng, bingkai-bingkai muncul di antara pemain dalam ruang dan waktu yang berbeda, lalu terang menegas pada sepasang lelaki dan perempuan yang berada di tengah sebuah percakapan.
Setelah sejumlah ujaran nostalgik, romantika pertemuan pertama, mencari bekas bibir di gelas orang terkasih, perempuan itu kemudian meminta si lelaki melanjutkan dongeng yang belum selesai dikisahkannya. Ia tidak peduli bahwa dongeng itu akan kembali menjebaknya dalam pesona dan ”… terus merindukan apa yang tak ada lagi pada kita”.
Dongeng itu tentang perempuan bernama Sang dalam perjalanan ke sebuah lembah di batas ingat dan lupa. Lembah itu dijaga prajurit bayangan dan hantu-hantu pemangsa kenangan yang tak bisa dikalahkan. Disebutkan bahwa kenangan adalah sesuatu yang tanpanya orang tak ubahnya pengembara tanpa peta dan arah, yang kemudian akan terisap jurang gelap kesepian….
Panggung berubah menjadi medan tak terbatas tempat dongeng divisualkan. Fragmen demi fragmen silih berganti, bersilang-saling dengan dunia realitas. Hingga akhir pertunjukan penonton terus digoda kesadarannya untuk keluar-masuk di antara dongeng dan nyata.
Atmosfer ini dimungkinkan dengan dukungan tata cahaya oleh Ahmad Jusmar, video art Joko Kurnaen yang minimalis tapi tepat guna. Tak ketinggalan: ramuan musik Deri Erwanto, yang mengkompilasi komposisi dari Trisnadal Choir Orovela, Allan Faqir, Cluth Apache dipadu dengan suling balawung (Kalimantan), sakhuachi (Jepang), dan lain-lain.
Hal yang menyegarkan dalam pertunjukan ini adalah struktur cerita silat yang diadopsi sedemikian rupa—tanpa terjebak pada pertunjukan ala film laga—hingga tubuh aktor-aktornya tampil berbeda di atas panggung, menjadi pemandangan yang jarang bisa dinikmati dalam pertunjukan teater pada umumnya. Eksplorasi koreografik Budi Laksana cukup menawan.
Namun penulisan naskah berbentuk puisi panjang agaknya menjadi persoalan tersendiri. Hampir sebagian besar pemain mengucapkan dialog dengan pola pembacaan puisi bernada tunggal. Akibatnya, pertunjukan berirama melantun, karakter menjadi terkesampingkan. Karakter yang beragam menjadi serupa dan seragam, sehingga tangga dramatik sulit tercipta.
Kondisi itu patut dipertanyakan, mengingat keberadaan Teater Satu Lampung sebagai Grup Teater Terbaik Indonesia 2008 versi majalah Tempo. Terlebih pertunjukan ini didukung oleh pemain-pemain yang telah membuktikan kualitas keaktoran mereka, seperti Hamidah, Ruth Marini, Sugianto, dan Nersalya Renata. Apakah penyebabnya adalah kendala saat penggarapan menjadi tontonan, atau pada penulisan naskahnya sebagai desain?
Pertunjukan ini berhasil menyita perhatian penonton. Suasana puitis, kata-kata puitis, gerak pemain yang puitis telah membuat penonton tercekam oleh pengalaman puitis yang berharga. Barangkali gagasan ini menjadi kurang artikulatif karena proses yang cukup panjang memang dibutuhkan untuk mempersiapkannya.
Dalam buku acara, Iswadi Pratama menyebut Kisah-kisah yang Mengingatkan–90 Menit yang Hilang Darimu sebagai Teater Puisi. Masalahnya, tidak semua yang puitis adalah puisi. Dan karya teater—atau seni pada umumnya—pada puncak pencapaiannya adalah puisi.
Ags. Arya Dipayana, pekerja teater
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo