Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
WAJAHNYA selalu ramah kepada setiap orang. Tutur katanya rapi dan terukur. Namun begitu berbincang kita akan merasa asyik dan larut dalam percakapan tentang banyak hal. Mulai dari ilmu pengetahuan dan teknologi, dunia penerbangan, senjata, seni, hingga masalah politik dan hak asasi manusia. Itulah sosok Tedjabayu. Ia adalah seorang penyintas tragedi 1965 yang menghabiskan 14 tahun usia produktifnya sebagai seorang narapidana politik.
Tedjabayu, yang saya sapa sebagai “Mas Bayu”, adalah sulung dari delapan bersaudara, anak pasangan pelukis terkemuka Indonesia, Sudjojono dan Mia Bustam. Dia adalah mahasiswa Jurusan Geografi Universitas Gadjah Mada ketika prahara 1965 meletus. Saat itu ia juga aktif di organisasi Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI). Masa depan dan gambaran karier yang cerah seketika hilang lenyap tergulung tragedi 1965.
Pada 20 Oktober 1965 pagi, Tedjabayu meninggalkan rumah untuk berangkat menuju Gedung Chung Hua Tjung Hui (CHTH). Ia dan sejumlah temannya berencana ikut menjaga agar gedung itu tak diserbu dan diduduki gelombang massa. Ia sudah tahu bahwa CGMI telah dibekukan dua hari sebelumnya karena dianggap penguasa militer sebagai underbouw Partai Komunis Indonesia (PKI) yang sudah dinyatakan terlarang sebelumnya. Pagi itu ia berangkat menuju Gedung CHTH tanpa rasa khawatir. Ia sempat membalas lambaian tangan dan senyum ibunya, Mia Bustam, yang berdiri di beranda depan rumah.
Rupanya itu tanggal terakhir ia meninggalkan rumah. Ia tak pernah pulang lagi. Sang ibu tak lama menyusul nasibnya. Mia Bustam ditangkap tentara karena ia anggota Lekra yang juga dituduh sebagai onderbouw PKI dan selama 14 tahun pula harus mendekam di hotel prodeo. Dia terakhir mendekam di penjara Plantungan, Ambarawa, Jawa Tengah.
Tedjabayu bersama dengan sejumlah mahasiswa anggota CGMI lain yang ada di Gedung CHTH “diamankan” dan dibawa tentara ke kantor polisi. Dari kantor polisi ia menjalani tour of duty sebagai tahanan politik tanpa pernah diadili. Mulai dari penjara Wirogunan, Nusakambangan, hingga ke Pulau Buru, Maluku. Ia baru meninggalkan Pulau Buru dan kembali ke Pulau Jawa pada 1 November 1979 bersama ratusan tahanan politik lain yang diangkut kapal RI Tanjung Pandan melewati Dermaga Ujung, Surabaya, dan Dermaga Tanjung Emas, Semarang, Jawa Tengah. Ia lantas memilih tinggal di Jakarta.
Kehidupan selepas bebas dari Pulau Buru tidak begitu mudah. Seolah-olah tahun tiada berakhir dijalani Tedjabayu sebagai seorang mantan narapidana politik. Ia dengan canggung harus menyesuaikan diri dengan peradaban baru: keruwetan Jakarta dan Orde Baru.
Sempat ikut kursus ilmu perpustakaan, Tedjabayu akhirnya diterima bekerja di Lembaga Bantuan Hukum Jakarta untuk menata dan mengelola perpustakaan. Ia bisa masuk berkat rekomendasi langsung Max Lane kepada Direktur LBH Jakarta saat itu, Todung Mulya Lubis. Di lingkungan kerja yang baru, ada banyak orang yang khawatir bahwa lembaga akan mudah digoyang dengan kehadiran seorang mantan tapol. Tapi kekhawatiran itu sama sekali tidak beralasan. Apalagi Todung Mulya Lubis mendapatkan dukungan penuh dari pemimpin YLBHI, Adnan Buyung Nasution.
Saya mengenal pribadi Tedjabayu saat masih menjadi wartawan. Sebagai wartawan yang aktif turun ke lapangan, saya kerap mampir ke gedung LBH di Jalan Diponegoro. Sebagai mantan aktivis mahasiswa, saya menganggap gedung LBH sebagai tempat nongkrong yang strategis. Selain bisa mewawancarai tokoh-tokoh LBH sebagai narasumber pemberitaan, saya bisa bertemu dan berdiskusi dengan para mantan aktivis yang saat itu memilih bekerja sebagai wartawan. Selain orang LBH sendiri, banyak dari mereka merupakan mantan aktivis mahasiswa. Nah, salah satu tempat yang paling enak buat nongkrong adalah ruangan Tedjabayu, atau ruang kerja Hendardi.
Dari hal itulah secara perlahan saya mengenal Tedjabayu. Kami sering mendiskusikan banyak hal, bukan hanya terbatas pada masalah politik dan hak asasi manusia, tapi juga terkait dengan sains dan teknologi, karena ia tahu saya seorang insinyur. Dari mengelola perpustakaan, Tedjabayu dipercaya mengelola Pusat Dokumentasi dan Informasi (Pusdokinfo) YLBHI yang terus berkembang. Tedjabayu memegang perlengkapan kamera dan peralatan dokumentasi video yang komplet.
Dengan tustel dan kamera video milik YLBHI, Tedjabayu pada kemudian hari lebih sering turun ke lapangan layaknya seorang wartawan. Ia memiliki rekaman video yang lengkap atas semua dokumentasi persidangan anggota Aliansi Jurnalis Independen (AJI) di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Ia juga salah satu saksi mata yang berhasil menerobos kantor Partai Demokrasi Indonesia melewati kepungan tentara (saat itu ABRI) pada 27 Juli 1996 pagi dan membuat rekaman video tentang situasi di dalam gedung yang porak-poranda karena dilempari batu oleh massa yang menentang PDI pimpinan Megawati Soekarnoputri.
Di lapangan, tampilan fisik Tedjabayu rupanya membantunya. Perawakannya yang lumayan tegap dengan potongan rambut cepak membuat ia mudah menerobos barikade tentara serta meluruhkan kecurigaan aparat intelijen. Pernah ia ditanya oleh aparat intelijen, “Dari mana?” Dengan tenang Tedjabayu menjawab, “Kodim.” Jawaban standar yang lain tentu saja, “Saya anggota”.
Itulah rupanya resep Tedjabayu. Tapi ini tak bisa dilepaskan dari sikapnya yang selalu tenang dalam menghadapi setiap situasi yang ditemuinya. Mungkin juga ini pengalaman panjang yang pernah dilaluinya saat menjadi tahanan politik.
Pada awal 1994, aktivis organisasi non-pemerintah (ornop) di Indonesia mencoba mengembangkan sistem komunikasi berbasis Internet sebagai sebuah terobosan baru, mengingat saat itu semua saluran komunikasi yang ada bocor ke aparat keamanan. Tedjabayu adalah salah satu orang penting yang berperan mengembangkan dan mengenalkan teknologi Internet di kalangan ornop. Ia adalah aktor utama yang membangun sistem komunikasi NusaNet secara mandiri di bawah konsorsium YLBHI, INFID, dan WALHI.
Pada 1995, sebelum YLBHI mengalami gonjang-ganjing, saya mengajak Tedjabayu bergabung dengan Institut Studi Arus Informasi (ISAI). Dan ketika saya diminta memimpin satu tim tertutup yang akan bekerja di bawah permukaan, Tedjabayu praktis menjadi tangan kanan saya. Saya sehari-hari mempercayainya menangani semua masalah yang berkaitan dengan teknologi. Dari Tedjabayu saya belajar menggunakan teknologi enkripsi yang paling terkemuka dan tepercaya saat itu, yaitu Pretty Good Privacy (PGP) versi peretas.
Saya dan Tedjabayu merasa cocok. Selama bertahun-tahun kami bekerja bahu-membahu dibantu sejumlah teman lain sebagai tim yang tangguh. Termasuk ketika membentuk Koperasi Utan Kayu dan membangun School for Broadcast Media (SBM). Saya meninggalkan Komunitas Utan Kayu pada 2006. Sejak saat itu saya jarang bertemu dengan Tedjabayu yang waktu itu sudah pulih dari serangan stroke. Namun saya tetap berkomunikasi dengannya. Beberapa kali saya juga menemuinya di kedai kopi miliknya di kawasan Gading Serpong. Saya gembira ketika menerima kiriman buku memoar Pulau Buru berjudul Mutiara di Padang Ilalang yang ditulisnya.
Pandemi Covid-19 menghalangi banyak orang untuk bertemu secara fisik. Saya sedih mendengar Tedjabayu meninggal di Rumah Sakit Pusat Pertamina pada Kamis, 25 Februari lalu. Padahal saya berencana menemuinya dalam acara peluncuran bukunya yang direncanakan oleh sejumlah lembaga.
Dalam bukunya, Tedjabayu menulis, “Sebagai orang Jawa sudah kuselesaikan ceritaku, aku njajah desa milang kori. Aku sudah memahami watak dan perilaku manusianya.” Mari kita renungkan keadaan kita saat ini melalui kehidupan Tedjabayu, seorang mantan tapol yang mengajak kita melihat masa lalu dan peradaban masa kini.
STANLEY ADI PRASETYO, WAKIL KETUA KOMNAS HAM 2007-2012
(Catatan: Berita ini diperbaiki pada Ahad, 7 Maret 2021, karena ada kesalahan penulisan nama organisasi)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo