Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

teroka

Perjalanan Mempertahankan Asa

Kisah perjalanan seorang ayah dan anak lelakinya di tengah bumi yang porak-poranda dan peradaban yang hancur.

3 Mei 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

THE ROAD
Sutradara: John Hillcoat
Skenario: Joe Penhall
Pemain: Viggo Mortensen, Kodi Smit-McPhee, Michael K. Williams, Robert Duvall, Guy Pearce, Charlize Theron

SEPI, suram, gersang, dan mencekam. Inilah gambaran bumi setelah bencana besar menghantam. Tidak ada hewan yang tersisa, tak satu pun tanaman yang hidup. Tanah kering-kerontang. Awan kelabu menyelimuti bumi. Demikian pekat hingga sinar mentari pun tak mampu menembusnya. Hanya segelintir orang yang masih bertahan, termasuk seorang pria dan putra tunggalnya yang berusia 10 tahun.

Berbekal gerobak berisi makanan dan sepucuk pistol berisi dua butir peluru, ayah dan anak itu—dua karakter utama tanpa nama—bertahun-tahun susah payah menggelandang menyusuri jalan-jalan yang sepi dan berdebu. Melewati hutan yang kering, kota yang tinggal puing-puing gedung dan rumah, jembatan yang terputus, serta mobil-mobil rusak yang teronggok di jalan. Mereka menuju selatan, tempat yang diharapkan masih memiliki iklim bersahabat. Daerah pesisir pantai dengan air laut yang jernih kebiruan, seperti yang kerap diceritakan sang ayah (diperankan Viggo Mortensen) kepada putranya (Kodi Smit-McPhee).

Tak cuma bertahan menghadapi cuaca buruk, alam yang ganas dan rasa lapar tak terkira lantaran sulitnya mencari makanan, mereka juga harus selalu waspada dengan kehadiran para kanibal yang tak segan-segan menangkap dan memakan mereka hidup-hidup.

Film buatan 2009 ini merupakan hasil adaptasi novel berjudul serupa karya Cormac McCarthy, yang meraih Pulitzer Prize for Fiction 2007 dan James Tait Black Memorial Prize for Fiction pada 2006. Sebelumnya, penulis Amerika Serikat ini juga sukses dengan bukunya yang diadaptasi menjadi film peraih penghargaan Oscar, No Country for Old Men.

Tak seperti film-film berlatar kondisi dunia pascabencana, film garapan sutradara John Hillcoat ini tak mengandalkan aksi superhero ataupun efek visual canggih layaknya 2012 ataupun I Am Legend, atau yang juga baru diputar di bioskop, The Book of Eli. Hillcoat lebih memilih pendekatan personal dari karakter-karakter yang ditampilkan. Tak ada penjelasan soal bencana, atau dramatisasi berlebihan. Di tangan Hillcoat, akhir dunia bukanlah mimpi buruk yang menakutkan. Unsur-unsur kemanusiaan dalam jalinan kisah antara ayah dan anak dipadu dengan emosi di antara keduanya seakan menghilangkan kesan keputusasaan dan teror sebagaimana karya Hillcoat lainnya, misalnya The Proposition.

Walaupun bergenre drama, unsur thriller tetap tak dilupakan. Adegan ketika sang ayah dan anak menemukan rumah besar yang ternyata sarang kanibal, misalnya, mengingatkan kita pada kengerian yang disajikan Rob Schmidt dalam film Wrong Turn atau Hostel yang digarap Eli Roth. Di rumah itu, sang ayah menemukan gudang bawah tanah berisi puluhan manusia dengan kondisi mengenaskan, menunggu giliran disembelih.

Dibuka dengan narasi parau sang ayah yang menceritakan dunia yang ditinggalinya, sepanjang 118 menit film ini menyuguhkan kepada penonton kesepian, kesendirian, dan kecurigaan. Juga perjuangan melawan rasa putus asa yang kadang-kadang datang. Sang ayah, misalnya, sempat mengajak anaknya mati bersama dengan menembakkan dua peluru yang tersisa. Keduanya seolah ingin membuktikan bahwa dalam kondisi yang nyaris tak memberikan secuil harapan sekalipun semangat hidup harus terus dipupuk. Sebuah antitesis dari karakter sang istri (Charlize Theron) yang berkali-kali, melalui adegan kilas balik, digambarkan sebagai sosok rapuh yang gampang putus asa.

Film ini terasa datar sepanjang narasinya. Penonton bisa dibuat bosan. Mungkin karena alur yang lambat, serta kilas balik yang kurang dipaparkan dengan jelas. Untungnya akting Viggo Mortensen menolong. Pemeran Aragorn dalam The Lord of the Rings ini tampak lebih alami. Apalagi dengan tampilannya yang lusuh, kotor dengan jenggot tebal, dan tubuh kurus hingga tulang rusuknya kelihatan. Ia berhasil menghidupkan karakter seorang ayah yang tengah berjuang membesarkan anaknya dengan baik dalam keadaan sulit dan hampir mustahil bertahan hidup.

Nunuy Nurhayati

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus