Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lukisan itu ganjil. Seorang lelaki tua tengah mengempeng sebotol susu. Dia duduk berselonjor di lantai dan kedua tangannya dirantai borgol warna emas. Dia mungkin pesakitan di dalam penjara dan kehausan. Tapi, lihatlah matanya, yang tidak mengarah ke botol susu, tapi secara diagonal menuju pojok kiri atas lukisan. Di situ ada sebuah jendela berterali dan seraut wajah lelaki lain bercambang putih dengan sebuah tombak—mungkin dia sipir penjara.
Lukisan Lohjinawi Milk karya Dadi Setiyadi itu merupakan semacam "pelukisan kembali" lukisan Cimon and Pero (Roman Charity) karya Dirck van Baburen, pelukis Belanda dari abad ke-17. Lukisan Baburen dibuat berdasarkan kisah yang dicatat sejarawan Romawi, Valeriuas Maximus, tentang Pero, yang diam-diam memberikan air susunya kepada ayahnya, Cimon, yang tak diberi makan dan minum selama dipenjarakan oleh tentara Romawi.
Baburen menggambarkan dengan jelas adegan Cimon yang menyusu pada Pero. Namun Dadi menghapus sosok Pero, yang membuat mata penonton terfokus pada sosok Cimon. Pameran tunggal Dadi bertajuk "Treasure on Mirror" yang berlangsung di AJBS Gallery, Surabaya, sejak Senin pekan lalu hingga 11 Maret ini penuh dengan pendekatan seperti itu.
Dadi, 35 tahun, adalah lulusan Jurusan Seni Patung ISI Yogyakarta pada 2004. Ia telah mengumpulkan berbagai penghargaan, seperti finalis Indonesia Indofood Art Award pada 2002 dan pemenang Nokia Art Award Asia-Pacific pada 1999. Selain di Indonesia, dia telah berpameran di berbagai negara, termasuk Jepang, Korea Selatan, Malaysia, Belgia, Rumania, Jerman, dan Amerika Serikat. Terakhir, ia salah satu dari seniman kontemporer Indonesia yang karyanya dipamerkan dalam pameran Indonesian Eye di Saatchi Gallery, London, Inggris, tahun lalu. Bahkan lukisannya, Green Dali, jadi gambar sampul katalog pameran tersebut.
Tengoklah Nyi Pohaci Sanghyang Sri. Dadi meminjam The Birth of Venus, lukisan terkenal karya Sandro Botticelli, empu pelukis Renaisans dari Italia. Namun Dadi mengosongkan sosok Venus, mengganti satu figur yang sedang melayang dengan sosok superhero berkostum mirip Batman, dan mengubah latarnya dengan Dataran Tinggi Dieng karya F.W. Junghuhn.
Lukisan Botticelli kembali dipinjam Dadi pada saat dia menciptakan Cinta Nawangwulan. Dadi mengambil satu bagian dari La Primavera karya Botticelli, yakni gambar dua dari tiga dewi kesuburan di sana, dan memperbesarnya di atas kanvas seukuran 150 x 190 sentimeter. Menurut legenda, Nawangwulan adalah bidadari yang dipersunting seorang pemuda biasa, Joko Tarub. Dadi menambahkan tato gambar hati dan tulisan "Mas Joko" di bahu kanan seorang dewi yang terkesan nakal, tapi sebenarnya menegaskan posisi Nawangwulan sebagai "dewi yang berbeda". Cintanya pada Joko adalah cinta berahi yang badaniah, bukan cinta para dewi yang Platonis.
Dadi menampilkan 14 lukisan, 11 patung, dan 2 instalasi dalam pameran ini. Semua karya yang dikuratori Eddy Soetriyono ini merujuk pada berbagai sumber, yang dengan mudah dipahami penonton. Dady secara jujur menyertakan "catatan kaki", yang membuat kita tahu dari mana asal citÂra yang dia pinjam di kanvasnya—hal yang biasanya tidak dilakukan perupa lain.
"Saya sangat tertarik dengan dunia fantasi dan mitologi sejak kecil, ketika mendapat kesempatan membaca buku-buku milik kakak saya," kata Dadi. Ia mulai menggeluti mitologi Nusantara ketika memindahkan cerita rakyat Sunda tentang semut dan belalang ke dalam gambar, yang meraih penghargaan dari Noma Concours Illustration Book 2000 dari Unesco di Jepang pada 2000. Dia juga membuat sebuah gambar yang mengangkat Candi Borobudur sebagai bagian dari kekuatan rakyat dalam The 12th Internasional Biennial Print and Drawing Exhibition di Taiwan pada 2005. "Dari sana saya lihat bahwa dongeng Nusantara dapat diterima orang lain bila kita juga dapat menampilkannya dengan cara yang mereka pahami," kata Dadi.
Pengalaman tersebut memperkuat ambisi Dadi untuk mengangkat harta karun Nusantara: dongeng rakyat. Proyek "Kisah Nusantara" pun dimulai pada 2004, yang berkolaborasi dengan teman-temannya di kelompok Tenggara yang ia pimpin. Mereka mengumpulkan ribuan cerita rakyat Nusantara di berbagai daerah, memilahnya dan memamerkannya pada 2007. Proyek yang sama juga melibatkan seniman setempat serta pelajar sekolah dasar dan sekolah menengah, termasuk anak-anak di Sidoarjo, Jawa Timur.
Dadi menemukan ada kemiripan antara dongeng Nusantara dan dongeng dari bangsa lain. Hal itu ia munculkan dalam pameran kali ini, seperti Joko Tarub, yang meminjam lukisan Hylas and the Nymphs karya John William Waterhouse dari akhir abad ke-19. Hylas tergoda para peri sehingga raib dibawa ke dunia bawah, sedangkan Joko menjebak Nawangwulan sehingga sang bidadari tak bisa kembali ke dunia atas.
Adapun lukisan Dayang Sumbi, yang menggambarkan seorang perempuan sedang duduk, dan seekor anjing, dengan panah di punggungnya, berbaring di kakinya, oleh Dadi dipungut dari lukisan Girl with a White Dog karya Lucian Freud. Lukisan cucu tokoh psikoanalisis Sigmund Freud itu—yang berupa potret sang istri—oleh Dadi dipakai sebagai subyek utama dan ditambah etsa The Ending yang menggambarkan alat tenun karya Kathe Kollwitz sebagai latarnya. Dadi menggabungkan dua lukisan itu untuk menggambarkan suasana batin Dayang Sumbi, yang harus menikah dengan anjing, Tumang, karena sang anjinglah yang memungut alat tenunnya yang jatuh, tapi anjing itu mati pula dipanah anaknya sendiri.
Dari khazanah mitos masa kini, Dadi mengambil lukisan Alien vs Predator karya Benjamin Perry berupa Alien sedang bermain catur melawan Predator. Dadi mengubah kepala mereka menjadi hiu dan buaya bersandal jepit dalam Sura versus Baya, dari legenda asal-usul nama Kota Surabaya. Sosok-sosok fantasi itu dikembangkan Dadi dalam beberapa karya patung fiberglass, seperti Weird Embryo, Alien King, dan Surviving Mutant.
Praktek apropriasi sudah lama dilakukan para perupa, termasuk beberapa seniman Indonesia masa kini, yang kebanyakan melahirkan bentuk satir atau sesuatu yang kurang jelas apa maunya. Pada Dadi, visi apropriasi itu jelas. Dadi ingin menjadikan lukisan klasik Barat itu sebagai fragmen dongeng Nusantara. Visi ini harus diakui unik. Namun, karena sebagian besar gambarnya merupakan tiruan mahakarÂya para empu, bahkan dengan komposisi yang hampir sama, tantangan terbesar yang dihadapinya adalah bagaimana menirunya dengan tepat.
Karya-karya patung Dadi juga menarik. Lihatlah bagaimana kolektor langsung membeli patung The Chronicle of La Galigo. Karya itu bersumber dari patung Laocoon karya Agesander, Athenodorus, dan Polydorus. "Dadi sekolahnya jurusan patung. Ketika dia meniru anatomi dari patung, itu lebih wujud daripada menggambar kulit," kata Eddy Soetriyono. Sebaliknya, "Ketika dia menggambar lukisan klasik, memang secara teknis kurang."
Tapi, seperti dapat kita amati, pengunjung terlihat sangat menikmati lukisan-lukisan itu. Mereka tidak terganggu oleh kekurangan aspek teknisnya. Mereka malah tersenyum melihat lukisan Broken Rock, yang merayakan parodi lukisan Virgin of the Rock karya Leonardo da Vinci. Di situ ada gambar Semar, grup musik rock Kiss, dan kelompok musik dangdut Soneta Group.
Kurniawan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo