Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Menggali fakta peristiwa pembantaian suku Osage dari sudut pandang korban.
Pesona Leonardo DiCaprio masih menjadi magnet film Killers of the Flower Moon.
Penulis David Grann memaklumi perubahan perspektif cerita yang dilakukan sutradara Martin Scorsese.
Sebagai penggemar berat Leonardo DiCaprio, Dwi Lestari Rahayu selalu tahu jadwal film anyar aktor yang kini berusia 48 tahun itu. Tidak hanya mencatat jadwalnya, Tari—sapaan Lestari—harus sesegera mungkin menonton film terbaru Leonardo DiCaprio.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Enggak tenang rasanya kalau enggak cepat-cepat menonton," kata perempuan 41 tahun itu sambil tertawa ketika ditemui di salah satu bioskop di pusat belanja, di Jakarta Pusat, Kamis lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saat itu Tari baru selesai menonton film Killers of the Flower Moon, film terbaru Leonardo DiCaprio yang mulai ditayangkan serentak di bioskop-bioskop di Jakarta dan sekitarnya sehari sebelumnya. Ia pun mengaku puas akan film tersebut. "Semuanya perfect," kata Tari.
Film ini diadaptasi dari novel dengan judul sama karya David Grann. Novel ini terbit pada 2017. Film tersebut berkisah tentang tragedi pembunuhan massal anggota suku Osage oleh kaum kulit putih di daerah Oklahoma pada 1920-an.
Pada masa itu, suku Osage, yang merupakan salah satu penduduk asli tanah Amerika, memiliki kekayaan berlimpah. Mereka memiliki hak atas tanah dan tambang minyak di bawahnya. Secara turun-temurun, keluarga orang-orang Osage memupuk kekayaan dari minyak.
Lily Gladstone (tengah) dalam film Killers of The Flower Moon. Dok. Killers of The Flower Moon
Hal itu yang menarik minat ribuan orang datang ke tanah Osage. Ada yang ingin bekerja sebagai pekerja tambang, ada yang mencoba berbisnis, dan ada juga orang-orang licik yang ingin menguasai lahan milik klan Osage.
William King Hale (diperankan Robert De Niro) menjadi salah satu orang culas tersebut. Ia mengajak keponakannya yang pengangguran, Ernest Burkhart (diperankan oleh Leonardo DiCaprio), mendekati keturunan suku Osage.
Selama beberapa waktu, Ernest sukses memikat hati Mollie Kyle (Lily Gladstone), salah satu ahli waris kilang minyak Osage. Sebaliknya, Ernest juga jatuh hati kepada Mollie. Mereka pun akhirnya menikah.
Namun, setelah menikah, Ernest harus bersedia membantu pamannya melancarkan berbagai aksi untuk mengakuisisi aset milik keluarga Mollie, termasuk membunuh sejumlah anggota keluarganya. Sungguh tindakan yang biadab dan tak layak disebut sebagai manusia. Celakanya, rentetan pembunuhan berantai lain juga mengintai klan Osage.
Sebagai penggemar berat Leonardo DiCaprio, Tari tak henti-hentinya memuja sang idola. Namun perempuan yang bekerja sebagai desainer interior itu juga memberikan pujian untuk Robert De Niro, yang memang tampil luar biasa sebagai orang bermuka dua.
"Sebenarnya pujian besar layak diberikan kepada pemeran Mollie (Lily Gladstone). Dia tidak tenggelam di antara dua aktor hebat (De Niro dan DiCaprio)," kata Tari.
Pujian juga dilontarkan Berta Simanulang untuk Lily Gladstone. Menurut perempuan 45 tahun itu, justru Lily Gladstone-lah yang menjadi bintang paling terang dalam film Killers of the Flower Moon. Gejolak emosi yang ia tampilkan sepanjang film sukses ditularkan ke penonton.
"Adu aktingnya dengan DiCaprio juga bagus. Sukses memperlihatkan ikatan suami-istri," tutur perempuan yang bekerja sebagai aparatur sipil negara itu.
Fakta lain, sutradara Martin Scorsese pun layak mendapat tepuk tangan meriah. Ia sukses menghadirkan suasana 1920-an dalam Killers of the Flower Moon. Bukan cuma latar belakang layar, tapi juga kehidupan suku Osage. Sutradara yang kini berusia 80 tahun itu mampu menampilkan simbol, ornamen, dan aktor keturunan suku asli tanah Amerika Serikat tersebut.
Cuplikan film Killers of The Flower Moon. Dok. Killers of The Flower Moon
Hebatnya lagi, Scorsese sanggup membuat penonton duduk tenang selama 206 menit. Ya, Killers of the Flower Moon punya durasi 3 jam 26 menit. Jika film Oppenheimer yang sempat viral beberapa bulan lalu dianggap punya durasi lama, yakni 180 menit alias tiga jam, Killers of the Flower Moon lebih lama lagi.
Namun Scorsese bisa saja membuat film tersebut tak membosankan meski laju cerita terbilang lambat. Kekuatan dialog antarpemain menjadi kunci utama film ini. Selain itu, cerita sejarah menarik tapi belum banyak dipublikasikan membuat Killers of the Flower Moon sukses mencuri perhatian penonton sepanjang 3 jam 26 menit.
Sutradara Scorsese mengaku sengaja memperlambat tempo film demi menggambarkan kehidupan suku Osage. Menurut dia, gambaran kehidupan suku Osage, seperti upacara pemberian nama bayi, pernikahan, dan pemakaman, harus digambarkan dengan sempurna dalam film Killers of the Flower Moon. Sebab, merekalah nyawa film ini.
Scorsese rupanya terinspirasi oleh film karya sutradara muda Ari Aster yang sukses membuat Midsommar dan Beau is Afraid. Meski tempo film tersebut lambat, sutradara 37 tahun itu mampu menyampaikan pesan bahkan kengerian dengan lebih mendalam.
"Saya merasa yakin banyak orang akan membiarkan diri mereka tenggelam dalam dunia film," ujar Scorsese.
Ia sempat khawatir eksperimennya meniru laju lambat film Midsommar bakal berujung bencana. Namun ia tahu betul rasa khawatir memang harus dilawan. "Kita harus ambil risiko ini. Di usia ini, apalagi yang bisa saya lakukan?" kata dia.
Film Killers of the Flower Moon menjadi ajang pertemuan Scorsese dengan dua aktor langganannya. Ya, Scorsese memang sudah sering memainkan De Niro dan DiCaprio dalam film-film bikinannya. Untuk De Niro, Killers of the Flower Moon menjadi film kesepuluhnya di bawah arahan Scorsese. Adapun untuk DiCaprio, ini menjadi film keenamnya bersama Scorsese.
Karena sudah sering bekerja sama, Scorsese sudah hafal betul tabiat De Niro dan DiCaprio. Satu hal yang membuat Scorsese kagum sekaligus jengkel adalah kebiasaan DiCaprio mengimprovisasi adegan dan dialog. Bahkan aktor De Niro sampai garuk-garuk kepala saat melihat DiCaprio berlebihan saat improvisasi.
"Sesekali Bob (Robert De Niro) dan saya hanya saling pandang dan memutar mata. Kami beri tahu Leo (Leonardo DiCaprio) bahwa dia tidak memerlukan dialog (improvisasi) itu," kata Scorsese.
Namun, sejengkel-jengkelnya Scorsese terhadap si raja improvisasi, tetap saja ia sangat sayang dan percaya kepada DiCaprio. Ia melibatkan sang aktor dalam rencana pengembangan cerita. Mulanya, Killers of the Flower Moon akan digarap sesuai dengan alur cerita dalam buku karya David Grann itu.
Ceritanya berjalan dari sudut pandang agen FBI bernama Tom White yang menyelidiki kasus pembunuhan puluhan anggota suku Osage. Tom White adalah orang yang membongkar aksi biadab King Hale dan Ernest Burkhart.
Namun, setelah dua tahun menggarap naskah tersebut, DiCaprio mendatangi Scorsese dengan pertanyaan menusuk. "Di mana inti cerita ini?" tanya Scorsese menirukan pertanyaan DiCaprio.
Seketika Scorsese berniat mengubah alur cerita. Ia mengundang orang-orang keturunan Osage dan mengajak mereka makan malam. Dari situlah ia punya ide untuk menggali cerita tragedi Osage dari kacamata suku Osage.
"Menurut kami, kisah sebenarnya tidak selalu datang dari luar atau lewat biro FBI, tapi juga dari dalam, dari Oklahoma (suku Osage) itu sendiri," tutur Scorsese.
Leonardo DiCaprio (kanan) dan Lily Gladstone dalam film Killers of The Flower Moon. Dok. Killers of The Flower Moon
Perubahan cerita juga diamini penulis buku David Grann. Menurut dia, mulanya DiCaprio bakal diplot sebagai Tom White yang menyelidiki pembunuhan suku Osage. Namun, setelah berdiskusi dengan sutradara, ia memilih peran sebagai Ernest Burkhart.
Bagi Grann, tak ada masalah cerita dalam film berbeda dengan buku yang diangkat. Lebih-lebih perbedaan cerita hanya soal sudut pandang tanpa mengubah fakta dalam cerita buku. Grann percaya ada banyak cara mengubah cerita buku menjadi film. Terlebih sutradara jempolan sekelas Martin Scorsese pasti punya ide cemerlang yang sering muncul di luar pemikiran normal.
"Mereka berfokus pada kisah Mollie Kyle dan hubungannya dengan Ernest. Kisah Mollie memang inti dan jiwa dari tragedi kemanusiaan ini," kata Grann.
Menurut Grann, film bikinan Scorsese ini mampu memberikan keadilan dan kebenaran untuk suku Osage. Terlebih sejak awal Scorsese selalu melibatkan keturunan suku Osage dalam setiap proses pembuatan. "Menurut saya, hal ini sangat penting," ujar pria 56 tahun itu.
Untuk David Grann, Killers of the Flower Moon bukan novel pertamanya yang diangkat menjadi film. Sebelumnya, bukunya berjudul The Lost City of Z yang terbit pada 2009 sempat difilmkan pada 2016 dengan judul yang sama. Film ini bercerita tentang perjalanan perwira muda Inggris ke hutan Amazon.
Hebatnya lagi, bukan cuma buku Grann yang diangkat menjadi film. Sejumlah artikel tentang kriminal yang ia tulis di koran, seperti Dark Crimes (2016), The Old Man & the Gun (2018), dan Trial by Fire (2018), juga dibuat film. Menariknya, buku Grann terbaru, The Wager, pun akan diangkat ke layar lebar dan direncanakan tayang pada tahun depan.
Buku yang punya judul The Wager: A Tale of Shipwreck, Mutiny and Murder ini bercerita tentang kapal perang HMS Wager yang kandas pada 1741. Puluhan awak kapal selamat, tapi mereka membawa cerita kejam dan aib besar. Menariknya, buku ini akan disulap menjadi film oleh sutradara Martin Scorsese. Hebatnya lagi, Leonardo DiCaprio direncanakan ikut terlibat dalam film ini.
INDRA WIJAYA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo