Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teroka

Persoalan Sastra Selatan hingga Boga

Sejumlah penerbit luar tertarik pada karya penulis Indonesia.

26 Agustus 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Jakarta International Literary Festival (JILF) baru saja usai. Festival sastra itu mendatangkan 33 penulis dari berbagai negara. Kegiatan yang berlangsung di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, pada 20-24 Agustus 2019 itu menyajikan aneka acara, dari pembacaan karya, diskusi, simposium, bazar buku, hingga peluncuran buku.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sebanyak 14 penulis muda meluncurkan karya mereka pada Sabtu lalu. Di antaranya Dea Anugrah dengan kumpulan cerpen Sad Stories of Today, Heru Joni Putra dengan kumpulan puisi The Mystical Path of Badrul Mustafa, Ni Made Purnama Sari dengan kumpulan puisi Two Postmen and Other Poems, dan Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie dengan buku All the Fish in the Sky, yang merupakan cuplikan dari novel berjudul sama.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ke-14 buku ini merupakan terbitan Yayasan Lontar dari By the Way (BTW) Books seri kedua yang hadir dalam London Book Fair 2019. Selain nama-nama tersebut, penulis yang meluncurkan bukunya adalah Chynta Hariadi, Dias Novita Wuri, Dinar Rahayu, Faisal Oddang, F. Aziz Manna, Karta Kusumah, Mario F. Lawi, Rio Johan, Sabda Armandio Alif, dan Sunlie Thomas Alexander.

"Ini peluang bagi penulis muda untuk mengenalkan kepada pembaca internasional, bahwa Indonesia juga punya penulis-penulis muda selain yang sudah terkenal," ujar Zen Hae, anggota panitia JILF, kepada Tempo, kemarin.

JILF digelar dengan tajuk "Pagar". Panitia menekankan fokus festival sastra ini dengan mengundang penulis dari negara Selatan. "Kita ini punya banyak karya yang pantas dibaca, karena mutunya, bukan karena eksotisme. Karya dari penyair di negara Selatan ini juga tak banyak kita ketahui," kata ketua panitia JILF, Yusi Avianto Pareanom, pekan lalu.

Tak hanya mengundang penulis dari wilayah itu, persoalan sastra di Selatan juga menjadi bahasan dalam forum-forum festival. Dalam sebuah simposium, misalnya, penulis dari Botswana, Legodile Seganabeng, mengisahkan pengalamannya berkarya di negara yang tradisi penerbitannya belum berkembang.

Pameran Jakarta International Literary Festival 2019.

Seganabeng mengatakan mereka harus mengorbankan kreativitas dan orisinalitasnya agar bisa diterbitkan. "Tema yang diangkat sering kali mempertimbangkan apa yang seksi bagi mereka di luar Botswana, bukan hal yang ingin dibicarakan masyarakat Botswana," ujar dia.

Penulis lain, Sharlene Teo, pengarang novel Ponti, mengatakan masalah identitas menjadi beban bagi dirinya untuk berkarya. Ia lahir di Asia Tenggara, tapi tinggal di Inggris selama 13 tahun. Namun jarak itu, di sisi lain, memudahkannya berefleksi lebih dalam.

Simposium lainnya, dengan pembicara Hilmar Farid (Indonesia), Ramon Guillermo (Filipina), dan Adania Shibli (Palestina), menjelajah kanon Selatan. Mereka mendiskusikan adanya kemungkinan berkembangnya sastra dari wilayah Selatan dan bagaimana komunitas setempat menyikapinya.

Guillermo menggambarkan arus penerjemahan karya dari Asia Tenggara berkembang ke kota-kota besar dunia, seperti Paris, Tokyo, dan Moskow. Hal ini disambut dan menjadi peluang gagasan perlunya kanon Selatan. Apalagi negara-negara Selatan ini mempunyai latar belakang sejarah sebagai jajahan dan beraliansi dalam Konferensi Asia-Afrika 1955.

Sementara itu, penulis Palestina, Adania Shibli, menjelaskan betapa penjajahan Israel atas Palestina tak hanya mencakup wilayah, tapi juga pengekangan karya. Pemerintah Israel, kata Shibli, melakukan penyitaan dan penghapusan karya sastra Palestina melalui proyek National Library of Israel.

Penulis novel Ponti, Sharlene Teo.

Topik diskusi lain yang tak kalah menarik adalah soal sastra dan boga, dengan pembicara Timbul Haryono dan Fadly Rahman dari Indonesia. Mereka membentangkan fakta bahwa dari khazanah kuliner, urusan lidah dan perut memperlihatkan kekayaan kreasi, kreativitas, dan budaya masyarakat. Kuliner juga memperlihatkan beragam fungsi dalam masyarakat.

JILF juga diwarnai dengan penjualan hak cipta karya para penulis Indonesia. Sejumlah penerbit luar tertarik membeli hak cipta karya penulis Indonesia. "Sudah ada penjajakan dan penerbit yang tertarik membeli hak cipta beberapa buku," ujar Yudith Andika, anggota panitia yang menangani kontrak hak cipta.

Bahkan sudah ada yang konkret, yakni kontrak dengan Prozart Publishing House (Macedonia) untuk novel Saman karya Ayu Utami dan buku The Land of Five Towers alias Negeri 5 Menara karya Ahmad Fuadi.

DIAN YULIASTUTI

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus