Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teroka

Pertunjukkan sendratari

Pertunjukkan sendratari karya wayan diya, di taman ismail marjuki. (tar)

31 Maret 1984 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PADA akhir 1970-an I Wayan Diya heran melihat Pugra, almarhum, penari topeng kenamaan dari Bali, terpaku menyaksikan tari bedaya di Sasonomulyo, Solo. Kata Pugra, menurut Diya, begitulah semestinya tari Bali yang baik. Dua malam, Senin dan Selasa pekan ini, di Taman Ismail Marzuki, Diya memukau penonton dengan drama tari Tari Barong Garu Tanding, karya koreografinya yang mutakhir. Berangkat dari cerita rakyat Bali tentang tokoh semacam Calonarang tapi lelaki, Diya menampilkan tokoh legenda Bali yang hampir dilupakan. Yakni, Buta Sungsang (raksasa terbalik) pada adegan pembuka Garu Tanding. Raksasa terkutuk itu hanya bisa berjalan dengan tangan, sementara kakinya menjulang ke atas. Menarik, menyaksikan polah tingkah penari yang harus menjadikan kedua kakinya bak dua tangan, sementara tangannya memainkan topeng raksasa di antara selangkangannya, sebagai kepala sang Buta Sungsang. Sejak melihat Pugra menyaksikan tari bedaya itulah Diya semakin mantap pada jalan yang ditempuhnya. Yakni, semua koreografinya berangkat dari pertanyaan "bagaimana sebenarnya tari Bali pada mulanya terciptakan". Dengan sikap yang meragukan segala yang sudah mapan itu, orang kelahiran Banjar Lebah, Kabupaten Badung, ini justru menemukan peluang menciptakan kreasi-kreasi dari akar yang dalam. Orang boleh kaget mengapa kelompok penari-penari lelaki tak menampilkan gerak dinamis tari Bali yang sudah dikenal. Dan gending-gending Bali yang ramai gemerincing terkadang gemuruh dengan pukulan kendang - mengapa sesekali berkelok lembut bak gamelan Jawa. Tersebutlah Basur yang mengamuk. Dengan kekuatan teluhnya, Garu, perempuan yang memikat anak Basur. dibuatnya gila. Basur, tokoh sesakti Calonarang, tak menyetujui rencana pernikahan anak lelakinya dengan Garu. Tapi para dewa merestui perempuan itu. Setelah puncak penderitaan Garu - ia dijarah oleh lima lelaki - Buta Sungsang muncul dan berjingkrak di sekitar Garu, sebelum sembilan bidadari datang memulihkan kekuatannya. Bahkan, Garu kini menjadi sakti, siap bertanding melawan Basur. Sampai pada adegan itu, Wayan Diya, yang sembilan tahun bermukim di India, negeri asal agama Hindu, hampir sepenuhnya menampilkan tari-tari upacara. Itulah, bisa dipahami bila arena hampir tak terasa menjadi tempat pertunjukan. Yang tergelar di situ adalah gerak-gerak pemujaan dengan bau dupa yang makin lama makin menyebar. Suasana religius ini nyata tampil ketika sesekali gamelan berhenti, sementara para penari terus bergerak. Bali kemudian memang hanya menjadi dasar penciptaan. Yang mencuat keluar adalah Wayan Diya, yang kebetulan orang yang sejak kanak-kanak menyerap roh kesenian, dalam makna yang luas, Bali. Pertempuran Basur dengan Garu diwakili dua Putih Kembar - dua makhluk yang seluruh tubuh mereka hampir ditutupi rambut putih yang tumbuh lebat, dan keduanya berbentuk sama persis. Tak bisa ditebak siapa yang mewakili Garu, atau yang mewakili Basur. Penutup Garu Tanding pun tak memberikan kepastian ada yang kalah dan ada yang menang. Ketika Basur, yang diperankan oleh Wayan Diya sendiri, dengan seberkas dupa menyala mengamuk, tiba-tiba lampu meredup, lantas padam. "Kita harus bicara kepada diri sendiri, apa yang benar, apa yang tidak benar dalam kita berpikir, berkata, berbuat," alasan Diya tak membunuh Basur sebagaimana cerita rakyat itu dituturkan dari mulut ke mulut. Sebab, bagi bapak tiga anak ini, salah dan benar harus dicari oleh kita masing-masing. "Bagi saya sendiri, makna sebuah upacara keagamaan adalah perenungan mana yang baik dan mana yang buruk," katanya. Maka itu, Garu Tanding disuguhkan dengan banyak tari-tarian sakral, yang selama ini hanya bisa dilihat pada upacara keagamaan di pura-pura. Wayan Diya yakin benar, "kesucian, kebenaran, dan keindahan adalah satu." Dharma bisa dilakukan dari lorong hidup yang mana pun. Agaknya, salah seorang anggota Dewan Kesenian Jakarta periode pertama ini menjalankan darma lewat keseniannya. "Kalau kita menggeluti kesenian dengan sepenuh hati, di situ muncul makna hidup," katanya. Barangkali semangat seperti itulah yang membuat Diya, yang sejak 1969 bermukim di Jakarta, tak terguncang dengan keriuhan ibu kota. Di kawasan Pondok Karya, Jakarta Selatan, ia cukup tenteram dengan rumah sangat sederhana. Dan dengan sadar, untuk pertunjukannya ini ia menolak sponsor. "Dengan biaya seadanya dari Dewan Kesenian dan Taman Ismail Marzuki, mari kita mencoba membuat sesuatu yang berarti," ajaknya kepada para pendukung Garu Tanding. Tiba-tiba, Wayan Diya terasa bagai bara dupa, ketika arena gelap, dan dupa-dupa yang diayun-ayunkan oleh para penari menyebarkan bau wangi, menampilkan berpuluh kunang-kunang yang lahir dari semangat religius seorang Bali berusia 47 tahun. Bambang Bujono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus