Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TUGAS CENDEKIAWAN MUSLIM Oleh: Dr. Ali Shariati Penerbit: Shalahuddin Press, Yogyakarta, 1984, 206 halaman TAK banyak pemikir yang muncul lagi sejak gelombang modernisme Islam berangsur surut. Al-Afgani, Abduh, Ameer Ali, bahkan Iqbal makin menjadi bagian masa lampau. Sementara itu, generasi baru Muslimin, sembari menghapus trauma yang ditinggalkan modernisme itu, masih mencari-cari sesuatu yang baru. Dan Shariati pun dihadirkan - barangkali untuk mengisi satu titik dalam pencarian yang panjang itu. Maka, beramai-ramailah orang menyalin karyanya. Ke dalam bahasa Indonesia, kccuali Tugas Cendekiawan Muslim, muncul juga ideologi Kaum Intelektual: Suatu Wawasan Islam di samping Kritik Islam atas Marxisme dan Sesat Pikir Barat Lainnya. Selain itu, saya juga pernah melihat terjemahan On the Sociology of Islam. Patut diingatkan bahwa dalam keramaian salinan itu sering ada karangan yang sama muncul pada kumpulan berbeda. Dr. Amien Rais menerjemahkan buku ini dari Man and Islam (edisi Mashhad, 1982). Sementara itu, karangan dengan judul yang sama diambil oleh Hamid Algar untuk kumpulan On the Soaology of Islam (edisi Berkeley, 1979). Juga karangan Shariati tentang ideologi muncul kembali dalam Ideologi Kaum Intelektual (terbitan Mian, Bandung, 1984). Agaknya itu wajar saja, mengingat bahwa buku Shariati umumnya merupakan kumpulan kuliah dan ceramah yang diberikannya pada berbagai kesempatan. Karena gaya ceramah itu, maka sering kita jumpai tema yang diulang-ulang. Tetapi lantaran itu juga - gaya berbicara langsung kepada pembaca kita dapat merasa akrab dan cepat terbawa ke dalam uraiannya yang memukau. Shariati munkin akan menjadi salah satu tonggak yang menandai pemikiran Islam pascamodernisme. Persoalan yang dikemukakannya tak lagi terpusat pada masalah ijtihad dan taklid, nalar atau fatwa ulama, atau apakah Islam bertentangan dengan ilmu pengetahuan. Memang, ia masih melanjutkan usaha menggebrak agama yang terlembaga dalam tradisi menjadi agama-ideologis agar berfungsi mengubah status quo. Tetapi, Shariati tak mau berhenti pada apologi. Ia bahkan berusaha mengajukan suatu "pandangan dunla" yang radikal dengan tafsir baru atas Islam dalam keterkaitannya dengan tantangan masa sekarang. Kalau ia hendak kembali kepada dasar yang asli, bukanlah itu semata-mata huruf Quran dan Sunah, tetapi lebih pada fungsinya yang ideologis, yang membebaskan, seperti ketika mula-mula Islam dicetuskan pada masa Nabi. Sebagai layaknya cetusan gagasan yang hendak mengubah susunan masyarakatnya, Shariati mulai dengan model tentang manusia. Itu diangkatnya dari mitos penciptaan Adam. Secara simbolis hal itu ditafsirkannya sebagai adanya dua anasir kontradiktif dalam diri manusia: antara lumpur yang rendah dan ruh yang ditiupkan Tuhan. Dan manusia bebas memilih antara dua kutub ini. Tetapi Islam minta tanggung jawabnya dalam memilih dan membentuk nasibnya. Kebebasan inilah, menurut Shariati, merupakan amanat Tuhan, yang ditolak oleh langit dan bumi, tetapi diterima manusia. Begitu gigihnya Shariati membela kebebasan manusia ini, hingga ia menolak pemenlaraannya dalam berbagai determinisme: baik biologis, historis, maupun sosiologis. Sekalipun menerima prinsip dialektik, ia tak percaya bahwa hal itu akan berlangsung begitu saja tanpa lebih dulu dicernakan dalam kesadaran manusia. Kecuali tiga determinisme ini, Shariati melihat satu penjara lain lagi, yakni ego manusia sendiri. Sementara dengan akal dan ilmunya manusia bisa membebaskan diri dari determinisme alam, sejarah, dan masyarakatnya, ia tak mampu dengan itu membebaskan diri dari egonya sendiri. Untuk itu, manusia perlu suatu hal yang lain: cinta. Cintalah, kata Shariati, yang memungkinkan manusia memberontak melawan diri sendiri. Cerita Kabil dan Habil juga ditafsirkan Shariati secara simbolis. Katanya, ini melambangkan pecahnya kesatuan kemanusiaan dalam kehidupan komunal menjadi konflik abadi antara dorongan milik, monopoli, dan perjuangan mereka yang tertindas. Kabil merupakan representasi suatu kelas yang menghimpunkan harta, kuasa, dan budaya dalam tangannya sendiri. Model Shariati memang mengejutkan, walau kadang-kadang terasa aneh. Menafsirkan kisah Habil sebagai representasi era hidup pastoral, dan Kabil sebagai representasi cara produksi agraris yang monopolistis, rasanya seperti mengada-ada. Apalagi ketika borjuasi industrial juga dinisbahkan kepada kelas Kabil ini. Barangkali itu memang perlu dilakukannya untuk mengakrabkan konsep konflik struktural kepada pendengarnya dari bazaar - suatu hal yang memang selalu diusahakannya sebagai cendekiawan yang hendak memelihara ikatannya dengan massa. Kritik Shariati terhadap cendekiawan yang menjual diri kepada borjuasi cukup pedas, apalagi ketika makin terasing dan massa. Sebab, menurut Shariati, tugas utama cendekiawan adalah, "Mengubah antagonisme dialektik obyektif menjadi pikiran subyektif rakyat, karena antagonisme tidak dengan sendirinya mendorong kemajuan sosial, kecuali kalau ia ditanamkan ke dalam kesadaran sosial." Tampaknya, ia menginginkan cendekiawan memelopori suatu gerakan ideologis, karena hanya dengan ideologilah, kata Shariati, kaum lemah dapat mengalahkan para penindasnya. Tak heran kalau Hamid Algar, penyunting banyak buku Shariati, menyebut tokoh ini sebagai bapak ideologi revolusi Islam Iran. Aswab Mahasin
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo