Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
POKAEWA ADHARA
Waode Nurmuhaemin
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Ayahku ke langit.” Itu yang dikatakan ibuku dahulu sekali. Waktu itu umurku belum genap enam tahun. Ya, aku ingat persis, umurku belum genap enam tahun. Pasalnya, aku ditolak masuk SD inpres satu-satunya di desaku. Pada tahun-tahun itu, syarat masuk SD cukup aneh. Aku hanya perlu berdiri di depan kepala sekolah dan memegang telinga kiriku dengan menggunakan tangan kanan melewati kepala. Kalau aku berhasil memegang telingaku, secara sah dan meyakinkan aku bisa menjadi salah satu penghuni kelas satu SD inpres Katobu, nama desaku.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Namun malangnya, meskipun sudah berusaha sekuat tenaga, tangan kiriku tetap tidak bisa menyentuh telinga kananku. Dengan berakhirnya prosesi pegang-memegang telinga, punahlah harapanku menjadi siswa di sekolah itu. Ingatanku terhadap ritual masuk SD sekuat ingatanku akan kepergian ayah, persis peristiwa penolakan di SD inpres, sama kuatnya akan ingatanku terhadap apa yang dikatakan ibuku, “Ayahmu ke langit.”
Dan kini, aku berdiri di tempat peristiwa di mana ibuku, 26 tahun lalu, mengucapkan kata sakral itu. Setiap kali pulang kampung dan ketika harus mengikuti tradisi “Pokaewa Adhara”, aku akan mencoba menghindarinya, mencari seribu satu alasan supaya tidak berada di tempat itu.
Peristiwa “ayah ke langit” bertepatan dengan hari besar di desa kami, Katobu, salah satu desa di Kabupaten Muna, Sultra. Ada tradisi perkelahian kuda setiap tahun bersamaan dengan perayaan panen jagung. Jagung adalah satu-satunya tanaman pangan yang bisa tumbuh bagus di kampungku. Dan biasanya, sehabis panen besar, kami akan melanjutkan dengan tradisi “Pokaewa Adhara” atau “perkelahian kuda”.
Ibu sepertinya maklum atas keenggananku menyaksikan ritual yang membawa “ayahku ke langit” itu. Dan kali ini begitu berbeda. Kepulanganku kali ini adalah kepulangan yang ingin menuntaskan semua bayang-bayang kepergian ayah. Meskipun aku seorang perempuan, aku adalah anak sulung ayah, satu-satunya perempuan yang bersekolah tinggi bahkan sampai ke benua yang dingin, nun jauh di sana. Adik-adikku yang kedua-duanya lelaki hanya bersekolah dan kemudian menamatkan sarjana mereka di ibu kota provinsi. Walau begitu, kami satu-satunya keluarga di desaku yang semua anaknya sarjana, bahkan aku bergelar master dari negara yang sangat jauh.
Masih kuingat betapa ibu melakukan segala upaya agar aku dan adik-adik bisa bersekolah tinggi. “Kalian adalah anak-anak Manu Adhara. Kalian harus bisa memikul nama besarnya.”
Meskipun tidak berumur panjang, nama besar ayah melegenda di desaku. Ayah punya gelar Manu Adhara, artinya pemangku adat yang berhak menyelenggarakan “Pokaewa Adhara”.
Konon, menurut cerita yang masih bertahan hingga kini, orang yang layak menjadi wasit dalam perkelahian kuda atau “Pokaewa Adhara” itu dilahirkan bukan karena mempelajari keahlian tersebut. Keahlian itu diperoleh dari lahir. Seperti dongeng mitologi Yunani, mereka percaya bahwa “pemimpin itu dilahirkan, bukan diciptakan”. Dan ayahku menjadi satu-satunya orang yang tidak pernah mendapat cedera dalam ritual itu, meskipun beliau setiap tahun memimpin acara tersebut. Sampai semua harus berakhir dengan peristiwa “ayah ke langit”.
Biasanya, wasit, selain ayah, akan mendapat luka, ditendang kuda, jatuh, atau bahkan diinjak-injak oleh dua kuda yang berlaga. Namun hal itu tidak pernah terjadi pada ayahku. Sebagian penduduk desa malah percaya bahwa ayah punya ikatan batin dengan raja kuda. Ayah punya jampi-jampi untuk menaklukkan hati kuda-kuda aduan itu. Keluarga ayah memang turun- temurun menjadi “wasit” kuda. Kepercayaan yang tidak semua orang boleh dapatkan. Di samping harus berdarah biru, wasit kuda tidak boleh melanggar segala macam aturan tidak tertulis yang sudah disepakati.
Sepanjang ingatanku, setiap kali pertandingan kuda digelar, ayahku akan menuntunku duduk di rumah panggung yang tinggi dekat arena perkelahian kuda itu, mendudukkanku agak dekat dari tangga supaya aku bisa melihat dengan jelas ketika kuda-kuda itu bertempur mengalahkan satu sama lain. Dan biasanya, aku lebih mengagumi ketangkasan ayahku memisahkan kuda-kuda itu dibanding atraksi yang disajikan kuda-kuda itu sendiri.
Aku dan teman-temanku akan bersorak-sorai ketika kuda-kuda itu mulai menampilkan atraksi luar biasa memikat. Namun, aku tetap saja fokus memperhatikan ayah yang terlihat gagah memimpin pertandingan. “Ayah yang suka bercerita tentang Wamboro-boro, seorang nenek yang hidup di bulan, sebelum aku tidur menjadi orang yang berbeda dalam pandanganku. Ayah menjadi wasit. Ayahku bukan lagi ayah yang sering membacakan cerita Wamboro-boro. Ayah seperti seorang kesatria, dengan baju putih lengan panjang plus sarung adat bermotif lurik-lurik merah dan ikat kepala tenunan tradisional, yang menjadikan ayah sebagai pusat perhatian.
Setelah bertahun-tahun kemudian, cerita lengkap mengapa ayah ke langit kudapatkan tidak terlalu utuh dari ibu, dan untuk itu aku harus bekerja keras menyusun cerita itu. Cerita-cerita yang tercecer. Ibu selalu menceritakan peristiwa itu dalam bingkai-bingkai yang tidak sempurna. Kemudian, ketika semakin dewasa, cerita lengkap mengapa ayah “ke langit” semakin terkuak dan terpatri dalam ingatanku. Namun ada satu bagian yang tetap tidak bisa kumasuki, mengapa ayah sampai meninggal, tidak pernah kudapatkan. Sepertinya hanya garis besarnya yang kudapatkan dari berbagai sumber. Banyak yang mau berbagi, para keluarga dan tetangga. Tetapi, bagaimana ayah meregang nyawa, tidak satu pun yang sudi berbagi.
Ketika menginjak masa-masa kuliah, luka akibat kepergian “ayah ke langit" terus menemani hari-hari panjangku. Aku ingat hari itu, kata ibu, hari terakhir ayahku menjadi wasit. Suasana gelanggang perkelahian kuda tidak seperti biasanya. Langit muram dan matahari hanya muncul sepotong. Alam seperti menyimpan misteri. Itu cerita ibuku.
Ibu seperti sudah punya firasat. Dia melarang ayahku menjadi wasit hari itu. Sudah menjadi rahasia umum, di desaku, ada seseorang yang menginginkan jabatan ayah. Orang itu saudara jauh ayahku. Dia merasa berhak menjadi wasit ketimbang ayahku. Mereka masih satu garis keturunan. Namun, orang-orang tua kampung lebih memilih ayah. Meskipun tidak kentara, aroma persaingan sering hadir di antara mereka. Dalam acara-acara adat, ayahku selalu mendapat kepercayaan untuk memimpin.
Rupanya pengaruh ayah membuat gerah orang yang tidak suka kepada ayah itu. Maklumlah, jabatan wasit bisa memberi pengaruh dalam pengambilan keputusan di desa. La Tuma, nama orang yang masih terhitung saudara ayah dari pihak kakek.
Sebelum “Pokaewa Adhara” terakhir ayah berlangsung, seseorang membisikkan kepada ibu bahwa ayah akan dihabisi dalam aduan kuda hari itu. Mereka sudah pergi ke dukun untuk memantrai kudanya. Dan kudanya akan menjadi liar, seliar kuda hutan yang belum dijinakkan.
Ketika ibu menceritakan apa yang didengarnya kepada ayah, ayah hanya tertawa. Baginya, kerisauan ibu sama seperti kerisauan yang ditampilkan setiap kali dia mau menjadi wasit. Dan ayahku selalu berprinsip bahwa perempuan adalah makhluk yang suka melebih-lebihkan sesuatu. Sering kali beliau mengusap kepalaku dan berkata, “Jadilah perempuan yang pandai.”
Dan ibu tidak membantah ayah. Baginya, apa yang dikatakan ayah adalah sabda. Ibu mengagumi ayah. Sepanjang ingatanku, wajah ayah sangat berkarisma. Wajahnya tegas dan rahangnya kokoh, alisnya lebat, dan mata ayah, kata ibu, kuwarisi dengan sempurna. Mata ayah teduh. Namun, kalau bersitatap, jarang orang bisa membalas tatapannya. Biasanya lawan bicara ayah akan melarikan pandangannya ke tanah, langit, dan atau ke mana saja, tidak mampu menantang pandangan mata ayah yang menembus sampai di kalbu mereka. Ciri khas mata keluarga ayahku yang juga diwarisi oleh kami anak-anaknya, terutama olehku.
Kawan-kawan kuliahku pun mengatakan bahwa mereka merasa ada kekuatan magis dalam mataku, entahlah, mungkin mata wasit yang dimiliki ayahku menurun dalam diriku. Kalau aku lagi marah, jarang ada yang bisa menantang pandangan mataku.
Cerita-cerita ibu bercampur dengan samar-samar akan ingatanku pada hari terakhir ayah menjadi wasit. Seperti biasa, ayah akan mendudukkanku di tangga yang agak dekat dengan gelanggang. Aku masih sempat melihat ayah dalam pakaian kebesarannya. Aku masih bisa melihat beberapa menit atraksi kuda dan tiba-tiba, semuanya begitu cepat. Aku hanya bisa melihat kerumunan orang yang bergerak cepat diselingi teriakan-teriakan perempuan. Yang sempat kudengar hanya kata “adhara-adhara, no mate-no mate”, yang artinya “kuda-kuda dan wasit mati”.
Dan tiba-tiba saja, seorang perempuan menggendong tubuh mungilku dan menurunkanku dari rumah panggung. Anehnya, orang itu tidak mau berhenti di tempat yang dipenuhi oleh kerumunan orang dan teriakan panik suara-suara yang bercampur tangisan. Aku memanggil-manggil ayahku, dan orang itu malah semakin menjauhi gelanggang serta berusaha menenangkanku.
Ketika sudah dewasa, dari cerita-cerita ibu yang tercecer, perempuan yang menggendongku adalah suruhan ibu. Ibu tidak ingin aku melihat keadaan ayah. Kondisinya mengenaskan. Ibu melindungi psikologisku. Dalam keterbatasannya sebagai perempuan desa yang bersahaja, ibu memikirkan jiwa anak perempuan enam tahunnya. Dan besoknya, ayahku dimakamkan.
Sampai di situ, tidak banyak yang kuingat. Seperti yang kukatakan, ibu menyekolahkan kami bertiga sampai ke perguruan tinggi. Dan aku berusaha keras mendapat beasiswa selama kuliah. Pesan ayah untuk menjadi perempuan pintar terpatri dalam ingatanku. Aku belajar sungguh-sungguh, bahkan gila-gilaan. Ketika liburan pun, aku jarang pulang. Perpustakaan menjadi tempat favoritku. Tidak mengherankan, semester lima, aku sudah menjadi asisten dosen.
Dan ketika selesai wisuda, kampus menawarkan beasiswa master kerja sama dengan salah satu universitas di Eropa. Dua tahun, cukup lama aku bertahan di benua dingin itu. Dua tahun, tidak pernah bisa menghapus semua kenangan dan peristiwa mengapa ayah ke langit. Dua tahun, setiap menyaksikan langit, maka yang terbayang adalah ayah dalam baju kebesarannya, baju putih lengan panjang, dan memakai sarung lurik-lurik plus ikat kepala tenun. Dua tahun, tidak bisa menghilangkan pertanyaan mengapa ayahku meregang nyawa.
Kepulanganku kali ini adalah kepulangan yang masih menyisakan getir dan tanya. Sanggupkah aku melewati gelanggang perkelahian kuda? Bisakah gambaran orang yang bergerak cepat dan teriakan-teriakan perempuan hilang dari ingatanku?
Dan kini aku berdiri di gelanggang itu, menyaksikan perkelahian kuda yang dulu ketika masih kecil dipimpin oleh ayahku. Perkelahian kuda yang kuhindari seumur hidupku setelah peristiwa itu. Perkelahian kuda yang membawaku jauh dari kampung dan keinginan melupakan kampungku. Kulihat wasitnya masih muda. Aku tidak ingin tahu siapa dan dari keluarga mana. Pun ketika tiba di rumah, pembicaraan mengenai ayah sebisa mungkin kuhindari. Wajah tua ibuku terlihat iba menatapku. Aku sedikit terhibur oleh kehadiran para ponakan, anak dari adik-adikku yang memilih tinggal di desa kami.
Ritual “Pokaewa Adhara” sudah hampir dilupakan. Orang tidak menyelenggarakannya tiap tahun seperti dulu. Hanya diselenggarakan dalam memperingati ulang tahun kabupaten. Wasit tidak lagi berpengaruh dalam tatanan masyarakat desa. Bahkan yang menjadi wasit bukan lagi orang berdarah biru, melainkan pegawai kelurahan yang punya waktu senggang dan berani menghadapi kuda.
Meski begitu, tetap saja peristiwa “ayah ke langit” membekas dalam ingatanku. Saat sedang asyik-asyiknya menonton kuda berkelahi dan di tengah teriakan riuh rendah penonton, ketika tengah mem-flashback ingatanku, seorang tua yang sudah bungkuk menghampiriku. “Anak Manu Adhara?” katanya menyapa.
Aku lumayan kaget. Jarang yang menyapa aku dengan menyebutkan gelar ayahku. Dia kira-kira seumuran ayahku kalau beliau masih hidup.
“Iya,” kataku. “Bapak ada perlu?”
“Kata orang, kamu pulang kampung? Sudah lama aku mencarimu. Namun, anak sulung Manu Adhara pergi begitu lama dan jauh.”
Aku mencoba mengingat-ingat siapakah orang tua ini? Namun upayaku sia-sia.
“Aku La Tuma, saudara jauh ayahmu.”
Deggg.... pengakuannya barusan menghantam kesadaranku. Meskipun dia tidak ada kaitannya dengan kematian ayahku, namanya seperti menjadi rahasia umum. Dia adalah tersangka diam-diam yang dihakimi sebagai orang yang mencederai ayahku dengan ilmu magisnya dalam peristiwa “ayah ke langit”.
“Ayahmu meninggal dengan bibir membiru. Aku ada di sampingnya ketika beliau jatuh di tengah-tengah perkelahian kuda dulu itu,” katanya sendu.
“Saya hanya mau meluruskan cerita. Saya tidak punya kesempatan selama ini. Semua orang menghakimi diam-diam, walau tidak diucapkan. Kamu adalah ponakan saya, walaupun sudah jauh,” sambungnya. “Kalau ayahmu masih hidup, dia sendiri yang akan meluruskan ceritanya.”
Aku menatap orang tua itu. Tidak ada kesan jahat dalam matanya. Mungkinkah dia juga menderita atas apa yang terjadi dan bukan aku seorang yang selalu dihantui oleh “ayah ke langit”? Mengapa tidak ada yang mau bercerita bahwa ayah meninggal karena jatuh dengan bibir membiru?
“Saya tidak minta kau percaya,” ujarnya. “Saya cuma menceritakan kebenarannya,” katanya lagi.
Ayah, ayah, ternyata kepergianmu ke langit menyisakan perih di hati banyak orang. Bukan cuma aku, namun ada seorang laki-laki yang dihakimi secara psikologis oleh masyarakat desa tanpa pernah bisa membela diri dan menyimpan kepedihannya bertahun-tahun.**
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo