Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Buku ini memberikan bukti-bukti bahwa PRRI Permesta bukan separatis. Yang berbahaya: konflik daerah pusat, dan politisi bersenjata. PRRI-PERMESTA: STRATEGI MEMBANGUN INDONESIA TANPA KOMUNIS Pengarang: Dr. R.Z. Leirissa Penerbit: PT Pustaka Utama Grafiti, 1991, 328 halaman ADA dua hal penting dalam buku Dr. Leirissa ini yang ingin saya bahas, yakni peristiwa Cikini dan pemberontakan bersenjata. Di samping, tentu saja, masih banyak informasi yang lebih kaya tentang PRRI/Permesta itu sendiri. Presiden Sukarno pada waktu itu relatif masih muda. Anak-anaknya baru belasan tahun, belajar di sekolah elite Cikini. Sukarno, seperti seorang ayah yang baik, menghadiri pesta sekolah anak-anaknya. Lalu terjadi usaha pembunuhan yang ceroboh dan keji itu. Granat-granat dilemparkan. Sukarno sendiri luput dari maut. Namun, anak-anak golongan elite Menteng pun berjatuhan sebagai korban. Cikini dijadikan casus belli. Kejadian ini menjadi pangkal ketegangan antara pusat dan dewan-dewan atau pimpinan militer daerah yang bergolak. Seperti ditulis Leirissa, faktanya tak seperti yang selama ini pernah dituduhkan. Kolonel Zulkifli Lubis, misalnya, baru pada taraf dimintai konsultasi sebelum granat meledak. Secara periferi, mungkin ia bisa dianggap terlibat. Tapi secara hukum dan sejarah, ia bukan dalang utama. Pembenaran kisah Dr. Leirissa mengenai peran Z. Lubis dan kawan-kawan dalam peristiwa Cikini adalah bahwa mereka tak pernah diajukan ke pengadilan. Karena, kalau Z. Lubis -- juga bagian dari elite Menteng dan elite lain seperti kebanyakan tokoh PRRI/Permesta -- memang terlibat, tentunya ada arus keras yang mendesak mereka diseret ke pengadilan. Paling tidak ada dendam yang terpendam. Peristiwa Cikini, dalam kisah Dr. Leirissa, terjadi karena ketidaksabaran oknum-oknum asrama mahasiswa, yang mau melakukan usaha pembunuhan atas Presiden Sukarno. Mereka tak mau menunggu lebih lama instruksi-instruksi dari atasan. Alasannya sangat klise, kurir terlambat karena jalan macet dan ban kempes. Dengan demikian, banyak pertanyaan muncul. Sejauh mana keterlibatan tokoh atau partai dalam peristiwa Cikini itu. Siapa dalang, siapa terlibat, adakah yang membakar, apakah sekadar ada pihak yang sok jago, dan lain-lain. Sayang, Leirissa agak datar dan terlalu melihat pihak tokoh-tokoh Dewan, Permesta, dan tokoh militer di sekitarnya seperti Simbolon atau Lubis. Pemerintah pusat, Juanda, dan KSAD -- pada waktu itu Jenderal A.H. Nasution -- kurang diperhatikan. Kedudukan mereka ini akhirnya dirongrong dan ditentang oleh PRRI/Permesta. Dengan singkat, para pakar PRRI/Permesta adalah politisi yang bersenjata. Di mana pun, bila politisi bersenjata -- apa itu di Libanon, kini Yugoslavia, atau di Indonesia ketika itu -- akan berbahaya dan menjerumuskan negara terlibat perang saudara. Bahaya bagi Indonesia sebenarnya bukan konsep otonomi daerah, bukan federalisme. Penyakitnya, seperti negara Asia lainnya, yakni warlordism. Para warlord atau panglima perang ini adalah politisi bersenjata. Pemerintah pusat, sejak 1945, menjadi lemah karena menghadapi politisi bersenjata. Mereka ini pula yang menyalurkan sebagian keuangan dan penghasilan daerah ke penguasa militer. Pemerintah pusat menjadi lemah. Adanya dewan-dewan bukan masalah pada saat itu. Ini sudah menjadi penyakit lama. Keadaannya menjadi lebih serius setelah dewan-dewan itu menjadi pressure group (oposisi). Politisi bersenjata di mana pun bisa melibatkan negara dalam perang saudara. Bencana yang lebih besar lagi dari warlordism ketika itu ialah tindakan pemerintah pusat dan KSAD menindas politisi bersenjata itu. Namun, harus diakui bahwa gerakan dewan-dewan dan Permesta didukung oleh masyarakat di daerahnya. Daerah punya banyak keluhan terhadap pusat dan menginginkan otonomi lebih luas. Para dewan dan Permesta menangkap keinginan itu dan mencantumkannya dalam program politiknya. Dalam sejarah jangka panjang, kita menilai bahwa zaman Sukarno dapat mengatasi tantangan para dewan dan Permesta. Pusat bisa menjamin keutuhan Indonesia. Bahkan kemudian Indonesia mampu merebut Irian Barat. Ini baru mungkin tercapai setelah masalah PRRI/Permesta terselesaikan. Demikian juga zaman Orde Baru. Oposisi militer seperti dewan-dewan itu tak ada lagi. Menurut saya, Leirissa telah menampilkan masalah pusat-daerah, warlordism, dan politisi bersenjata. Itu semua akan melengkapi keutuhan Indonesia, terutama dalam sistem pajak yang legal dan efisien. Artinya, ada pembagian pusat-daerah tanpa harus semuanya dis- etor ke pusat. Seperti disebutkan di atas, buku Leirissa ini menampilkan jauh lebih banyak dari sekadar dua hal di atas. Ia menganalisanya dari gagalnya munas dan ketidakpuasan daerah. Selain itu, subjudul "Membangun Indonesia tanpa Komunis", menurut saya, agak tendensius. Sampai di mana munas itu gagal harus dijawab. Ketidakpuasan daerah, seperti kedudukan daerah terhadap pusat, atau ada tidaknya perbaikan hubungan keduanya, itu sebenarnya bukan masalah buku Leirissa. Apakah segala sesuatu itu diperbolehkan demi suatu Indonesia tanpa komunis? Apa ini bukan suatu reinterpretasi masa kini bagi keadaan pada waktu itu? Bagaimanapun, Leirissa memberikan garis tegas dan melihat PRRI/Permesta dari sudut yang kadang kala kita harus melakukannya, yakni untuk menyegarkan wawasan kita sendiri. Onghokham
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo