Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teroka

Potensi Besar, Promosi Kurang

20 Juni 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Globalisasi melahirkan keseragaman di berbagai sektor kehidupan, termasuk citarasa dalam memilih busana. Tapi, mengapa kini banyak penikmat mode mulai menanggalkan baju-baju "seragam" yang dikeluarkan oleh rumah mode di Milan, Paris, atau New York?

"Orang kini lebih senang tampil unik dan berbeda," kata Carol Hanlon dari Textile Clothing and Footwear Resource Centre of Western Australia Inc. (TCFWA), pekan lalu di Bali. Menurut dia, banyak dari mereka beralih pada para perancang independen yang menawarkan sesuatu yang khas serta tidak diproduksi secara massal. "Pasar untuk para perancang independen kini sudah terbentuk," ujarnya menambahkan.

Jika apa yang disinyalir oleh Carol Hanlon benar, agaknya karya para perancang muda Indonesia—yang tergolong unik dan berkarakter, sebagaimana yang ditampilkan dalam BFW VI dua pekan lalu—memiliki peluang besar untuk bisa masuk ke pasar itu. Ketimbang karya perancang Hong Kong, yang amat standar.

Meski dari sisi kreativitas bisa diandalkan, sayangnya para perancang Indonesia sering kali tampak kedodoran dalam menangani proses produksinya. Pengalaman Ali Charisma barangkali bisa menjadi contoh. "Banyak baju saya yang, setelah dikirim, ditolak dan dikembalikan karena rusak atau dianggap tidak sesuai dengan pesanan," tuturnya membagi pengalaman.

Menurut Ali, kemungkinan hal itu dikarenakan sebagian besar rumah mode Indonesia masih berupa industri rumahan yang tak memiliki standar kualitas yang ajek. Berbeda dengan rumah produksi para perancang dari negara lain. Menurut Daria Razumilkhina, desainer Rusia berhasil mengekspor bajunya ke Jepang dan sejumlah negara Eropa. "Dalam sistem produksi, sebenarnya di Rusia juga sama. Baju saya dikerjakan di rumah oleh ibu rumah tangga," ujarnya. Hanya, memang dalam hal kontrol kualitas, menurut Daria, mereka benar-benar sangat memberi perhatian yang lebih.

Selain lemahnya kontrol terhadap kualitas karya, masalah yang tak kalah serius adalah miskinnya promosi. Sejauh ini Indonesia hanya memiliki Bali Fashion Week sebagai satu-satunya acara mode yang benar-benar menghadirkan buyers (peretail) dari luar negeri. Padahal kontinuitas dan frekuensi acara-acara semacam itu, selain menjadi promosi dunia mode Indonesia di luar negeri, sekaligus bisa menumbuhkan kepercayaan bagi calon buyers.

Kini, Bali Fashion Week pun agaknya mulai meredup dibandingkan dengan Bangkok Fashion Week dan India Fashion Week, yang sebenarnya secara kualitas masih berada setingkat di bawah Indonesia. Sungguh sayang jika potensi para perancang independen Indonesia tersia-sia hanya karena masalah teknis. Lebih sayang lagi jika kesempatan emas seperti ini keburu diserobot negara-negara lain.

"Bangkok Fashion Week bisa menghadirkan seribu desainer karena didukung penuh oleh Ratu Thailand dan pariwisata setempat," kata Mardiana Ika, penggagas Bali Fa-shion Week. Tentu saja berbeda dengan yang dialaminya di sini. "Acara ini, saya sepeser pun tidak mendapat dukungan dana dari pemerintah. Saya harus mengeluarkan uang dari kantong saya sendiri," katanya, tampak nelangsa.

QT

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus