Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teroka

Potret diri wanita mandiri

Pengarang: hanna rambe jakarta: sinar harapan, 1983 resensi oleh: julia i. suryakusuma. (bk)

31 Maret 1984 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sujatin Kartowijono, MENCARI MAKNA HIDUPKU Dikisahkan kembali oleh Hanna Rambe Penerbit: Sinar Harapan, 1983, 235 halaman WANITA yang bernama Sujatin itu semasa hidupnya lebih dikenal sebagai Ny. Kartowijono. Nama ini hampir identik dengan kegiatan organisasi wanita di tanah air, khususnya Kowani. Namun, buku yang sifatnya setengah biografi setengah kisah perjalanan ini tidak secara tajam menampilkannya sebagai aktivis pergerakan wanita. Uraian tentang pribadi dan pikiran-pikirannya dibiarkan membaur, menyatu tanpa tekanan hingga tidak mengesankan. Buku dimulai dengan sketsa masa kanak yang cukup terperinci terutama yang berkaitan dengan pengaruh orangtuanya. Ayah Sujatin, salah seorang pendiri Boedi Oetomo, tak membedakan pendidikan anak perempuan atau laki-laki. Kebiasaan menulis dan mengutarakan pikiran yang dimiliki wanita ini berkembang juga karena pengaruh ayahnya. Oleh sang ayah, yang menjabat pengurus VSTP (organisasi perkeretaapian), ia sering disuruh menulis usul-usul yang akan disampaikan kepada pemerintah kolonial Belanda, kebiasaan yang kelak mempunyai andil dalam membentuk semangat berjuangnya. Sebagai pengagum Kartini, ia merasakan suatu identifikasi dengan putri yang bercita-cita tinggi itu sepanjang hidupnya, Sujatin jelas bersikap antifeodal. Ia tidak mau menghatur sembah ketika menerima hadiah dari Sri Sultan Hamengkubuwono VIII untuk sebuah pementasan tentang Kartini (halaman 28-29). Ia selalu menggunakan bahasa Indonesia sebagai reaksi terhadap bahasa Jawa yang hirarkis (halaman 37). Dua kali Sujatin putus hubungan dengan pacar-pacarnya - satu kali malah sudah bertunangan - karena mereka merasa terlalu sering dikecewakan aktivis wanita ini yang sibuk berorganisasi. Ia - melawan kehendak orangtuanya - kemudian menikah dengan pemuda Kartowijono yang bukan priayi dan yang ketika itu tak punya pekerjaan (halaman 44-45). Tetapi perkembangan pribadi Sujatin tidak hanya dipengaruhi lingkungan keluarga. Menurut pengakuannya, tahun-tahun di MULO menentukan kariernya sampai tua. Tampaknya, ia menghargai betul pengetahuan dan cara berpikir yang tertib yang diperolehnya dari orang Belanda itu (halaman 32). Sujatin mulai berorganisasi pada usia muda. Pada umur 15 tahun, i sudah menjadi anggota pengurus Jong Java, umur 19 Ketua "Poetri Indonesia" lalu pelaksana Kongres Perempuan Indonesia di Yogyakarta dan umur 22 duduk dalam pimpinan Kongres Perempuan Indonesia di Jakarta. Dan semangat berorganisasi ini tak pernah pudar hingga tua. Sujatir Kartowijono juga tergambar sebagai orang yang cukup nonkonformistis - ia tak terlalu terikat kaidah-kaidah "kewanitaan" yang artifisial yang bahkan masih berlaku hingga sekarang. Buktinya, ia sering keluar masuk kereta api lewat jendela (halaman 59), menyusuri Sungai Barito dengan perahu bersama teman seperjalanan yang hampir semua pria dan hanya buritan bisa digunakan sebagai WC (halaman 72). Atau naik sepeda ban mati selagi hamil untuk menghadiri rapat (halaman 221). Pembaca dibawa meloncat-loncat melalui berbagai peristiwa dalam hidupnya yang sekalipun memberikan indikasi tentang adanya sifat-sifat kepemimpinan, idealisme, nasionalisme, keberanian, sifat independen, serta semangat tinggi - tidak semua dituangkan ke dalam suatu "kerangka" yang jelas. Penulis tampaknya tak berupaya melengkapi biografi ini, baik dengan tulisan-tulisan Sujatin sendiri maupun pengetahuannya tentang Perwari, organisasi-organisasi wanita di Indonesia, dan sejarah Indonesia modern. Judul-judul bab dalam buku ini saja (yang kesemuanya nama tempat) menunjukkan bahwa Hanna Rambe melakukan pendekatan secara spasial dan temporal saja, tidak konseptual. Sebagai orang yang berprinsip, bersemangat, dan berjuang, tentu Sujatin mengalami banyak konflik. Akan tetapi, hal ini tidak terungkapkan sehingga pengisahan riwayatnya menjadi datar, tidak dinamis, dan tidak menggugah. Usaha-usaha Sujatin dalam kegiatan membina Perwari sebagai organisasi dan penggambaran interaksinya dengan perjuangan-perjuangan lain pada amannya, dengan konteks sosialnya, terasa kurang kental. Di bagian "Epilog" (?) secara sangat singkat masih ada beberapa butir pemikiran Sujatin Kartowijono. Ia berpendapat bahwa prasyarat seorang wanita menentukan nasibnya adalah pemilikan kekuatan ekonomi. Dan ini akan didapat bila wanita bekerja. Ia juga resah karena teramat sedikitnya kader dalam pergerakan wanita (halaman 232). Memang, ketika masih muda dan aktif di organisasi, ia sendiri pun kurang memikirkan masalah kaderisasi karena terlalu sibuk dengan kegiatan-kegiatannya sendiri. Oleh karena itu, ketika di hari tua ia menyadari kelalaiannya Itu, ia justru mendorong tampilnya orang-orang muda. Terpilihnya Chairunnisa Jafizham, S.H., yang belum 30 tahun itu, sebagai Ketua I Perwari, adalah atas anjurannya. Ia menyatakan harapannya agar wanita dihargai sebagai manusia karena kecakapan serta keterampilannya (halaman 233). Memang di dalam tulisannya tentang "Perkembangan Pergerakan Wanita di Indonesia" (Yayasan Idayu, 1977: 24-26), ia pernah kecewa karena sering wanita mempunyai kedudukan eksekutif bukanlah karena kemampuannya sendiri, tetapi karena kedudukan suami. Ia merasa perkumpulan istri tak dapat memperjuangkan kedudukan wanita karena untuk itu dibutuhkan bukan hanya penetahuan dan kemampuan, tetapi juga kesadaran menjadi anggota organisasi. Seperti halnya banyak biografi yang ditulis di Indonesia, acuan buku ini masih pada potret seorang tokoh yang diromantisir, dan bukan eksplorasi dari konsep-konsep serta pemikiran yang melandasi perjuangannya. Padahal, buku semacam ini diharapkan menjadi semacam pedoman bagi generasi muda. Meski ini bukan buku Hanna Rambe yang pertama, toh gaya penulisan pengarang tidak membantu. Terasa tidak mengalir, penuh ungkapan-ungkapan hampa, kadang agak cengeng. Belum lagi banyak salah cetak. Penggunaan bahasa Inggris, yang betul-betul tidak perlu, sama sekali tak menambah daya pikat buku ini. Mencari Makna Hidupku sebenarnya memiliki potensi untuk mengisi kekosongan wawasan tentang pergerakan wanita serta peran kaum hawa pada umumnya. Sayang, kesmpatan ini tak digunakan secara maksimal. Buku ini akhirnya hanya menjadi kisah perjalanan yang berkepanjangan, tanpa memancarkan inti perjuangan emansipasi wanita Indonesia yang mestinya tercermin lewat pribadi Sujatin Kartowijono dan organisasi-organisasi wanita yang dipimpinnya. Julia I. Suryakusuma

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus