Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Budi Saputra
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tiga Narasi Rusa
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bahwa jauh di kedalaman Muting, aku berjibaku sebagai rusa timor
yang tergusur. Berlari mengukur panjangnya musim bersama orang-orang
Mahuze, Kaize, Ndiken, atau Zohe. Ketika hamparan imperium sawit
memamah hutan sagu dan sungai-sungai, maka tanah sembilan marga
bagai kehilangan arah seperti kebun-kebun yang ditutup tebalnya
awan kelabu tanpa tempias matahari.
Di sana Gerardus Gebze bersenandung tentang kepiluan hutan tropis.
Bocah-bocah menatap nanap tarian senja, dan membayangkan negeri
yang dulunya dipenuhi tungkai-tungkai rusa, pombo, dan kasuari.
Lalu di Marafenfen, akulah rusa yang berlari di padang ilalang yang
dinaungi Setlanin dan Mamasel. Meski sengketa panjang mengguguh
dada dan paru-paruku, tapi kebahagiaan tetaplah pada alang-alang
yang dibakar orang-orang Gaelogoy.
Api dan asap perburuan, bagai riuh nyanyian musim dalam sublimnya
tordauk pada tiap jengkal tahun. Meski satwa-satwa telah berkurang,
tapi darah dan putih tulang tetap dengan tulus kupersembahkan untuk
orang-orang yang menjunjung tinggi sasi hidup.
Mari dengarkan kembali kokok ayam yang magis itu. Para perempuan
menyiapkan bekal perburuan, dan ikut bermalam di bawah langit
kemarau yang benderang.
Tapi jauh di celah Sumatera, hanyalah aku yang pernah berjibaku pada
suatu hari yang ganjil. Sebab rintihanku bagai suara lonceng melengking
keras dari aliran sungai yang berwarna keruh itu.
Di Pancung Soal, hanyalah tubuhku yang diamuk parang di depan para
peburu. Sekonyong-konyong, mataku ingin membukakan lembaran sasi.
Harusnya ada seekor kuda tunggangan yang melintas sebagai
muslihat pengalih perhatian.
Seekor hewan yang biasa dikenali, dan dibawa menerobos jalanan pasar
sebagai kuda bendi yang kerap dihias dalam sebuah perhelatan penuh arti.
Di mana orang-orang yang melintas di bawah marawa
dan carano yang dibawa itu, tak lazim mengkonsumsi
daging rusa dalam akar tradisi.
2022
Narasi Bambu Talang
Sebab awal mula seorang Syekh menjadi juru tunjuk
di Ulakan dan berpantang daging yang disuguhkan. Tebanglah
aku. Tebanglah aku pada hari besar maulid atau pada hari
perayaan akar tradisi.
Lumurilah ronggaku dengan beras ketan, garam, buah kemiri
dan adonan lain penggugah selera di atas sekam bara api.
Dalam rezeki sedang naik dan hubungan kekerabatan
sedang elok, siapakah perempuan yang sudi berdiang bersama
asap mengepul dan aroma berpendar di udara?
Rambut jangan putus, tepung jangan terserak. Tangan-tangan
saling takzim bagai benang dan manik-manik
tersusun rapi.
Ke manakah hantaran dibawa untuk menjunjung marwah
dari tiang marawa yang berdiri?
Bawalah aku, bawalah aku bersama hantaran nasi, gulai ayam
dan kue gadang menuju jenjang dan halaman, menuju karib
kerabat, handai tolan atau menuju seorang
mualim di surau itu.
Sungguh dari sekam bara api, akan senantiasa bergelora
ruas-ruas bambu yang dibelah bersama makan bajamba,
akan senantiasa bergelora segala kelakar tentang hari baik
yang dipapah butiran zikir dan doa.
2022
Narasi Getah Gambir
Ke kampahan di balik bukit itu, siapakah yang menjadi manusia
tropis dengan jubah malam-malam yang dingin berkawan
suara hewan pedalaman? Bahwa aku tumbuh menghimpun segala
perangai cuaca. Sebagai getah magis dari tetes keringat
orang-orang Mungka. Sebagai penerus dari kedigdayaan masa
silam di sepanjang kota-kota dagang rempah Sumatera.
Orang-orang menakar dan menghirup aroma gambir selain aroma
kopi, gaharu dan kayu manis. Perkenalkanlah, saripati hidup yang
dicetak seperti biskuit dan koin-koin besar setelah mangampo,
dipagut dan berayun-rayun dalam helaian mata uang.
Menuju negeri seberang, bahwa aku dipercaya mujarab untuk
pencelupan pembuatan batik, obat sakit perut dan sakit gigi,
bahkan orang-orang begitu khidmat mengunyah pahit merah
sirih dari komposisi yang padu antara gambir, sadah, pinang
dan daun sirih.
Seorang perempuan bersunting berjalan begitu elok membawa
carano dalam hiruk perhelatan dan orang-orang
berbalas pantun.
Jika sirih sudah dimakan, yang manis melekat di ujung lidah,
yang pahit lolos ke kerongkongan.
Ke kampahan di balik bukit itu, siapakah yang menjadi manusia
tropis dengan tungku penjerangan terus birahi mendidihkan
minyak, kopi, dan bertandan kerinduan di jenjang dan halaman?
Dalam amin doa yang mengambur ke udara bagai balon udara,
terselip harapan untuk jernih senyum dan harga yang kembang
kempis seperti paru-paru di pasaran.
2022
Budi Saputra lahir di Padang, 20 April 1990. Buku puisinya berjudul Dalam Timbunan Matahari (2016) dan Kesaksian Minyak Jelantah (2020). Selain menulis puisi, ia menulis cerpen, esai, feature, dan resensi buku. Pada 2012, ia menjadi peserta Ubud Writers and Readers Festival.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo