Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teroka

Puisi Budi Saputra

Budi Saputra adalah penulis kelahiran Padang. Ia kerap memenangi berbagai lomba menulis puisi dan cerpen. 

8 Mei 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Budi Saputra

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tiga Narasi Rusa

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bahwa jauh di kedalaman Muting, aku berjibaku sebagai rusa timor

yang tergusur. Berlari mengukur panjangnya musim bersama orang-orang
Mahuze, Kaize, Ndiken, atau Zohe. Ketika hamparan imperium sawit

memamah hutan sagu dan sungai-sungai, maka tanah sembilan marga

bagai kehilangan arah seperti kebun-kebun yang ditutup tebalnya 

awan kelabu tanpa tempias matahari.

 

Di sana Gerardus Gebze bersenandung tentang kepiluan hutan tropis.

Bocah-bocah menatap nanap tarian senja, dan membayangkan negeri

yang dulunya dipenuhi tungkai-tungkai rusa, pombo, dan kasuari.  

 

Lalu di Marafenfen, akulah rusa yang berlari di padang ilalang yang

dinaungi Setlanin dan Mamasel. Meski sengketa panjang mengguguh

dada dan paru-paruku, tapi kebahagiaan tetaplah pada alang-alang

yang dibakar orang-orang Gaelogoy.

 

Api dan asap perburuan, bagai riuh nyanyian musim dalam sublimnya

tordauk pada tiap jengkal tahun. Meski satwa-satwa telah berkurang,

tapi darah dan putih tulang tetap dengan tulus kupersembahkan untuk

orang-orang yang menjunjung tinggi sasi hidup.

 

Mari dengarkan kembali kokok ayam yang magis itu. Para perempuan

menyiapkan bekal perburuan, dan ikut bermalam di bawah langit

kemarau yang benderang.  

 

Tapi jauh di celah Sumatera, hanyalah aku yang pernah berjibaku pada

suatu hari yang ganjil. Sebab rintihanku bagai suara lonceng melengking

keras dari aliran sungai yang berwarna keruh itu.

Di Pancung Soal, hanyalah tubuhku yang diamuk parang di depan para

peburu. Sekonyong-konyong, mataku ingin membukakan lembaran sasi.

Harusnya ada seekor kuda tunggangan yang melintas sebagai

muslihat pengalih perhatian.

 

Seekor hewan yang biasa dikenali, dan dibawa menerobos jalanan pasar 

sebagai kuda bendi yang kerap dihias dalam sebuah perhelatan penuh arti.

Di mana orang-orang yang melintas di bawah marawa

dan carano yang dibawa itu, tak lazim mengkonsumsi

daging rusa dalam akar tradisi.

 

2022

 

 

Narasi Bambu Talang

 

Sebab awal mula seorang Syekh menjadi juru tunjuk

di Ulakan dan berpantang daging yang disuguhkan. Tebanglah

aku. Tebanglah aku pada hari besar maulid atau pada hari

perayaan akar tradisi.

 

Lumurilah ronggaku dengan beras ketan, garam, buah kemiri

dan adonan lain penggugah selera di atas sekam bara api.

 

Dalam rezeki sedang naik dan hubungan kekerabatan

sedang elok, siapakah perempuan yang sudi berdiang bersama

asap mengepul dan aroma berpendar di udara?

 

Rambut jangan putus, tepung jangan terserak. Tangan-tangan

saling takzim bagai benang dan manik-manik

tersusun rapi.

 

Ke manakah hantaran dibawa untuk menjunjung marwah

dari tiang marawa yang berdiri? 

 

Bawalah aku, bawalah aku bersama hantaran nasi, gulai ayam

dan kue gadang menuju jenjang dan halaman, menuju karib

kerabat, handai tolan atau menuju seorang

mualim di surau itu.

 

Sungguh dari sekam bara api, akan senantiasa bergelora

ruas-ruas bambu yang dibelah bersama makan bajamba,

akan senantiasa bergelora segala kelakar tentang hari baik

yang dipapah butiran zikir dan doa.

 

2022

 

Narasi Getah Gambir

 

Ke kampahan di balik bukit itu, siapakah yang menjadi manusia

tropis dengan jubah malam-malam yang dingin berkawan

suara hewan pedalaman? Bahwa aku tumbuh menghimpun segala

perangai cuaca. Sebagai getah magis dari tetes keringat

orang-orang Mungka. Sebagai penerus dari kedigdayaan masa

silam di sepanjang kota-kota dagang rempah Sumatera.

 

Orang-orang menakar dan menghirup aroma gambir selain aroma

kopi, gaharu dan kayu manis. Perkenalkanlah, saripati hidup yang

dicetak seperti biskuit dan koin-koin besar setelah mangampo,

dipagut dan berayun-rayun dalam helaian mata uang.

 

Menuju negeri seberang, bahwa aku dipercaya mujarab untuk

pencelupan pembuatan batik, obat sakit perut dan sakit gigi,

bahkan orang-orang begitu khidmat mengunyah pahit merah

sirih dari komposisi yang padu antara gambir, sadah, pinang

dan daun sirih.

 

Seorang perempuan bersunting berjalan begitu elok membawa

carano dalam hiruk perhelatan dan orang-orang

berbalas pantun.

 

Jika sirih sudah dimakan, yang manis melekat di ujung lidah,

yang pahit lolos ke kerongkongan.

 

Ke kampahan di balik bukit itu, siapakah yang menjadi manusia

tropis dengan tungku penjerangan terus birahi mendidihkan

minyak, kopi, dan bertandan kerinduan di jenjang dan halaman?

 

Dalam amin doa yang mengambur ke udara bagai balon udara,

terselip harapan untuk jernih senyum dan harga yang kembang

kempis seperti paru-paru di pasaran.

 

2022

 

 

 

 

Budi Saputra lahir di Padang, 20 April 1990. Buku puisinya berjudul Dalam Timbunan Matahari (2016) dan Kesaksian Minyak Jelantah (2020). Selain menulis puisi, ia menulis cerpen, esai, feature, dan resensi buku. Pada 2012, ia menjadi peserta Ubud Writers and Readers Festival.

 

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus