Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ilham Rabbani
Sejumlah Alasan Mengapa Orang-orang Sebaiknya Berkunjung ke Asgard dalam Rentang Waktu yang Cukup Panjang
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
1. Bola Mata Odin
Pertama-tama,
kau harus singgah ke Nidavellir—
lalu mintalah mereka yang di sana
membuatkan bola mata
paling persis dengan aslinya.
Korbankan seluruh tubuh,
dan kedewasaan, dan ketangkasan,
dan seluruh serat pada otot
yang kau miliki.
Lantas naikilah
Bifrost dengan hati-hati, perlahan
merangkak bagai bayi
(yatim-piatu)
yang sebenarnya.
Pada perjumpaan dengan Odin
persembahkan bola mata
yang terselip di cawat,
di antara
hangat-kelembutan
kulit pantat.
2. Menyusu pada Freya
Kau tahu kebijaksanaan
tertampung pada jiwa
dan raga dari ayah
para dewa-dewa:
Odin yang mulia.
Ia menjadikanmu
saudara terakhir bagi Bragi,
anak termuda dari Freya:
Ibu yang mendoakan
nihil kesakitan dalam tarik-
lepas napasmu—
bahkan nama mistletoe
yang pernah ia luputkan
sekalipun.
Kau menghitung
satu demi satu
sumpah yang mengiringi
sebutan nama
benda-benda paling berbahaya
dan tak berbahaya
di semesta.
3. Berguru pada Loki
Seluruhnya
tak berarti
tanpa Loki.
Tiada sangsi—
sebab siapa pun, menari
dan lesap
ke dalam
kemabukan.
Padanya
engkau dapat bertanya:
“Bagaimanakah meneguk air
di dingin Sumur Mimir?”
Bersamanya:
kau berpesta
memakan tiap kijang
dan paha domba-domba
yang lahir
di batang Yggdrasil.
Maka dewa-dewa mengecapmu
sebagai semi-
dewa durhaka.
4. Mencuri Kuda Sleipnir
Kuda-kuda sebaiknya
berkaki delapan sebagaimana
Sleipnir milik ayahmu:
Odin yang mulia.
Dalam laju di punggungnya
bahkan lesat
tongkat Gungnir
takkan menggapaimu
dalam pelarian itu.
Pulanglah
setelahnya—
air Sumur Mimir
dalam tubuhmu
bakal mengalir
hingga
ke nasib ternadir.
Yogya, 2023
Ketika Kau Melempar Kerikil ke Pantai, dan Menyadari Tubuhmu Hanyalah Sepasang Kayu yang (Pernah) Terapung di Situ
: Ask
Kau memandang
pada lengkung tulang
tempat alis sepasang
dari kekasihmu
tumbuh—kau
menebak-nebak
sebanyak apakah
kesengsaraan manusia
(bakal)
bersarang
di sebaliknya?
Tetapi ciuman
sehangat pertemuan
ujung lidah pertama
Borr dan putri Ymir
telah menenggelamkan
sangsi dan pertanyaan
ke muara
kehampaan.
Kau menikmati
cinta seperti mandi
di sungai susu
yang dialirkan
payudara Audhumla—
sambil menyelam
di tepi laut
sulapan darah
nenek moyang
dari tiga dewa.
“Kekasihmu memanggil
engkau
untuk berenang
bersama seperti sepasang
kayu cemara tua
terapung
ke kejauhan.”
Buih-
buih letup
mengingatkanmu pada
udara tak bernama,
dasar dan kedalaman—
perantara semesta di selatan
dan utara yang bersalju.
Kau selalu menggigil
tiap teringat kata-
kata yang serumah
dengan “pergi”.
Dan kau lempari kerikil
pertama, kedua,
juga ketiga,
ke pantai yang direnangi
wanita
sejelita Embla.
Setelah
kerikil tenggelam,
kau mengingat:
penciptaan berakhir
di tepi
laut ini—
“Embla, Embla,
kita akan berenang
(kembali)
seperti kayu cemara
tua
ke kejauhan,
ke kehilangan.
Dan dewa-
dewa itu
takkan lagi mampir
ke lembar
dari mimpi terakhir—
persis sebelum kita
akhirnya jadi pendosa
yang celaka.”
Yogya, 2023
Ilham Rabbani, lahir di Lombok Tengah, 9 September 1996. Ia menulis puisi, cerpen, dan esai di berbagai media. Bukunya adalah kumpulan esai Perihal Sastra & Tangkapan Mata (2021) dan buku kajian Sastra, Kedaruratan, Pahlawan (2022). Mahasiswa Program Doktor (S-3) Ilmu-Ilmu Humaniora, Fakultas Ilmu Budaya, UGM, ini mengelola kelompok belajar sastra Jejak Imaji di Yogyakarta.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo