Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teroka

Puisi W. Priatmojo

W. Priatmojo adalah penyair kelahiran 1993. Ia aktif dalam Gerakan Menulis Buku Indonesia.

6 Februari 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • W. Priatmojo aktif dalam Gerakan Menulis Buku Indonesia.

  • Bermalam di Pasar Swalayan

  • Memesan Masa Depan di Pangkas Rambut

Bermalam di Pasar Swalayan

  1. Rak Bunga

 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Harum bunga-bunga mewarnai kaca,

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

dan kita adalah serangga.

 

Harum itu tumpah juga ke lantai

dan dinding pasar swalayan.

Menghadirkan bayangan rumah

dan membangunkan rasa lapar

kita yang purba.

 

Kita lekas

menghisap nektar hingga tandas.

 

 

  1. Rak Buah dan Sayuran

 

Mata kita adalah ruang kosong dan dingin.

Warna buah dan sayuran adalah lengan

atau selimut yang menghangatkan.

 

Kau selalu berharap hidup lama.

Aku hanya berharap masa depan

ada bagi kita.

 

Barangkali, masih ada jejak keabadian

pada apel yang mengkilat itu.

 

Kita lupa, siapa yang kemudian

telah mengatakannya.

 

  1. Gerai Roti

 

Harum gandum membuat rasa lapar kita

semakin menguat. Musik mengalun lambat,

dan langkah kita terasa berat. Kita memutuskan

bermalam di sini. Aku menyiapkan nyala api,

menemani kita bercerita hingga pagi.

 

Kita mesti membangun kemah!

 

Tapi kau senantiasa memimpikan,

kita adalah Remus dan Romulus.

Kau ingin membangun kota baru,

di antara rak tisu toilet dan
kapur barus.

 

  1. Rak Bumbu Masak

 

Dua jam setelahnya, api kita

masih tinggi menyala. Masih sanggup

untuk memanggang beberapa buruan.

 

Kau membidik dua. Lekas habis kita makan.

Beberapa buruan kaubawa lagi setelahnya—lalu lagi,

dan lagi, dan begitu seterusnya.

 

Api padam. Seluruh bumbu sudah

kita gunakan. Kita tercenung menyadari,

separuh pasar swalayan sudah kita habiskan.

 

Adakah di luar sana, hal yang tiada habis-habisnya?

 

  1. Rak daging dan ikan

 

Lalu aku membayangkan nelayan. Jutaan ikan

melayang di atas kepalanya.  Di bawah perahu

mereka, jutaan plastik berenang-renang.

 

Tapi kita tak akan mampu menjadi nelayan.

Kita tak akan paham kerinduan kail pada ikan.

Kita hanya paham soal lapar, dan laut

adalah meja makan.

 

  1. Rak Obat-obatan

 

Kita adalah obat yang saling menyelamatkan.

 

Aku tak pernah bisa lepas dari obatmu

yang menenggelamkanku ke dalam mimpi,

lalu kau menjelma sebagai kopi

atau cahaya hangat di pagi hari.

 

Aku mencoba menjadi obat yang

menjauhkanmu dari mimpi

dan lamunan masa depan.

 

Dan aku, setengah mati,

membuatmu ketergantungan.

 

  1. Kasir

 

Di pintu keluar, orang-orang mengambil

barang berharga dari tas dan dompetnya,

seakan di kepala mereka hanya tersisa

barang bekas yang tak pernah dipakai

sekian lama.

 

Lalu kau melihat, di dalam kepalaku,

pasar swalayan itu telah habis terbakar:

menjadi abu.

 

(2020)

 

 

Memesan Masa Depan di Pangkas Rambut

 

 

  1. Menghadap Cermin

 

Di depan cermin, aku terpejam. Seperti

saat menikmati lagu favorit yang sering

berulang-ulang kau putar. Pita kaset itu

telah putus, dan tak dapat disambung

kembali.

 

Ingatan-ingatan yang patah menyusun

dirinya lagi. Membentuk bahaya yang

tak bisa kuhindari.

 

Di depan cermin, aku terpejam. Tak sanggup

melihat apa yang ditawarkan masa depan.

 

 

  1. Gambar Model Potongan Rambut

 

Bayang-bayang memilih di mana ia akan

tumbuh. Aku menyiapkan petak tanah

subur di kepalaku.

 

  1. Gunting dan Sisir

 

Bayang-bayang menjelma

tunas yang tumbuh di kepala.

Aku menyiraminya tiap pagi saat

berangkat kerja atau malam hari

ketika tak mampu memejamkan mata.

 

Beberapa tunas mekar menjadi bunga

dan aku menamainya. Beberapa lainnya

layu bahkan sebelum sempat kuberi nama.

 

Aku memotong yang telah layu, dan merapikan

bayang-bayang di kepalaku. Beberapa tumbuh

lagi menjadi tunas, lalu mati, lalu tumbuh

sekali lagi—juga tunas yang kunamai

dengan namamu.

 

(2021)

 

W. Priatmojo lahir di Bekasi, 23 April 1993. Aktif dalam Gerakan Menulis Buku Indonesia. Ia menulis puisi dan cerpen yang dimuat di berbagai media.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus