Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Willy Ana
Memoar Nujuh Likur
Aku pulang tapi kampung sudah padam
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Matahari belum tenggelam tapi malam sudah sempurna
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tak ada perempuan-perempuan bersarung
berkeliling kampung melafalkan puja-puji bagi Rasul
Hanya ada tumpukan sayak kelapa di undakan pagar
menyala dalam kesendirian dan kehilangan merahnya
Kampung terasing bagai pulau sudah lama ditinggalkan
Ada nama-nama di batu-batu tapi tak lagi terbaca
Aku mencari datuk kembali turun mengumandangkan adzan
Pintu surau kembali terbuka menengadah ke langit
Di tanah merah aku menabur kembang yang tak pernah layu
Tapi impianmu tiang-tiang rumah tetap tegak justru makin rapuh
Orang-orang terkubur dalam layar ponsel yang
menyala sepanjang malam dengan tarian-tarian memukau
Itu bencana, katamu, memang tak ada yang mati
Tapi wajah kita sudah coreng moreng
Di Nujuh Likur tak ada lagi aroma lemang yang dibakar
dan pemuda tanggung menunggui malam bersujud dalam cahaya.
Bengkulu-Depok, April 2024
Saifa Abidillah
Pada Jalan Kampung Pasir
kami mengunjungi rumah pendongeng,
rumah yang mendidik kami bercerita
tentang kampung halaman kami sendiri:
“aku pindah rumah. ikutilah peta itu,” katanya.
setelah hingar pasar berlalu,
kami memasuki kampung pasir,
desir angin mulai membelai hibuk kepala kami.
kami tersesat di kampung sendiri,
gang-gang kampung menjadi hutan belantara—
tidak setiap peta menjadi petunjuk jalan,
ada sedikit gerutu yang tak bermutu,
kami kehilangan tujuan hidup kami.
orang-orang pesisir yang kami temui,
beberapa kali menunjuk rumah yang salah.
desir angin pantai yang landai,
dan sampah yang berserakan sepanjang pantai,
membuka mata kami;
semoga kami menemukan petunjuk jalan.
dan orang-orang entah dari mana,
berkendara hendak berlibur hari raya
di pantai lombang yang asing.
sedang kami sibuk mencari rumah kata,
rumah kami sendiri yang berdebu tempo hari
sebagai penebusan dosa cita-cita—
pada jalan kampung pasir yang berdesir,
rumah tempat kami pulang, menganyam masa lalu
dan merumuskan masa depan;
kami rayakan seluruh kegembiraan,
dengan ratusan doa ratapan
semoga dan semoga, kami hidup tidak sia-sia.
2024
Willy Ana, kelahiran Bengkulu dan tinggal di Depok. Buku puisinya, antara lain, Tabot Aku Bengkulu (2016) dan Petuah Kampung (2017). Ia mengelola Imaji Indonesia.
Saifa Abidillah, lahir di Sumenep. Kini mengajar di Fathimah International Elementary School. Buku puisinya Kuil Bawah Laut (2021).
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo