Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teroka

Puisi Willy Ana dan Saifa Abidillah

Willy Ana lahir di Bengkulu  dan Saifa Abidillah lahir di Sumenep. Puisi kedua penyair ini mewarnai berbagai media. 

28 April 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Willy Ana

Memoar Nujuh Likur


Aku pulang tapi kampung sudah padam

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Matahari belum tenggelam tapi malam sudah sempurna

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini


Tak ada perempuan-perempuan bersarung

berkeliling kampung melafalkan puja-puji bagi Rasul


Hanya ada tumpukan sayak kelapa di undakan pagar

menyala dalam kesendirian dan kehilangan merahnya 


Kampung terasing bagai pulau sudah lama ditinggalkan

Ada nama-nama di batu-batu tapi tak lagi terbaca 


Aku mencari datuk kembali turun mengumandangkan adzan

Pintu surau kembali terbuka menengadah ke langit 


Di tanah merah aku menabur kembang yang tak pernah layu

Tapi impianmu tiang-tiang rumah tetap tegak justru makin rapuh


Orang-orang terkubur dalam layar ponsel yang

menyala sepanjang malam dengan tarian-tarian memukau


Itu bencana, katamu, memang tak ada yang mati

Tapi wajah kita sudah coreng moreng


Di Nujuh Likur tak ada lagi aroma lemang yang dibakar

dan pemuda tanggung menunggui malam bersujud dalam cahaya.


Bengkulu-Depok, April 2024

Saifa Abidillah

Pada Jalan Kampung Pasir 

 

kami mengunjungi rumah pendongeng, 

rumah yang mendidik kami bercerita 

tentang kampung halaman kami sendiri:

 

“aku pindah rumah. ikutilah peta itu,” katanya.

setelah hingar pasar berlalu, 

kami memasuki kampung pasir,

desir angin mulai membelai hibuk kepala kami.

 

kami tersesat di kampung sendiri,

gang-gang kampung menjadi hutan belantara—

tidak setiap peta menjadi petunjuk jalan, 

 

ada sedikit gerutu yang tak bermutu,  

kami kehilangan tujuan hidup kami.

orang-orang pesisir yang kami temui, 

beberapa kali menunjuk rumah yang salah.  

 

desir angin pantai yang landai, 

dan sampah yang berserakan sepanjang pantai,

membuka mata kami; 

semoga kami menemukan petunjuk jalan.

 

dan orang-orang entah dari mana, 

berkendara hendak berlibur hari raya

di pantai lombang yang asing. 

 

sedang kami sibuk mencari rumah kata, 

rumah kami sendiri yang berdebu tempo hari 

sebagai penebusan dosa cita-cita—

 

pada jalan kampung pasir yang berdesir,

rumah tempat kami pulang, menganyam masa lalu 

dan merumuskan masa depan; 

 

kami rayakan seluruh kegembiraan, 

dengan ratusan doa ratapan 

semoga dan semoga, kami hidup tidak sia-sia.  

 

2024 


Willy Ana, kelahiran Bengkulu dan tinggal di Depok. Buku puisinya, antara lain, Tabot Aku Bengkulu (2016) dan Petuah Kampung (2017). Ia mengelola Imaji Indonesia.

Saifa Abidillah, lahir di Sumenep. Kini mengajar di Fathimah International Elementary School. Buku puisinya Kuil Bawah Laut (2021). 

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus