Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Dari Udara Kepada Made Loverisa
Di Kamar 205
Di Pojok Rooftop Itu
Dari Udara Kepada Made Loverisa
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
: 2018, ketika di ruang kelas
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Seorang gadis,
kelas enam sekolah dasar
selalu menganggap dirinya adalah seorang bayi.
Gadis itu,
dengan kuncir kepang satu
berbicara dalam bahasa inggris untuk bercakap dengan teman sebayanya.
Terkadang, dia berbicara dalam bahasa Indonesia
untuk bertanya tentang struktur kalimat dan peribahasa tentang "si bungkuk yang merindukan rembulan."
Dalam kuncir kepang satu,
terselip pertanyaan-pertanyaan tentang sepasang hikayat Lot dan istrinya yang meninggalkan Sodom.
"Mengapa istri dari Lot menjadi tiang garam?"
Tersimpan juga lagu-lagu lama yang mengalun di balik kacamatanya.
Matanya adalah nada-nada yang dibacakan pelan dan hangat.
Gadis kelas enam sekolah dasar itu
selalu menganggap dirinya adalah seorang bayi.
Dia kemudian mewarnai seekor gajah dengan warna kuning pada belalainya,
hijau pada gadingnya
dan merah pada perutnya.
Sehingga, gajah itu seperti rambu lalu lintas di mana setiap bocah harus menunggu ketika sedang berada dalam perutnya.
Kemudian harus berhati-hati
ketika berada dalam belalainya,
dan berjalan ketika berada di gadingnya.
Untuk melawan sekawanan singa lapar yang hendak memangsanya atau sekawanan hyena yang akan memburu anaknya.
"Bapak, apakah rantai makanan selalu tentang membunuh?"
"Mengapa hewan-hewan tidak menjadi herbivora saja?"
Aku titipkan sebuah fajar lewat udara,
kepada seorang bayi perempuan yang sedang berada di tingkat enam sekolah dasar.
Kutulis puisi ini tidak seperti Dante yang menulis cinta pada Beatrice. Kutulis puisi ini karena selalu ada nasihat dalam kuncir kepang satu di rambutmu: "kita harus memberi jeda pada waktu, untuk kembali bertemu"
(2018)
Di Kamar 205
:bersama perempuan 40 tahun
Di luar jendela, pada lanskap yang samar,
waktu membeku. Kota berlepasan, memisahkan diri, dari blues dan gas.
Kota ini disusun dari biografi batuk dan bersin. Dari sentuhan kecil, bersama kain-kain dan pusat grosir.
Seorang perempuan kepala empat,
menahan berat tubuhnya untuk tetap bisa berdiri. Diantara masker-masker dan kisah cinta digital.
Alun membawanya meninggalkan Ngawi, menuju Jakarta yang penuh warna-warni. Sebuah kota, yang menghapus masa mudamu dari kesangsian lelaki.
Dia datang dari cinta tak bertangkai. Kesedihan memeluknya, bersama angin dan sengketa rumah tangga. "Aku hidup tanpa lelaki! Aku hapus kata cinta, untuk selamanya".
Saat melongok jendela, gerbong-gerbong kereta dilangsir kembali. Kita berangkat dari peron yang sama, menuju stasiun yang sama, tapi entah bertemu siapa.
--Kita mulai sandiwara ini, entah sampai episode berapa--
Dia berbaring, menatap langit-langit. Aku padamkan cahaya di sekeliling. Agar kita tidak saling menatap, tidak saling melumat. Tetapi, saling melupakan kisah cinta yang gila.
Lima belas menit kemudian, ponsel berdering. Perempuan itu bangkit, bergegas ke arah lain. Meninggalkan diriku, yang masih berbaring, menatap langit-langit.
(2020)
Di Pojok Rooftop Itu
Akhir pekan, di pesta pernikahan teman,
Ketika berdandan dengan baju Nepal,
Sepenggal dialog berbunyi: "adakah kau dan aku, saling memagut dan bersahutan"
Deru kereta membelah Cikini, dalam sore yang menganga. Orang-orang bicara dalam bahasa yang semrawut dan kaki-kaki menari di lantai--setelah sepenggal lagu itu.
Di atas rooftop, hari baik datang buat sebagian orang. Antrean tamu undangan, seperti antrean di depan gedung pertunjukan. Ketukan kecil di kamar mandi, orang-orang yang belum pernah kulihat. Aku berdiri, di belakangmu. Melihat garis matamu lewat kacamata orang lain.
Aku memotret wajahmu seperti memotret rumah masa depan. Kebaikan orang-orang membuat kita hidup dalam drama satu babak.
Tentang sebuah sinema, seperti surga. Saat Alfredo menutup matanya, setelah api di malam itu. Lalu kita melihat Toto, dalam masa kanak-kanak, dalam potongan seluloid yang berserakan di ruang pemutar.
Kita bisa bahagia, dalam hitam dan putih, dalam 40 menit setelah menyaksikan pertunjukan drama--tentang sebuah kota, yang kelak mengusir kita.
Seharusnya, kau dan aku, berdiri di depan pengeras suara. Agar mendengar yang tidak mendengar. Agar aku bisa mendengar embus napasmu, yang barangkali memburu. Agar kau bisa mendengar degup jantungku, yang barangkali ingin bertamu.
Hari semakin mengantuk, orang-orang sibuk dalam dansa-dansi. Dia berbisik: "Ingatlah, ingatlah jalur kereta yang mengukur kesedihanmu, sepanjang Manggarai - Pondok Cina. Dalam hari yang terbungkus matahari dan tanaman di halaman rumah"
Tapi, antara kau dan aku, tidak perlu belajar berdoa sebelum tidur. Perbincangan tanpa tarif, kamar tanpa ac, dan lelap tak berkesudahan akan menjaga malammu.
Aku membalas:
"Jika kau ingin pulang, beri aku kabar. Aku masih terbaring, di pojok rooftop ini"
(2020)
Yosea Arga P, lahir di Depok, 11 Oktober 1993. Menyelesaikan studi di Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, Jawa Tengah. Bergiat di Kolektif Kaleng Merah Jambu.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo