Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemakaman Astana Giri, yang terletak di Desa Gunung Wijil, Kecamatan Selogiri, Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah, menampakkan ciri sebagai tempat peristirahatan terakhir bagi golongan ningrat. Pemakaman tersebut berada di sebuah tempat yang lebih tinggi dibanding tanah di sekelilingnya.
Sebuah masjid tegak di pintu masuknya. Jalan menuju makam dibuat berundak-undak untuk memudahkan para peziarah. Suasananya cukup sejuk, lantaran banyak pohon besar di astana tersebut.
Puluhan nisan berbeda bentuk dan ukuran berjajar rapi. Adapun di bagian paling atas terdapat sebuah bangunan mirip rumah. Ukurannya tidak terlampau besar. Di dalamnya hanya ada satu makam. Di sinilah Raden Ayu Patah Ati dimakamkan. Sebagian orang menyebutnya Matah Ati, karena dia lahir di Desa Matah. Dalam bahasa Jawa, ”patah ati” memiliki makna sesuatu yang mampu menyenangkan hati, berbeda dengan ”patah hati” dalam bahasa Indonesia.
Matah Ati adalah istri Raden Mas Said, yang kemudian menjadi Mangkunegara I. Makamnya terpisah jauh dari makam suaminya, yang berada di Astana Mangadeg, Karanganyar.
Matah Ati adalah sosok yang misterius. Sejarah hidupnya berselimut kabut. Bahkan kerabat Keraton Mangkunegaran tak tahu banyak tentang dia. Bukan lantaran mengabaikan sejarah leluhur, melainkan catatan mengenai dirinya sangat minim.
Salah seorang pembesar keraton, GPH Herwasto Kusumo, mengakui hal ini. Menurut dia, pengetahuan para kerabat keraton mengenai sejarah Matah Ati memang sangat kurang. ”Sulit untuk bisa memberikan cerita lengkap yang dapat dipertanggungjawabkan,” katanya.
Padahal kisah mengenai Matah Ati ini sangat menarik. Kisah tersebut membuktikan bahwa perspektif kesetaraan gender telah berkembang dalam sejarah Jawa di abad ke-18. Raden Mas Said mengajak istrinya ikut berperang gerilya. Tidak hanya menjadi pendamping, sang istri diangkat menjadi panglima bagi sekelompok pasukan perempuan, yang disebut prajurit estri. Kaum perempuan ini ikut angkat senjata dan berjuang melawan penjajah. Pasukan tersebut juga menjadi pelindung utama Raden Mas Said setelah menjadi raja di Mangkunegaran.
Menurut sejarawan Universitas Sebelas Maret, Surakarta, Soedarmono, peran Matah Ati dan prajurit estri tidak sekadar berperang. Mereka juga sangat berjasa dalam menyiapkan akomodasi bagi rombongan perang gerilya, baik makanan maupun pesanggrahan untuk beristirahat. ”Meski turut berperang, prajurit estri tidak pernah melupakan kodratnya sebagai perempuan,” kata Soedarmono.
Prajurit estri itu juga mendapat tugas yang sangat penting, yaitu mencatat perjalanan gerilya Raden Mas Said dalam melawan penjajah. Semua perjalanan perang Raden Mas Said terdokumentasi secara lengkap. Hasil catatan tersebut menjadi sebuah kitab yang bernama Babad Lampahan.
Saat Raden Mas Said telah menjadi Mangkunegara I, prajurit estri masih memiliki tugas penting untuk menjadi anggota pasukan pelindung raja. Mereka juga terus mencatat sabda raja, yang menjadi sebuah kitab berjudul Babad Tutur.
Menurut Soedarmono, paling tidak hanya tinggal dua babad tersebut yang bercerita mengenai sejarah Raden Ayu Matah Ati. Dia yakin sebenarnya masih ada kitab lain yang bisa bercerita lebih banyak. Hanya banyak kitab kuno Jawa yang diangkut oleh Belanda ke negerinya.
Sejarawan Australia, Ann Kumar, pernah menemukan sebuah manuskrip catatan harian seorang prajurit estri tanpa nama. Kumar lantas menafsir naskah itu dan menerbitkannya dalam buku Prajurit Perempuan Jawa, Kesaksian Ihwal Istana dan Politik Jawa Akhir Abad Ke-18, tapi tak menyebut-nyebut soal Patah Ati.
Kurniawan, Ahmad Rafiq
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo