Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RAJA dang-dut Rhoma Irama gundah. Ia merasa hak asasinya
terganggu. Juga popularitasnya tidak aman. Ini karena ada
permainan curang. Masih pakai kruk (tongkat penyanggah) dengan
perut dilapisi gips, ia tampak di Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat, 7 Pebruari yang lalu. Maksudnya untuk meminta salinan
keputusan hakim yang membebaskan direktur PT Remaco: Eugene
Thimoty.
Soalnya: ada sengketa antara Rhoma dan Remaco. Lagu Begadang II,
yang bermula ditulis dan dinyanyikan Rhoma lewat label Yukawi,
belakangan muncul dengan label Remaco. Lagunya sama syair
berubah. Penyanyinya, Elvy Sukaesih, bekas pasangan duet Rhoma.
Hal semacam ini juga terjadi pada lagu Milikmu yang bermula
dinyanyikan oleh A. Rafiq, kemudian populer lewat suara Elvy.
Surat Panggilan
Ini pertikaian kedua antara Rhoma dengan Remaco. Yang pertama
terjadi tatkala Rhoma mempersoalkan Jawaban Lagu Rupiab yang
dinyanyikan oleh Elvy. Rupiah adalah salah satu hit Rhoma. Haji
yang merasa dibajak ini menggugat Remaco lewat Pengadilan Negeri
Jakarta Utara/Timur. Tapi sampai sekarang belum ada kelanjutan.
Sekarang Rhoma merasa terpukul untuk kedua kalinya. Hakim J.Z
Loudou SH yang memimpin sidang memutuskan "musuh" bebuyutannya
itu "dibebaskan dari segala tuduhan dan tuntutan hukum". Kata
sang hakim: "Saya tidak membenarkan pembajakan. Saya baru
memutus proses, bukan fakta hukum acara. Kesalahan Rhoma yang
pertama adalah tidak mengadakan pengaduan sebagai syarat adanya
delik aduan."
Paul Hutabarat SH dari Kamar Hak Cipta Indonesia (KHCI) yang
berkepentingan sebagai saksi ahli menjawab "Lahirnya surat
panggilan itu kan karena ada pengaduan dari Rhoma. Kalau tidak
ada pengaduan dari Rhoma, mana ada Surat Panggilan ini?" Sambil
berkata begitu, ia menunjuk kopi surat panggilan menghadap
kepada penyidik, Letkol Noerdin Karim, atas pengaduan Rhoma.
Rhoma sendiri tampaknya amat jengkel. Apalagi malam hari setelah
keputusan itu banyak tukang kaset berlomba menjual lagu Rhoma
dengan suara Elvy. Ia mengibaratkan tindakan Eugene seperti
penjambretan jam tangan. Setelah ternyata jam tangan itu bisa
menghasilkan uang, gondoknya berlipat ganda lagi, karena ada
iklan yang menyuruh Rhoma mengambil honor. "Kalau saya tak
berkeinginan menjual, atau mengijinkan orang lain menyanyikan
lagu saya, itu kan haksaya. Kenapa sekasar itu Eugene merampas?
" tanya sang Raja Dangdut.
Dengan putusan pembebasan itu, Rhoma merasa tertindas. Ia juga
jengkel kepada Elvy Sukaesih. Ia mendengar di dalam persidangan
Elvy mengungkapkan bahwa Rhoma telah memberi ijin pada Remaco
untuk merekam. Rhoma menyesalkan kenapa Elvy tidak berusaha
ngecek terlebih dahulu. "Terus terang dalam soal moral, sebagai
sesama artis, saya tidak percaya lagi sama Elvy," ujar Rhoma. Ia
juga menyatakan keputusan itu menyebabkan semangatnya jadi turum
"Kemauan berkreasi saya jadi turun. Payah-payah kita mencipta,
orang lain seenaknya membajak. Siapa yang melindungi sang
pencipta?" Yah, siapa?
Paul Hutabarat merasa bahwa ada yang tidak beres di dalam
tuntutan Jaksa. Karena putusan hakim tidak menolak pada materi.
"Ini jaksanya yang nggak betul, karena materinya salah, jadi
salah kaprah," ujarnya. Akibat keputusan demikian akan
mengeruhkan dunia rekaman. "Dalam waktu dekat akan terjadi
bajak-bajakan dengan sewenang-wenang," kata Paul.
Kamar Hak Cipta Indonesia mengetahui betul lagu Begadang (dengan
notasi lengkap) sebagai ciptaan Rhoma Irama. Dikatakan bahwa
Begadang II liriknya memang sedikit berbeda, tapi notasinya
menjiplak Begadang Rhoma. Cuma Paul Hutabarat tidak bisa terlalu
menyalahkan Elvy. Karena biduanita ini hanya menyanyikan saja.
Soal izin kabarnya diurus oleh Eugene. "Saya sebenarnya sudah
muak menghadapi situasi seperti ini, penyanyi kita
dimain-mainkan. Sedih rasanya," ujar Paul.
Lalu apa kata Papiko atau Ikari dalam soal-soal seperti ini?
"Ikari mulutnya kelewat lebar, uteknya nggak ada," sahut Kris
Biantoro yang jadi Humas sementara. "Ikari belum berdaya, tapi
malangnya sang embrio sudah tenggelam itu karena diteriakin para
pembajak!" Jelasnya, Ikari memang tidak mengeluarkan suara
apa-apa sampai sekarang.
Titiek Puspa yang agak galak. Sebagai orang Papiko dan sekaligus
penasehat Ikari (Ikatan Artis Rekaman Indonesia) ia sangat
menyesal atas pembebasan Direktur Remaco. "Keputusan ini tidak
mendidik dan menurunkan semangat para pencipta lagu," ujarnya.
Kabarnya Papiko akan melakukan appeal ke Kejaksaan dan bahkan
kalau perlu sampai ke DPR. Mus Mualim, suami Titiek Puspa
menambahkan "Papiko bilang sama Oma, jangan berhenti, kita
sedang berusaha naik banding dengan keputusan itu."
Memahami Bisnis
Titiek maupun Mus mengingatkan setiap artis rekaman supaya
membaca secara teliti kontrak mereka dengan produser. Mus juga
menganjurkan penyanyi untuk mulai menguasai dan memahami bisnis
musik. "Bagi artis yang top, sebaiknya punya manager," katanya.
Ini memang berbeda dengan penyanyi ingusan yang tidak dibayar
pun mau, asal suaranya direkam.
Soal kontrak ini, pihak perekam ternyata tidak berbeda pendapat
dengan Mus. Pengacara Remaco, Dharto Wahab SH, juga menekankan
bahwa soal kontrak memang harus dibikin jernih. Tidak hanya
untuk kepentingan artis, tetapi juga untuk kepentingan produser
sendiri," katanya. Dharto juga memberi keterangan penting lain:
"Untung yang diperoleh produser dari penyanyi-penyanyi besar
sebenarnya sedikit. Karena mereka sering ngutang sampai jutaan,
bahkan lalu ada yang lari sebelum memenuhi kontrak." Menurut
pengacara ini untung perusahaan sebenarnya banyak digali dari
penyanyi-penyanyi kecil.
Dunia musik rupanya memang sudah waktunya tidak hanya saling
menyalahkan. Jelas kericuhan berasal dari tidak siapnya
masing-masing pihak -- terutama para artis -- untuk operasi yang
menyangkut uang dengan deretan nol panjang. Dan Eugene Thimoty
dari Remaco yang berpengalaman dalam banyak sengketa kini merasa
tidak perlu lagi didampingi pembela. Dan akhirnya ia memang
menang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo