Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kisah-kisah ini begitu menggelitik, menampilkan realitas yang mewarnai kehidupan hari-hari. Teater Mandiri mengajak kita berefleksi sejenak mengenai hal yang terjadi saat ini: tentang perempuan, kesetaraan, hukum, dan kedamaian. Hal tersebut dibungkus dalam pertunjukan Peace karya Putu Wijaya di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 25 September lalu. Pertunjukan itu bagian dari perayaan ulang tahun ke-48 Teater Mandiri pimpinan Putu Wijaya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Dicari Jais Darga, ratu iblis pemberi harapan palsu, pemberi kebebasan berpikir," ujar Jais Darga dengan teriakan lantang. Jais didaulat sebagai bintang tamu dan bermonolog panjang. Ia perempuan perkasa atas segala lukanya. Luka perempuan yang tak pernah mendapat perlakuan adil. Ia terluka parah karena pikirannya, hendak diperkosa dan direndahkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jais menyerahkan tubuhnya kepada penegak hukum. Sebab, ia menghabisi suaminya, orang yang dicintainya, yang juga memberinya luka. Sebelumnya, ia membeberkan luka yang membungkamnya. Ia membela dan membebaskan laki-laki yang dikepung massa. Ia menghunjam pedang ke setiap dada laki-laki yang mengepungnya.
Ia juga membeberkan perselingkuhannya dengan sejumlah orang. Bukan dengan para lelaki biasa, melainkan Einstein, Nietzsche, Karl Marx, Sartre, bahkan Putu Wijaya.
Beranjak dari monolog, penonton disuguhi kisah lain tentang keluarga Amat. Keluarga itu digambarkan begitu repot dengan kedatangan tamu seorang perempuan berambut hijau, Nora/Betty (Rukoyah). Perempuan yang pernah menjadi pekerja migran di luar negeri tersebut kini tampilannya sok kaya. Bu Amat (Uliel El Na’ama) menjadi geram akan tingkah perempuan yang melamar sebagai asisten rumah tangga di rumahnya itu.
Ia tak hanya meminta upah layak, tapi juga serentetan fasilitas dan tunjangan lain. "Boleh tidak saya minta uang hari raya saya dulu? Oh, ya, saya tiga bulan lagi kan mau menikah, boleh juga tidak saya minta uang untuk pernikahan?" ujarnya dengan nada centil.
Refleksi tentang Situasi Terkini
Bu Amat yang puyeng dan emosional menyerahkan urusan itu kepada sang suami untuk menawar permintaan calon pekerjanya ini. Namun Amat melempem, tak berdaya di hadapan istri dan perempuan tersebut. Tawa penonton berkali-kali pecah karena akting para pemain.
Terakhir, Putu Wijaya menghadirkan lakon yang menyorot politik di Indonesia. Hal itu digambarkan lewat tokoh pengacara muda ternama (Taksu Wijaya) yang menyambangi ayahnya, profesor hukum kondang yang kini tak berdaya dan dibantu seorang suster.
Pengacara muda itu mempertanyakan soal kebenaran dan idealisme. Ia menolak menjadi pengacara untuk membela negara yang dianggap kerap diwarnai kongkalikong dan koruptif. Ia lebih memilih menjadi pengacara seorang mafia narkoba. Taksu seperti bermonolog dengan kalimat-kalimat panjang.
Pertunjukan itu mengelaborasi tiga naskah dan satu pertunjukan visual yang dirangkum dalam satu lakon pertunjukan bertajuk Peace. Tiga naskah ini dimainkan dengan visualisasi artistik tata panggung, tata cahaya dan suasana berbeda, yakni naskah Perempuan Sejati (monolog), Ini Original, dan Oh.
Ini Original, yang membicarakan tentang asisten rumah tangga, merupakan naskah baru, sementara dua naskah lain adalah naskah lama yang ditulis Putu Wijaya.
Lakon ini merespons situasi dan kondisi kekinian ketika muncul ketidaktenangan, penolakan terhadap kebijakan penguasa, demonstrasi, dan sebagainya. Respons untuk mewujudkan kedamaian. "Bukan kebenaran yang utama, tapi harmoni. Kebenaran dalam waktu yang tidak tepat akan membuat hidup berdarah-darah," ujar Putu Wijaya.
Untuk menghidupkan cerita, Teater Mandiri memaksimalkan tata cahaya, layar di panggung, dan kibaran kain-kain seukuran bendera. Misalnya, ketika terjadi amuk massa, pemain memanfaatkan cahaya di balik layar panggung sehingga memunculkan bayangan-bayangan yang bergerak-gerak, mengecil dan membesar. Seperti gerakan wayang di balik layar dari gerakan tangan dalang yang tersorot blencong. DIAN YULIASTUTI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo