Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

teroka

Krisis Iklim di Prasasti Pucangan dan Sangguran

Prasasti Pucangan dan Sangguran dianggap satu kunci untuk memahami hubungan sosial, pemerintahan, dan geologis tanah Jawa.

7 Februari 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Prasasti Pucangan dan Sangguran asal Jawa Timur berupaya dipulangkan atau direpatriasi dari India dan Skotlandia.

  • Keduanya diangkut pada awal abad XIX oleh Sir Thomas Stamford Raffles sebagai hadiah untuk atasannya di India, Lord Minto.

  • Prasasti Pucangan dan Sangguran dianggap sebagai satu kunci untuk memahami hubungan sakral antarkehidupan sosial, struktur pemerintahan, dan manifestasi geologis di tanah Jawa.

Ilmuwan diaspora Indonesia sedang mendorong upaya pengembalian prasasti Pucangan dan Sangguran ke Indonesia (repatriasi) yang sudah dilakukan sejak 2004, tapi belum membuahkan hasil.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kedua prasasti besar pada abad ke-10 dan ke-11 yang memuat tulisan Jawa kuno itu saat ini berada di Kalkuta, India, dan Skotlandia. Stamford Raffles, Letnan Gubernur Inggris Raya yang berkuasa di Jawa pada 1811-1816, memberikan kedua prasasti ini sebagai cenderamata untuk Lord Minto of Roxburghshire. Namun belum ada informasi pasti mengapa prasasti Pucangan ditinggal di India dan tidak ikut dibawa ke Skotlandia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baik prasasti Pucangan maupun Sangguran bukan sekadar artefak budaya. Isi kedua prasasti tersebut merupakan kunci untuk memahami arti hadirnya Indonesia di era Antroposen (Anthropocene), era yang melihat adanya hubungan erat antara manusia dan proses-proses geologis.

Kedua prasasti tersebut memuat tulisan Jawa kuno tentang peristiwa bencana pada sebuah periode kritis dalam sejarah Indonesia yang sampai saat ini belum sepenuhnya dimengerti karena teksnya tidak tersusun dengan baik. Sejauh ini, belum ada edisi atau terjemahan yang diterbitkan berdasarkan pemeriksaan langsung terhadap prasasti tersebut. Tanpa akses ke prasasti dan reproduksi yang dapat diandalkan, studi tentang isinya tidak dapat berkembang.

Padahal bencana iklim dan Antroposen mendesak kita semua untuk memikirkan tentang dunia yang rapuh serta hubungan antara alam dan masyarakat. Ilmuwan dunia percaya, mengunjungi kembali dua prasasti ini penting untuk memahami hubungan erat antara manusia dan proses-proses geologis pada masa lalu serta membantu masyarakat menghadapi ancaman iklim pada masa kini dan masa depan.

Dirjen Kebudayaan Kemendikbudristek, Hilmar Farid dan prasasti Pucangan. Detik.com/Instagram Hilmarfarid

Hubungan Manusia dengan Alam

Masyarakat lokal menilai Batu “Minto” atau Prasasti Sangguran dengan berat hampir 3 ton ini sebagai sebuah peninggalan sejarah berharga, sampai-sampai replika dari prasasti tersebut kini berdiri dan disembah di Jawa Timur, tempat asalnya.

Memang, prasasti Pucangan dan Sangguran menjadi salah satu kunci untuk memahami hubungan sakral antarkehidupan sosial, struktur kepemerintahan, dan manifestasi geologis di tanah Jawa. Sebagai contoh, ahli sejarah masih berdebat tentang hubungan antara pralaya (kehancuran besar) yang tertuang dalam prasasti Pucangan dan letusan Gunung Merapi sekitar 1006 yang kemudian mengakibatkan perpindahan kekuasaan Kerajaan Mataram ke Jawa Timur.

Setidaknya, sejak awal abad ke-20, masyarakat Jawa sudah lebih dulu mencatat bukti adanya hubungan yang erat antara proses geologis dan struktur kepemerintahan masa itu. Bagi Keraton Yogyakarta, contohnya, kekuasaan sultan adalah pemberian dari penguasa Gunung Merapi dan Laut Kidul.

Masyarakat lokal yakin merekalah yang memberikan dan mempercayakan kekuasaan administratif kepada sultan. Sedangkan gempa bumi, letusan gunung berapi, hujan, dan tsunami adalah pengejawantahan dari suara dan napas—para penunggu tersebut. Kepercayaan tersebut mendorong para abdi yang bekerja untuk sultan mempersiapkan sesaji bagi arwah nenek moyang, penunggu gunung berapi, sungai, hutan, dan laut.

Ahli ilmu bumi Belanda, Pieter Veth, dalam catatannya pada 1882 bertajuk “Java: Geography, Ethnology, History”, mengakui signifikansi Nyai Ratu Kidul dan Samudra Hindia sebagai teritorinya. Masyarakat Jawa sudah memahami bahwa segala aspek sosial, politik, dan proses geologis tidak dapat dipisahkan; dan mereka sudah bergumul dengan konsep Antroposen setidaknya sejak abad ke-18.

Ketika para ilmuwan Barat pada awal abad ke-20 bereksperimen, mereka mengambil data di situs-situs gunung berapi dan menemukan sesajen. Georges Kemmerling, ilmuwan dari Belanda, mencatat bahwa dalam melakukan kegiatan ilmiahnya di sekitar Gunung Merapi di Jawa dan Gunung Agung di Bali, dia mengikuti rute ritual menuju situs-situs sakral. Dalam rute-rute itulah ilmuwan kolonial pada 1920-1930 pertama kali mempelajari gunung-gunung berapi di Jawa.

Apa yang hari ini dianggap sebagai mitos atau local wisdom sejatinya adalah fondasi dari berbagai cabang ilmu bumi modern. Konsep Antroposen yang dipahami masyarakat Jawa memberi pengertian baru di bidang Kronostratigrafi—cabang ilmu yang mempelajari umur strata batuan dalam hubungannya dengan waktu—dan peran manusia dalam perubahan iklim.

Itulah sebabnya, prasasti seperti Sangguran dan Pucangan penting untuk memberikan pengertian yang mendalam tentang hal ini.

Apa yang sudah dilakukan?

Untuk lebih memahami sejarah Indonesia pada abad ke-10, Adam Bobbette, penulis, peneliti, dan dosen di Universitas Glasgow, Skotlandia, mengumpulkan peneliti-peneliti dari Indonesia, Amerika Serikat, Inggris, dan Australia untuk menggali konsep kerajaan-kerajaan kuno Nusantara dan bagaimana batas-batasnya berevolusi dari masa ke masa dalam sebuah forum bertajuk Inscriptions on the Move, September 2023.

Saat ini status kepemilikan prasasti Sangguran masih dipegang oleh keluarga Minto, bukan oleh pemerintah Skotlandia.

Kolaborasi keilmuan yang dimotori oleh diaspora akademik Indonesia ini adalah cerminan diplomasi sains akar rumput untuk meningkatkan kesadaran publik tentang keberadaan prasasti Sangguran di Skotlandia lewat diskursus ilmiah. Ini sekaligus mengajak pemangku kebijakan Skotlandia memfasilitasi upaya repatriasi yang sampai saat ini masih gagal terlaksana setelah Kedutaan Besar Republik Indonesia di London, Inggris, menghentikan negosiasi pada 2006.

Dalam acara di atas, penulis bersama penyelenggara juga mengikutsertakan Bupati Kota Batu, Jawa Timur, Aries Agung Paewai, serta Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Lestari Moerdijat untuk menyuarakan pentingnya pengembalian prasasti Sangguran lewat media lokal.

Prasasti Pucangan dan Sangguran bukan hanya penting sebagai peninggalan budaya untuk dipamerkan di museum, tapi juga untuk dipahami dan diteliti secara keilmuan oleh etnografer, ahli geologi, ataupun ahli sejarah. Harapannya, kita bisa menggunakan hasil analisisnya untuk mempelajari bagaimana Jawa pada permulaan abad modern menyikapi bencana alam dan lingkungan.

---

Artikel ini ditulis oleh Bagus Putra Muljadi, lektor Teknik Kimia dan Lingkungan University of Nottingham, Inggris. Terbit pertama kali di The Conversation.

Masuk untuk melanjutkan baca artikel iniBaca artikel ini secara gratis dengan masuk ke akun Tempo ID Anda.
  • Akses gratis ke artikel Freemium
  • Fitur dengarkan audio artikel
  • Fitur simpan artikel
  • Nawala harian Tempo
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus