Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teroka

Edwin dan Macan Tutul Emas Locarno

Film laga romantis Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas karya sutradara Edwin meraih penghargaan film terbaik di Festival Film Internasional Locarno. Prestasi tertinggi film Indonesia.

18 September 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Cerita dibalik kemenangan film Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas di Locarno

  • Meraih Golden Leopard di Festival Film Internasional Locarno, Swiss

  • Resensi film Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas

SAYA merasa sangat beruntung dapat menyaksikan film Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas (selanjutnya disingkat Dendam) menemui penontonnya dalam pemutaran perdana dunia di Festival Film Internasional Locarno, Swiss. Terasa sekali betapa ruwetnya menghadiri festival di kala pandemi, dari pemeriksaan bukti bebas Covid-19, masa di perjalanan, sampai pembatasan jumlah penonton.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tim Dendam pun harus mematuhi semua pembatasan ini dengan menghadiri sebagian saja dari keseluruhan festival. Saat kabar baik Golden Leopard (Macan Tutul Emas) diumumkan, hanya produser Muhammad Zaidy yang masih berada di lokasi, sementara sutradara Edwin dan produser Meiske Taurisia serta para pemain sedang terkurung di kamar karantina mereka di Jakarta.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas dapat dikatakan sebagai ode terhadap genre film laga Indonesia 1980-an. Cerita film ini diadaptasi dari novel karya Eka Kurniawan berjudul sama yang terbit pada 2014. Tokoh sentral cerita adalah seorang pemuda bernama Ajo Kawir dari Kampung Bojong Soang yang impoten karena mengalami trauma akibat dipaksa menyertai tindak pemerkosaan semasa ia kecil. Impotensi ini membuatnya frustrasi dan mencari pelepasan dengan jalan berkelahi. Ia bertemu dan kemudian berpasangan dengan Iteung, pendekar perempuan yang mencari penghidupan dari menjadi tukang pukul.

Namanya film laga, walaupun romantis, momen pertemuan Ajo dan Iteung tentu tidak diisi dengan saling senyum dan saling lirik malu-malu kucing. Iteung menghajar Ajo habis-habisan. Pasangan ini mengarungi hubungan mereka dalam dunia yang penuh pengkhianatan, kekerasan, dan penindasan si kaya terhadap si miskin.

Cerita-cerita yang berlangsung di sekitar Ajo dan Iteung pun memperlihatkan bahwa menjadi orang miskin di tengah masyarakat yang agresif lagi patriarkis menghasilkan dampak berbeda untuk lelaki dan perempuan. Dalam film ini, kelamin menjadi persoalan sentral, baik secara harfiah maupun kiasan, dari impotensi, kekerasan seksual, sampai pencarian kenikmatan syahwat. Kelamin di sini adalah pedang bermata dua. Ia bisa menjadi ungkapan cinta atau senjata.

Skenario film yang ditulis bersama oleh Edwin dan Eka Kurniawan menghasilkan karya baru yang berbeda dengan bukunya. Posisi si Burung yang menjadi narator dominan dalam novel jauh berkurang, bergeser ke lebih banyak sudut pandang orang ketiga. Perubahan ini memungkinkan karakter Iteung menguat.

Film ini juga dapat menciptakan keterkaitan yang lebih rapat antara peristiwa jahanam kekerasan seksual dan motivasi pembalasan dendam yang tumbuh dalam diri Iteung dan Jelita, dua karakter perempuan penting dalam Dendam. Laga dalam film ini adalah ekspresi frustrasi, kemarahan, dan mata pencarian dalam masyarakat yang terperangkap spiral kekerasan dan ketimpangan sosial.

Aktor Reza Rahardian, Marthino Lio, dan sutradara Edwin saat sesi pemotretan Festival Film Locarno, di Swiss, Agustus 2021. Instagram filmfestlocarno

Dendam dibuat menggunakan pita seluloid 16 milimeter sebagai medium shooting. Secara puitik, pilihan tersebut mengingatkan kita pada film-film buatan 1960-an dan 1970-an yang kadang diproduksi menggunakan medium ini demi mengirit biaya produksi. Sebab, pita seluloid 16 mm lebih murah dibanding pita seluloid format standar industri, 35 mm.

Edwin salah satu sutradara yang berupaya terus mengolah medium pita seluloid, pilihan yang jarang diambil dalam dunia produksi digital kita sekarang karena teknologinya rumit dan tidak lagi murah. Adalah suatu proses yang langka bahwa kita bisa menyaksikan film yang dibuat dengan pita seluloid 16 mm, hasil kerja sama dengan penata kamera perempuan berusia 70 tahun, Akiko Ashizawa, yang sangat mengenal medium ini. Ashizawa adalah penata kamera antara lain untuk film-film sutradara Jepang, Kiyoshi Kurosawa, dengan pengalaman luas dalam film genre dan film mini (8 mm). Gambar-gambarnya padat dan ringkas serta mengisyaratkan kegelapan, tapi sangat tenang, realistis, dan manusiawi.

Pengucapan dialog dalam Dendam pun patut diperhatikan. Bahasa yang diucapkan para aktor memakai tata bahasa tulis, agak kaku, dan terasa ajaib. Gaya pengucapan seperti ini sangat khas karya Eka Kurniawan, juga menjadi karakter film-film Indonesia zaman Orde Baru ketika bahasa jalanan atau bahasa daerah tak punya tempat dalam film.

Pemakaian gaya tutur ini barangkali tak dipahami oleh para penonton di Locarno. Tapi, bagi saya, hal itu menciptakan suasana ganjil yang membangkitkan rasa penasaran akibat pertentangan antara suasana visual (pakaian atau tata ruang) yang banal dan bahasa yang intelektual. Kombinasi ini menimbulkan humor yang khas dan membuat saya geli karena teringat pada bahasa sok intelek dan kata-kata rumit yang sering kedengaran di radio atau televisi pada masa Orde Baru.

Bahasa tubuh para aktor, meskipun harus mengucapkan bahasa baku, terlihat luwes dan bersahaja, cocok dengan dunia visual mereka yang banal. Kombinasi antara dialog, pembawaan tubuh, dan gerak berlaga yang dilakukan oleh Ajo (Marthino Lio), Iteung (Ladya Cheryl), dan Budi (Reza Rahadian) menimbulkan rasa taksa (ambigu) yang sesuai untuk dunia serba tak ramah yang mereka diami.

Musik karya Dave Lumenta dan tata artistik karya Eros Eflin memegang peran penting dalam film ini dan memberikan konteks periode 1980-an. Kita mendengar suara Rhoma Irama dan melihat rambut keriting berjambul khas periode itu. Kejutan musik hadir menjelang akhir film, dalam lagu tema yang gelap tapi syahdu karya Ananda Badudu.

Satu hal yang terasa kurang mulus adalah tempo penyuntingan. Adegan-adegan terasa singkat, cepat berlalu, dan terlampau ketat sambung-menyambung secara bertubi-tubi. Ada saat ketika saya berharap ada sedikit jeda untuk menyerap dan merasakan lebih banyak, bukan hanya dibombardir kejadian demi kejadian.

•••

KEKHASAN dari Golden Leopard adalah bahwa penghargaan ini diberikan bukan hanya kepada Edwin sebagai sutradara, tapi dibagi bersama dengan para produser, yakni Meiske Taurisia dan Muhammad Zaidy. Ini menunjukkan bahwa Festival Locarno memposisikan film secara setara sebagai pencapaian untuk karya seni dan karya manajemen produksi.

Festival Locarno 2021 adalah edisi yang ke-74 sejak diadakan pertama kali pada 1946. Forum ini satu dari 15 festival kompetitif yang terakreditasi oleh Federasi Internasional Produser Film (FIAPF) yang berbasis di Belgia, dalam bahasa sehari-hari pelaku industri film global disebut festival kategori A. Festival lain yang masuk kategori yang sama di antaranya Berlin, Cannes, Shanghai, dan Venesia.

Dewan juri pada edisi ini dipimpin oleh Eliza Hittman dari Amerika Serikat sebagai presiden dengan anggota Kevin Jerome Everson (Amerika Serikat), Philippe Lacôte (Pantai Gading), aktris Leonor Silveira (Portugal), dan aktris Isabella Ferrari (Italia). Film-film yang berkompetisi kebanyakan hasil koproduksi multinegara, sama dengan film Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas yang merupakan koproduksi Indonesia, Singapura, dan Jerman. Pesaing dalam kategori kompetisi internasional 2021 antara lain sutradara senior Ghassan Salhab (Libanon), sutradara perempuan Axelle Ropert (Prancis), dan Abel Ferrara (Amerika Serikat). Yang terakhir saya sebut membawa film yang dibintangi Ethan Hawke.

Terlihat jelas bahwa yang dijaga betul-betul oleh pengelola festival bukan hanya keberagaman konteks asal tiap film, tapi juga identitas pembuatnya dan dewan juri. Festival adalah tempat untuk berbagi, saling belajar, saling mendukung, bukan arena perlombaan semacam pacuan kuda. Masuk ke seleksi festival, apalagi dalam seksi kompetisi, bukan persoalan gengsi siapa yang paling jago bikin film, tapi pemikiran dan dunia seperti apa yang dapat dikenalkan oleh sebuah film kepada khalayak. Pembuat film yang istimewa tentu banyak dan memiliki beragam capaian. Karena itu, tugas juri adalah mencari bukan hanya karya bagus, tapi juga karya yang penting untuk diperkenalkan kepada dunia lewat panggung festival.

Pencapaian Golden Leopard yang didapat oleh Dendam adalah sumbangan film Indonesia kepada dunia melalui karya seni. Dunia telah menyambutnya di Locarno dengan pengakuan yang hangat dan tulus. Pekan depan ada satu lagi karya Indonesia untuk dunia: film Yuni karya sutradara Kamila Andini bersama produser Ifa Isfansyah akan berkompetisi di Toronto, Kanada. Penghargaan dan pengakuan atas film-film Tanah Air adalah suar harapan untuk Indonesia yang berada di tengah kemelut pandemi, sama seperti medali emas Olimpiade lalu. Semoga ke depan pencapaian seperti ini lebih dipahami oleh pemerintah, organisasi kebudayaan, dan publik di Indonesia.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus