Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teroka

Dua Wajah Jokowi

Membongkar banyak persepsi keliru seputar Presiden Joko Widodo, buku ini memotret kelemahan strategi pembangunan Indonesia dalam enam tahun terakhir. Kritik tajam yang patut didengar.

29 Agustus 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Judul                 : Man of Contradictions: Joko Widodo and the Struggle to Remake Indonesia
Pengarang         : Ben Bland
Penerbit             : Penguin Books, 2020
Tebal                  : 180 halaman

BUKU ini dibuka dengan sebuah anekdot yang jenaka. Pada tahun awal pemerintahannya, Presiden Joko Widodo dihadapkan pada sebuah situasi politik internasional yang pelik. Sikap pemerintah Cina di Laut Cina Selatan makin agresif dan mengganggu stabilitas politik di kawasan Asia Tenggara. Sejumlah diplomat Indonesia menilai Jokowi perlu merilis pernyataan pers untuk mengingatkan pentingnya semua pihak taat pada hukum internasional demi mengurangi ketegangan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Istana menolak saran itu. Menurut sumber-sumber buku ini, Jokowi enggan menggunakan modal diplomatik Indonesia untuk sebuah isu yang tak langsung berkaitan dengan kepentingan nasional. Sang diplomat putar otak dan mencoba meyakinkan Jokowi menggunakan analogi seorang pengusaha mebel. “Bayangkan apa dampaknya untuk usaha ekspor pengusaha mebel kita jika ketegangan politik meningkat di Laut Cina Selatan. Biaya asuransi bisa naik dan bisnis internasional mereka bisa terganggu,” katanya. Mendengar analogi itu, Jokowi akhirnya memahami saran penasihatnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku biografi pertama tentang Jokowi yang diterbitkan di luar Indonesia ini penuh dengan dialog dan anekdot semacam itu. Penulisnya, Ben Bland, menggunakan berbagai kisah itu untuk menyampaikan perspektifnya tentang perjalanan Jokowi dari kursi Wali Kota Solo sampai menjadi Presiden Indonesia dua periode. Sebelum menjadi Direktur Program Asia Tenggara di Lowy Institute, Ben adalah koresponden harian ekonomi terkemuka Financial Times di Indonesia. Karena itu, dia punya akses ke banyak orang dalam Istana dan pejabat publik yang sehari-hari berinteraksi dengan Jokowi. Banyak kisah dalam buku tersebut merupakan hasil reportase langsung dan wawancara Ben selama dia mengikuti langkah Jokowi di kursi nomor satu republik ini.  

Ben tiba di Jakarta pada 2012, tepat di tengah hiruk-pikuk kampanye pemilihan gubernur Ibu Kota. Ketika itu, Fauzi Bowo, inkumben, harus berhadapan dengan penantang baru dari luar kota: Wali Kota Solo Joko Widodo. Sejak itulah Ben mulai menaruh perhatian khusus pada sepak terjang sang politikus lokal hingga ia memenangi pemilihan presiden 2014. Menurut dia, untuk memahami Jokowi, kita harus kembali ke Solo. Dalam banyak kesempatan, Jokowi memang mengakui bahwa pendekatannya dalam memerintah kerap menekankan blusukan atau turun ke lapangan.

Di pabrik mebel milik Jokowi, Rakabu, Ben mengamati keseharian para pekerja dan proses produksi mebel di sana. Dia menulis, “Saya melihat bagaimana kayu dipotong menjadi bilah-bilah, dan bilah dipotong menjadi papan. Kemudian papan dirakit menjadi meja, kursi, dan almari. Dari sana, saya jadi mengerti bagaimana Jokowi membentuk usaha ini dan usaha ini membentuk Jokowi.”

Sejak awal, menurut Ben, Jokowi memahami politik dari sudut pandang seorang pembuat mebel. Dia membutuhkan listrik untuk pabriknya, jalan dan pelabuhan untuk mengirim barangnya ke pasar, juga kapal untuk mengangkut produknya kepada pembeli di luar negeri. Jokowi menginginkan pajak yang lebih rendah dan peraturan yang lebih sederhana agar pengusaha bisa bekerja lebih mudah. Dia juga membutuhkan sistem kesehatan dan pendidikan yang lebih baik agar buruhnya lebih produktif.

Dibesarkan di era Orde Baru, pemahaman politik dan ekonomi Jokowi dinilai lebih dekat kepada Soeharto ketimbang Sukarno, bapak ideologis partainya, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Dalam banyak kesempatan, Jokowi mengaku tak punya figur teladan dalam dunia politik dan tidak terlalu tertarik pada berbagai teori politik ataupun ekonomi. Menurut Ben, Jokowi dibentuk oleh tindakan dan pengalaman, bukan konsep atau abstraksi.

Dalam enam bab buku ini, Ben Bland berusaha menjawab pertanyaan besar yang ada di benak banyak orang yang mengikuti perjalanan politik Jokowi sejak awal. Apa yang membuat harapan besar publik di pundak Jokowi seolah-olah demikian sulit terwujud sampai saat ini? Apakah pria bersahaja yang berhasil meraih posisi tertinggi di pucuk kekuasaan negeri ini, meski berasal dari luar lingkaran elite politik, tersebut sudah berubah?

Untuk menjawab pertanyaan itu, Ben menyitir pernyataan jurnalis Amerika Serikat, Robert Caro, yang kerap menulis buku biografi tokoh politik. Menurut Caro, kekuasaan selalu mengungkap sesuatu. Makin kuat kaki-kaki Jokowi menjejak bangunan kekuasaan politik, makin terungkap pula berbagai kontradiksi yang sebenarnya sejak awal dia miliki. Perubahan yang dirasakan para pendukung Jokowi, terutama di kalangan masyarakat sipil, menurut Ben, sebenarnya merupakan kegagalan mereka melihat siapa sebenarnya Jokowi. “Mereka hanya melihat apa yang hendak mereka lihat,” tulisnya. Lewat paparannya dalam buku ini, Ben mengupas berbagai alasan mengapa dia yakin banyak orang keliru memahami sosok sang Presiden. 

Salah satu insiden yang membuat Ben begitu yakin bahwa Jokowi tak pernah benar-benar berubah adalah peristiwa yang terjadi dalam kampanye mantan Gubernur Jakarta itu di Surabaya pada 2014. Ketika itu, sebagai wartawan, dia berencana meliput kegiatan Jokowi, hanya beberapa pekan sebelum hari pencoblosan. Setiba di Surabaya, Ben kebingungan. Tak ada satu pun anggota tim sukses Jokowi yang mengetahui jadwal acara kandidat mereka.

Keesokan harinya, tim Jokowi membelah Kota Surabaya dan berhenti di beberapa tempat untuk meninjau keramaian, sama sekali tanpa perencanaan yang matang. Padahal kubu lawan ketika itu tengah gencar menebar isu palsu soal latar belakang suku dan agama Jokowi. Akibatnya, keunggulan Jokowi di berbagai jajak pendapat terus menipis menjelang hari pemungutan suara.

Ketika mendapat kesempatan wawancara, Ben menanyakan perihal kekacauan kampanye itu dan mendapat jawaban tak terduga. “Jokowi mengakui kampanyenya tak teratur. Dia bahkan menyebut tim relawannya sebagai organisasi tanpa bentuk,” tulis Ben. Namun, meski tim kampanyenya kacau dan tak terstruktur, Jokowi tetap yakin tim itu bakal berhasil membawanya ke Istana.

Sejak awal mewawancarai Jokowi di Jakarta sebagai gubernur, dan berkali-kali berdiskusi dengannya sebagai presiden, Ben mengaku selalu menemukan kepercayaan diri yang sama pada sosok Jokowi. “Dia sangat yakin dan percaya diri,” tulisnya. Jokowi sendiri menyitir filosofi Jawa, “ojo kagetan”, sebagai salah satu pegangannya. Namun, di sisi lain, pembawaan Jokowi itu membuat beberapa penasihatnya mengeluh bahwa sang atasan sulit menerima saran. “Jokowi bisa mengambil keputusan besar begitu saja dan tak ada menteri yang bisa mengkritiknya,” tulis Ben di bagian lain.  

Ketenangan Jokowi itu sayangnya juga menjadi titik lemahnya. Ben menilai Jokowi kerap menyederhanakan kompleksitas masalah dan tantangan yang dihadapi Indonesia untuk menjadi negara maju. Dalam sebuah wawancara, Ben pernah menanyakan apa strategi Jokowi untuk mengubah Indonesia secara struktural agar semua potensinya bisa dimanfaatkan. Jawaban Jokowi sangat pendek. “Kami punya sumber daya alam dan sumber daya manusia. Kalau kami bisa mengubah cara mengelola negara ini, kami bisa tumbuh lebih baik,” kata Jokowi.

Kenyataannya tentu tak sesederhana itu. Sebagai presiden, Jokowi dihadapkan pada banyak dilema yang kompleks, yang membutuhkan pemahaman mendalam atas konsekuensi dari berbagai pilihan kebijakan. Sayangnya, dalam banyak kesempatan, setidaknya menurut Ben, Presiden kerap menyepelekan dampak dari pilihan dan strateginya.

Ben merujuk pada inkonsistensi Jokowi soal keterbukaan pada investasi asing di satu sisi dan kebijakannya untuk mengakuisisi aset-aset tambang minyak, gas bumi, dan mineral milik perusahaan asing. Retorika Jokowi di dalam negeri yang kerap menekankan kebijakan proteksionisme juga dinilai tak konsisten dengan rayuannya kepada investor internasional di forum global. Semua itu membuat sosok Jokowi menjadi penuh kontradiksi.

Sesuai dengan judulnya, buku ini mengupas satu demi satu berbagai kontradiksi dalam citra personal Jokowi dan kebijakan-kebijakan publiknya sebagai Presiden Indonesia. Bukan hanya soal ekonomi, tapi juga politik dan hubungan internasional. Dari kacamata seorang pengamat yang tekun seperti Ben Bland, kita bisa lebih memahami Jokowi dan, pada akhirnya, lebih memahami kompleksitas Indonesia.

WAHYU DHYATMIKA
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Wahyu Dhyatmika

Wahyu Dhyatmika

Direktur Utama PT Info Media Digital. Anggota KONDISI (Kelompok Kerja Disinformasi di Indonesia).

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus