Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Layar itu menghadirkan suasana Mekah yang tampak sunyi pada 650. Gambar kemudian berganti menjadi sebuah masjid, masih pada zaman Khalifah Rasyidin, dalam kurun waktu yang sama. Tak lama kemudian, muncul Kubah Shakhrah di Yerusalem. Kubah yang dibangun Khalifah Umayyah itu-masih dalam gambaran tahun 700-adalah jejak kebudayaan dan agama yang meluas dari Jazirah Arab, kemudian masuk ke Timur Tengah yang kosmopolitan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Beberapa tampilan gambar itu merupakan proyeksi realitas virtual atau VR dalam pameran fotografi "Boundless Plains: The Australian Muslim Connection" di Museum Sejarah Jakarta, yang diselenggarakan pada 15-30 April 2019. "Islam adalah agama yang berkembang pesat di Australia dengan laju sekitar 20 persen," kata Duta Besar Australia untuk Indonesia, Gary Quinlan, Senin, 15 April lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Realitas virtual membentangkan perjalanan agama Islam dari berbagai peninggalan sejarah. Ada enam gambar yang ditampilkan untuk memperlihatkan sejarah Islam secara garis besar hingga masuk ke Australia. Selain gambar tersebut, terdapat gambaran perubahan budaya yang mempengaruhi arsitektur masjid dalam unsur Byzantium dan Persia.
Pengunjung juga diajak menyusuri perkembangan Islam dalam bidang pendidikan. Universitas Al-Qarawiyyin adalah lembaga pendidikan pertama di dunia yang memberikan gelar untuk akademikus. Universitas itu didirikan oleh seorang ilmuwan bernama Fatima al-Fihri pada 859. Lalu, kita juga diperlihatkan Medina Azahara, atau Kota Bersinar, sebagai cerminan masyarakat multietnis pada masa Khalifah Kordoba pada 950.
Di bagian terakhir, pengunjung akan melihat Masjid Marree di Australia Selatan. Bentang alam pedalaman menjadi latar pemandangan menuju masjid dalam suasana tahun 1885.
Berbeda dengan sajian realitas virtual, karya fotografi menyajikan langsung cerita tentang Islam di Australia. "Kami memamerkan 21 foto tentang sejarah umat Islam di Australia," kata CEO Islamic Museum of Australia, Ali Fahour. Semua foto adalah karya fotografer Peter Gould.
Salah satu foto memperlihatkan tiang dengan papan kecil bertulisan Mahomed St. Gambar itu adalah petunjuk nama Jalan Mahomed di Alice Springs, Australia Utara. Nama jalan permukiman itu diambil dari seorang penunggang unta asal Pakistan, Pir Mahomed, yang tiba di Australia pada 1882. Pir Mahomed wafat pada 1940.
Persis di samping bingkai Mahomed St terdapat foto dua makam yang bersebelahan di pemakaman Bourke. Dua makam itu merupakan tempat bersemayam penunggang unta dari Afganistan, Bye Khan dan Ad Joon. Bye Khan wafat pada 9 Juni 1947 dalam usia 107 tahun, sementara Ad Joon wafat pada 6 Januari 1955 dalam usia 94 tahun. Batu nisan kedua makam itu bertulisan kalimat syahadat.
Pameran itu juga membangkitkan ingatan tentang sejarah Islam di Australia, yang dimulai pada 1700-an, dan ada kaitannya dengan Indonesia. Saat itu adalah kurun waktu kedatangan nelayan dari Makassar yang berjualan teripang. Kisah itu menjelaskan interaksi pedagang Makassar tersebut dengan penduduk asli Yolngu di Australia Utara.
Ada pula foto-foto yang menggambarkan cerita penunggang unta dari kawasan Asia Selatan serta para imigran yang membantu perkembangan Australia. Ali Fahour mengatakan bahwa pameran "Boundless Plains" di Indonesia menjadi kesempatan untuk menjalin kerja sama. "Harapan saya ke depan, mungkin akan ada banyak lagi kerja sama yang bisa dibuat," tutur dia.
Kepala Unit Pengelola Museum Kesejarahan Indonesia, Sri Kusumawati, mengatakan bahwa kegiatan itu merupakan kesempatan untuk mempelajari pameran secara modern. "Kami ingin mempelajari pameran dengan virtual reality (VR)," kata dia. "Karena tahun ini pun kami (Museum Sejarah Jakarta) akan memulai teknologi informasi."
Menurut dia, pameran "Boundless Plains" akan memikat turis mancanegara yang berwisata ke kawasan Kota Tua. Pameran ini sekaligus menjadi momentum bagi masyarakat Jakarta untuk mengenal sejarah Islam di Australia. "Negara ini (Australia) punya sejarah Islam yang panjang, serta ada kaitan juga dengan Indonesia."
BRAM SETIAWAN
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo