Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Teguh Esha mulai menulis cerita bersambung Ali Topan pada 1972.
Cerita Ali Topan meledak setelah dituangkan dalam novel pada 1977.
Semangat kebebasan Ali Topan tidak akan lekang dimakan zaman.
Anak jalanan kumbang metropolitan.
Selalu ramai dalam kesepian.
Anak jalanan korban kemunafikan.
Selalu kesepian di keramaian.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Itulah bait pertama lagu berjudul Anak Jalanan, yang diciptakan Guruh Soekarnoputra dan dipopulerkan Chrisye (almarhum). Bagi generasi yang tumbuh pada 1990-an, lagu ini bakal mudah akrab di telinga. Sebab, lagu ini pernah menjadi lagu pembuka dan penutup sinetron berjudul Ali Topan Anak Jalanan, yang populer pada saat itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sinetron ini mulai tayang pada 1997 dengan bintang utama Ari Sihasale sebagai Ali Topan. Adapun lagu Anak Jalanan pertama kali muncul dalam film Ali Topan Anak Jalanan yang rilis pada 1977. Lagu ini masuk dalam album pertama Chrisye, Sabda Alam, yang rilis pada Januari 1978.
Lagu ini juga masuk dalam album soundtrack berjudul Original Sound & Music Track Film Puber & Ali Topan, yang diluncurkan pada 1978. Sebuah gambaran betapa lekatnya lagu ini dengan intellectual property (IP) atau kekayaan intelektual Ali Topan.
Maka wajar ada sejumlah orang yang menanti pemutaran lagu Anak Jalanan saat menonton film terbaru Ali Topan garapan Visinema Pictures, Legacy Pictures, dan Kebon Studio, yang rilis sejak 14 Februari lalu. Namun sutradara Sidharta Tata mengatakan film Ali Topan sengaja dibuat dengan latar, isu, dan musik yang kekinian.
Penulis buku "Ali Topan Anak Jalanan", Teguh Esha, 4 April 2011. Dok. TEMPO/Muhammad Fadli
Alasannya agar film Ali Topan mudah diterima masyarakat, khususnya anak muda yang belum banyak tahu tentang cerita serta karakter dahsyat karya novelis dan sastrawan Teguh Esha itu. "Semuanya berubah mengikuti zaman. Yang penting semangat Ali Topan tetap sama," kata Tata.
Adapun bagi Yusuf Hikmah Adrai, anak kelima Teguh Esha, tokoh Ali Topan adalah sebuah gambaran jiwa yang melawan ketidakadilan demi mencapai sebuah konsep kebebasan. Meski begitu, respons Ali Topan terhadap konsep kebebasan tidak dilakukan secara ugal-ugalan.
"Jadi rebel yang responsible (jiwa pemberontak, tapi bertanggung jawab)," kata pria berkacamata dan berambut gondrong itu.
Bagi Yusuf, film terbaru Ali Topan sangat berarti buat keluarganya. Sebab, ia bisa merasakan kehadiran sang ayah yang wafat pada 17 Mei 2021. Selain itu, film ini menjadi pengingat memori dia dengan sang ayah. Termasuk saat mendiang Teguh menceritakan siapa dan bagaimana tokoh Ali Topan sebenarnya.
Anak Teguh Esha, Yusuf Adrai, dalam pemutaran dan konferensi pers film "Ali Topan" (2024) di Epicentrum XXI, Jakarta, 13 Februari 2024. TEMPO/ Febri Angga Palguna
Dalam ingatan Yusuf, sang ayah pernah bercerita bahwa Ali Topan lahir dari potongan ide dan gagasan yang diterima ayahnya semasa muda. Adapun penamaan Ali Topan sebenarnya terinspirasi oleh nama Ali yang pada 1970-an dimiliki tokoh-tokoh besar di dalam dan luar negeri.
"Contohnya saja, Ali Sadikin yang saat itu jadi Gubernur DKI Jakarta dan petinju legendaris Muhammad Ali," kata pria 29 tahun itu.
Menurut Yusuf, jiwa Ali Topan secara tidak langsung merasuk ke pemikiran ketujuh anak Teguh. Tentu bukan seperti Ali Topan yang hidup di jalanan. Semangat Ali Topan yang ia maksudkan adalah pemikiran kritis dan berani menanggapi sesuatu yang tidak benar.
Lagi pula, menurut Yusuf, mendiang Teguh selalu mengedepankan pemikiran logis. Walhasil, ia pun mempersilakan anak-anaknya mempertanyakan hal-hal yang dianggap tidak logis. "Itulah jiwa Ali Topan ala Teguh Esha," ujarnya.
Teguh memulai karier di dunia penulisan pada 1960-an dengan menulis sejumlah cerita bersambung untuk sejumlah koran dan majalah. Pada 1972, barulah pria yang mengenyam pendidikan di Fakultas Ilmu-ilmu Sosial, Departemen Ilmu Politik, Universitas Indonesia, itu menulis cerita bersambung Ali Topan.
Buku "Ali Topan Anak Jalanan" karya Teguh Esha. TEMPO/ Nurdin Kalim
Pada tahun itu, Teguh sedang sibuk-sibuknya mengurus penerbitan majalah, seperti Sonata pada 1971-1973 sebagai wakil pemimpin redaksi. Selanjutnya, Teguh mendirikan majalah Le Laki yang ia pimpin pada 1974-1977. Di majalah Le Laki, Teguh juga menulis cerita bersambung lain berjudul Dewi Besser.
Pada 1977, Teguh menerbitkan cerita Ali Topan Anak Jalanan dalam bentuk novel. Karya itu meledak hingga naik cetak empat kali dalam kurun waktu enam bulan.
Cerita Ali Topan rupanya ikut mempopulerkan bahasa prokem atau slang di kalangan muda-mudi Jakarta kala itu. Sebagai contoh, kata bokap dan doi. Tren bahasa prokem juga membuat karya Teguh mudah diterima.
Selanjutnya, cerita novel Ali Topan naik ke layar lebar pada tahun itu juga dengan judul Ali Topan Anak Jalanan. Kala itu aktor sekaligus penulis Junaedi Salat didapuk menjadi tokoh Ali Topan. Adapun sosok Anna Karenina diperankan Yati Octavia.
Setahun berikutnya, Teguh menulis lagu yang dinyanyikan Franky dan Jane Sahilatua dalam album Balada Ali Topan. Sampul album ini menggunakan sketsa Ali Topan yang diciptakan komikus Jan Mintaraga. Pada tahun yang sama, Teguh menerbitkan Ali Topan Detektif Partikelir. Pada 1979, film Ali Topan Detektif Partikelir Turun ke Jalan diproduksi, dengan Widi Santoso sebagai bintang utamanya.
Seolah-olah tak lapuk dimakan zaman, karakter Ali Topan masih terjaga dengan baik di pikiran masyarakat. Pada 1996 dibuatlah karya Ali Topan dalam bentuk sinetron dengan bintang utama Ari Sihasale. Respons pasar saat itu cukup baik. Sinetron Ali Topan diterima dengan mudah oleh penonton televisi.
Pada 2000, Teguh Esha mencoba mengembangkan cerita Ali Topan dalam sebuah novel berjudul Ali Topan Wartawan Jalanan. Lagi-lagi pemikiran kritis Ali Topan disuguhkan dengan tema yang lebih baru kala itu, termasuk menyinggung isu sensitif.
INDRA WIJAYA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo