Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teroka

Roro Jonggrang, Pola Baru Teater Koma

Teater Koma menampilkan pertunjukan dengan lakon baru, Roro Jonggrang, di Graha Bhakti Budaya Taman Ismail Marzuki. Mereka menyajikan cerita lebih ringan nan jenaka dan tampil dengan durasi pertunjukan yang jauh lebih singkat dari biasanya.

16 Oktober 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Belasan orang berpakaian compang-camping menari lincah di atas panggung di gedung Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Kamis lalu. Mereka memakai topi berbentuk hewan liar, seperti buaya, babi hutan, dan harimau. Sembari menari, mereka berteriak-teriak urakan mirip segerombolan monyet yang sedang bermain di pepohonan di hutan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mereka adalah pemeran tokoh lelembut alias dedemit dalam pementasan Teater Koma dengan lakon Roro Jonggrang. Penggunaan pita yang bisa menyala di kegelapan atau glow in the dark pada kostum lelembut menjadi atraksi yang memukau. Sorot lampu ultraviolet dari atas panggung membuat kostum para hantu itu makin menyala. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pemimpin produksi Teater Koma, Ratna Riantiarno, mengatakan penggunaan pita glow in the dark untuk memberikan tampilan yang berbeda kali ini. Namun Ratna sempat bingung lantaran penggunaan pita ini membuahkan problem. “Otomatis panggung jadi lebih gelap. (Demi pita glow in the dark) malah wajah pemeran tidak kelihatan,” kata Ratna sambil tertawa.

Ratna mengatakan sutradara sekaligus penulis naskah Roro Jonggrang, Nano Riantiarno, sengaja menampilkan wujud setan dalam beragam warna. Menurut dia, Nano tak ingin terpaku pada pakem lelembut harus hitam dan kelam. “Lagi pula, zaman sekarang membedakan setan dan manusia sangat susah. Ini jadi hal yang menyentil,” tutur Ratna. 

Seperti alur cerita yang sudah diceritakan dalam legenda, para lelembut itu bergerak setelah dipanggil tokoh antagonis utama, yakni Bandung Bondowoso. Pria yang dikisahkan berwujud setengah raksasa dan setengah manusia itu punya keinginan kuat mempersunting putri Kerajaan Boko. 

Pertunjukan kelompok Teater Koma berjudul Roro Jonggrang di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 13 Oktober 2022. TEMPO/ Febri Angga Palguna

Selain tertarik pada kecantikan Roro Jonggrang, Bandung Bondowoso punya hasrat menaklukkan Boko. Terselip pula dendam lama sang pangeran Negeri Pengging itu untuk membalas perilaku Raja dan Ratu Boko.

Sebelum menjadi prabu, ayah dan ibu Roro Jonggrang adalah raksasa yang memangsa rakyat Kerajaan Pengging. Singkat cerita, Raja dan Ratu Boko dapat dikalahkan hingga menjadi abu oleh Bandung Bondowoso. Roro Jonggrang lantas mengupayakan berbagai cara untuk menolak lamaran Bandung Bondowoso.

Lebih dari itu, Roro Jonggrang berniat membunuh Bandung Bondowoso demi menuntaskan dendam. Roro Jonggrang sempat meminta Bandung Bondowoso membuatkan Sumur Jalatunda dan seribu candi sebagai syarat. Karena Roro Jonggrang terbukti curang lantaran mengelabui lelembut dengan suara kokok ayam, Bandung Bondowoso mengutuknya menjadi batu pelengkap bangunan seribu candi itu. 

Menurut Ratna, Roro Jonggrang dibikin dan dimainkan Teater Koma karena ingin mengangkat kisah legenda serta pewayangan. Sutradara berharap bisa mempopulerkan lagi cerita-cerita asli Indonesia di tengah maraknya anak muda yang terlalu gandrung pada budaya pop Korea Selatan. 

Menariknya, Roro Jonggrang sedikit bergeser dari pakem cerita yang biasa dimainkan oleh Teater Koma. Sebelumnya, mereka memainkan lakon-lakon dengan tema serius dan berat meski diwarnai sentilan dan banyolan yang mengundang tawa. Adapun Roro Jonggrang terasa ringan sekaligus jenaka. Ada beberapa dialog dengan bahasa kekinian.

Ratna mengatakan kreasi tim busana punya peran sangat besar mengubah kesan pertunjukan Roro Jonggrang menjadi lebih santai.

Pakem lain yang berubah dalam Roro Jonggrang adalah berkurangnya durasi penampilan. Biasanya Teater Koma memainkan satu lakon dengan durasi 4-5 jam. Karena itu, lazimnya, dalam satu pertunjukan, Teater Koma memakai jeda istirahat. Adapun Roro Jonggrang hanya berlangsung selama dua jam tanpa jeda.

Menurut Ratna, pengurangan durasi menjadi pilihan yang harus diambil Teater Koma. Sebab, pandemi Covid-19 membuat kebiasaan masyarakat bergeser. Salah satunya enggan beraktivitas di luar rumah hingga larut malam. Karena itu, Ratna khawatir pementasan dengan durasi lama bisa membuat penonton pulang larut malam.

Lagi pula, jeda istirahat dalam pementasan selama ini meninggalkan problem bagi Teater Koma. Sebab, para penonton biasanya tak tertib kembali ke kursi masing-masing setelah jeda selesai. Artinya, ada penonton yang terlambat masuk. Jika begini, penonton yang terlambat masuk bisa mengganggu penonton lain yang sudah duduk lebih awal. “Bahkan itu mengganggu kami yang tampil,” kata Ratna. 

Walhasil, Teater Koma memutuskan membuka peluang sejumlah judul lakon ditampilkan dalam durasi 2 jam hingga 2 jam 30 menit. Sebab, biasanya penonton akan betah duduk tak lebih dari dua setengah jam. “Hanya, lakon seperti Mahabharata tetap harus empat jam durasinya. Sutradara sudah enggak mau lagi diedit-edit,” kata Ratna sambil tersenyum.

Pemeran Roro Jonggrang, Sekar Dewantari, mengaku sangat tertantang memerankan tokoh legenda yang agung itu. Selain punya adegan yang banyak, peran Roro Jonggrang menuntut Sekar pintar-pintar mengolah emosi. 

Sebab, menurut Sekar, Roro Jonggrang harus bisa membatasi ekspresi emosi. Misalnya, saat Roro Jonggrang mengetahui ayah dan ibunya meninggal dibunuh Bandung Bondowoso, ia tak bisa menumpahkan emosi serta air matanya begitu saja. “Jadi, emosi Roro Jonggrang ini dibuat berlapis-lapis, tidak ditampilkan lurus begitu saja. Jadi, berliku-liku,” kata Sekar.

Beban lainnya, Sekar bercerita, sutradara Nano Riantiarno berpesan bahwa peran Roro Jonggrang ibarat Venus, Dewi Cinta dan Kecantikan Romawi. Walhasil, Sekar terpacu untuk maksimal mengekspresikan kecantikan dari peran Roro Jonggrang. “Cantik itu maksudnya bukan cuma wajah, tapi juga kecerdasan dan wibawa,” tuturnya.

Pertunjukan kelompok Teater Koma berjudul Roro Jonggrang. TEMPO/ Febri Angga Palguna

Sementara itu, pemeran Bandung Bondowoso, Rangga Riantiarno, justru mengaku lebih bebas memainkan peran tersebut. Sebab, sesuai dengan naskah, Bandung Bondowoso adalah sosok jahat nan gila. Rangga mengatakan proses pendalaman karakter Bandung Bondowoso ia mulai dengan menengok karakter Minak Jinggo. Sebab, kegilaan watak Minak Jinggo dalam Serat Damarwulan hampir mirip Bandung Bondowoso.

Salah satu tantangan terberat Rangga adalah menjaga ritme tawa sepanjang pertunjukan. Dalam penampilannya, Rangga mampu memainkan sejumlah karakter tawa, termasuk gerak-gerik konyol. Dia mengatakan, saat memulai latihan pada Juli lalu, ia baru menemukan satu tipe tawa untuk karakter Bandung Bondowoso. “Selama tiga bulan latihan, saya bisa menemukan beberapa tipe tertawa. Selain itu, saya harus pintar-pintar mengatur stamina agar bisa tertawa sepanjang mungkin,” ujar Rangga.

Pertunjukan lakon Roro Jonggrang dari Teater Koma bisa dinikmati di Graha Bhakti Budaya Taman Ismail Marzuki pada Kamis-Ahad, 14-16 Oktober 2022. Pertunjukan ini sekaligus menjadi pembuka gedung baru Graha Bhakti Budaya pasca-revitalisasi Taman Ismail Marzuki oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.

INDRA WIJAYA
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus