Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
THE WIND AND THE LION
Sutradara: John Millius
Pemain: Sean Connery, Candice Bergen dan Brian Keith.
AMERIKA ketika itu berani mengirim pasukan marinir dan kapal
perang untuk membebaskan para sandera. Itu masih zaman tiap
negara besar mengandalkan kekuatan armada atau gunboat policy
untuk melaksanakan kehendaknya, walaupun hanya untuk menghadapi
pemimpin kelompok penunggang kuda gurun pasir.
Kini hampir 75 tahun kemudian, Amerika juga melayani persoalan
serupa di Teheran. Kapal induk Kitty Hawk dan Midway berikut
sejumlah kapal perusak sudah dikirimnya mendekati perairan Iran.
Namun Presiden Jimmy Carter sangat bimbang untuk membebaskan
para sandera dengan kekuatan-militer.
Memang berbeda sikap Amerika waktu menangani krisis Tangier,
Maroko dalam tahun 1905. Dengan keberanian negara super power,
Presiden Theodore Roosevelt (Brian Keith) melakukan tindakan
militer yang berhasil membebaskan ketiga warga Amerika Ny. Eden
Pedecaris (Candice Bergen) dan 2 anaknya. Roosevelt memperoleh
dukungan politis rakyatnya, sedang pihak Inggris. Jerman dan
Prancis -- yang juga mendruh kepentingan di Tangier --
memberinya peluang untuk memakai kekerasan.
Tapi Raisulli (Sean Connery), tokoh penyandera itu hilang bagai
angin. Dengan jubah hitam dan senapan di atas kuda tunggang, ia
kembali ke tengah pengikutnya jauh di luar kota Tangier.
Sementara itu di sebuah gedung yang bagus, Presiden Roosevelt
dengan tangan gemetar membaca sepucuk surat yang dikirimkan
Raisulli. Bagian terakhir surat itu berbunyi " . . . saya pergi
kembali bagai angin, sedang anda tetap di sana seperti singa..."
Itu adalah adegan penutup film The Wind and The Lion yang terasa
dekat dengan peristiwa penyanderaan staf Kedutaan-besar Amerika
di Teheran. Sulit dibayangkan ketika itu, seorang tua tegap
seperti Raisulli -- tanpa minyak maupun deposito dollar di
berbagai bank -- berhasil memojokkan Amerika dengan menyandera
Ny. Pedecaris untuk memberi tekanan politik atas Sultan Maroko.
Roosevelt, yang naik ke Gedung Putih karena Presiden Amerika
McKinley ketika itu tewas ditembak, memanfaatkan isyu
penyanderaan ini untuk kampanye pemilihan Presiden. Ia
berkeliling Amerika dengan semboyan "Pedecaris hidup atau
Raisulli mati."
Raisulli adalah paman Sultan Maroko. Bangsawan ini tersisih dari
percaturan politik di kesultanan dan kecewa melihat pemerintahan
Maroko yang lemah dan tak berwibawa. Karena rasa harga diri yang
tinggi, Raisulli menyingkir ke gurun pasir. Dari sana ia
memimpin perlawanan bersenjata. Ia cemas dan gusar melihat upaya
Jerman, Prancis, Inggris dan Amerika yang berusaha keras
menanamkan pengaruh masing-masing di kesultanan. Tangier yang
terletak di mulut selat Gibraltar waktu itu memang sangat
penting artinya.
Untuk menekan kemenakannya yang masih muda itu, Raisulli memang
terlalu lemah. Apalagi ia menghadapi kemungkinan kekuatan asing
itu akan bersalu memeranginya. Satu-satunya cara yang dilihamya
akan berhasil adalah menyandera Ny. Pedecaris.
Ejekan Kulit Putih
Dengan gambar yang bagus dan kuat, sutradara John Millius
meletakkan pribadi Raisulli dan Roosevelt pada 2 kutub yang
berlawanan. Raisulli seolah mengemban misi keagamaan, namun ia
dengan pedang terhunus masih tetap melakukan pemenggalan --
walaupun rakyat miskin yang salah itu sudah berlutut meminta
ampun. Sikap yang demikian, di mata Ny. Pedecaris sebagai ejekan
orang kulit putih, sangat menjijikkan.
Beberapa kali Pedecaris berusaha melarikan diri, tapi gagal.
Untuk memancing kemarahan Roosevelt, Kaisulli mengirim potongan
jari tangan seorang wanita seolah jari tangan Ny. Pedecaris.
Tipuan tadi ternyata tak membawa hasil. Akhirnya Raisulli
menyerahkan sendiri Ny. Pedecaris ke markas tentara gabungan.
Bahwa dia mengambil risiko pergi ke markas itu, sutradara
menggambarkan kebesaran jiwa dan tanggungjawab Raisulli terhadap
sanderanya. Dia berharap peristlwa ini akan selesai secara baik.
Ternyata tentara gabungan memasang perangkap, dan dia terjebak.
Adalah Ny. Pedecaris dan kedua anaknya -- bersama marinir
Amerika pula yang kemudian membantu melepaskan Raisulli dari
jebakan itu. Para pengikut Raisulli menyerbu markas itu, sedang
pasukan marinir Amerika berbalik melawan tentara dari Eropa di
situ -suatu pencerminan kepentingan masing-masing yang berbeda
di Maroko.
Dan cerita ini berakhir dengan gambaran bahwa antara Roosevelt
dan Raisulli tidak ada lagi sakit hati.
Eddy Herwanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo