Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Deretan kursi yang disusun melingkar di dalam gedung De Majestic, Bandung, terisi oleh sekitar 50 orang, termasuk beberapa difabel netra. Baru saja tenang setelah pengaturan duduk dalam kondisi gelap, hadirin dikagetkan oleh bunyi bantingan pintu yang menggelegar. Sumbernya dari pelantang suara alias speaker yang berada di belakang mereka.
Cerita kemudian mengalir dari percakapan lima orang yang tengah menuju suatu tempat. Mereka berniat pergi ke dunia arwah lewat bacaan mantra. Tujuannya untuk mencari seorang saudara kembar yang meninggal setelah lahir. Saudaranya yang masih hidup mengaku penasaran ingin bertemu. Tapi, sesampai di alam gaib itu, mereka malah ketakutan hingga terbawa ke alam nyata.
Pertunjukan Los Harewos Audio Experience berjudul Prahara Tarawangsa itu terbagi dalam tiga babak. Awalnya, hadirin disuguhi tayangan video pendek sebagai pengantar cerita. Setelah itu mereka diajak masuk ke ruangan di dalam gedung yang dilingkupi tirai dengan kondisi minim cahaya. Sebelum ketegangan memuncak pada babak ketiga, ada jeda sekitar 15 menit bagi hadirin untuk rehat atau ke toilet.
Acara di bekas gedung bioskop yang berdiri sejak 1925 di Jalan Braga Nomor 1 Kota Bandung itu berlangsung pada 29-31 Juli 2022. Kreatornya melibatkan tim dari Creatilatory dan Fakultas Industri Kreatif Telkom University untuk menghadirkan pengalaman baru dari sebuah pertunjukan audio yang mengandalkan theatre of the mind.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Gedung De Majestic Jalan Braga, Kota Bandung. Tempo/Anwar Siswadi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jargon dalam dunia siaran radio itu mengalihkan citra visual hanya ke pendengaran hingga menumbuhkan imajinasi di setiap kepala. Suara menggeram, dialog, jeritan dan teriakan, serta efek bunyi lainnya mengentalkan suasana mencekam. "Pertunjukan horor ini menarik untuk diapresiasi karena kita mengalami perasaan dari bunyi," ujar Wanggi, seorang penonton, Jumat malam, 29 Juli lalu.
Penataan suara pertunjukan, menurut dia, berperan dalam membangun ketegangan hingga membuat beberapa hadirin panik. Meski cerita horornya tergolong lazim tentang dunia gaib dan nyata, dia mendapat pengalaman baru dari unsur bebunyian. Dari skala 1-5 untuk tingkat horornya, Wanggi menyebutkan angka 4. “Dari hasil riset kami, belum pernah ada pertunjukan audio,” kata produser pelaksana sekaligus penulis naskah, Hagi Hagoromo.
Di tengah limpahan tayangan video di media sosial, seperti ada kerinduan lama untuk "melihat dengan telinga" sambil berimajinasi. Inspirasi pertunjukan audio itu, antara lain, berasal dari fenomena sandiwara radio yang populer pada era 1980-an. Dalam ingatan Hagi, misalnya, masih melekat beberapa judul lakon sandiwara radio, seperti Saur Sepuh dan Tutur Tinular.
Kini mereka membuat konsep pertunjukan yang mengajak orang untuk datang, duduk di suatu ruangan tertutup, dan mendengarkan cerita bersama-sama. Dari sekian jenis cerita, dipilih kisah bertema horor dengan berbagai dalih, seperti dari sisi tren hingga kesehatan. “Pilih horor karena cerita itu yang paling kuat sebagai stimulus untuk membangkitkan imajinasi,” tutur sutradara pertunjukan, Ari Marifat.
Dari aneka cerita horor yang berseliweran, tim kreatif melirik kisah mistik tradisional. “Ceritanya lebih seram dibanding kisah mistik urban,” ujar Hagi. Tarawangsa, sebagai kesenian daerah sekaligus nama alatnya, menjadi latar kisah yang dibangun pada masa sekarang. Kesenian rakyat yang menggunakan instrumen berdawai gesek itu biasanya digelar pada acara ritual panen padi seperti di Sumedang dan Tasikmalaya hingga penarinya ada yang kesurupan.
Untuk membangun theatre of the mind yang maksimal, tim menghadirkan tata suara melingkar atau surround system dengan lima speaker dan sebuah saluran subwoofer. Sedangkan rekaman ceritanya melibatkan lima pengisi suara. Di antaranya Dian Dipa Chandra alias Candil, bekas vokalis band Seurieus, serta biduan Tiara Effendy. “Tertarik ikut karena ini pengalaman baru dan menantang,” ujar Tiara.
Soal peran, dia mengaku tak kesulitan karena punya beberapa kesamaan karakter. “Bedanya di peran itu tokohnya lebih berani, saya enggak,” kata Tiara. Tanpa pengalaman menjadi pengisi suara, dia harus beradaptasi dengan kondisi saat proses rekaman. Luas ruangan yang terbatas membuat gerak tubuhnya tidak leluasa, seperti untuk berteriak. “Pada adegan teriak-teriak ternyata suaranya over. Jadi, harus diulang.”
Sutradara Ari Marifat pun ikut berteriak-teriak untuk memberikan contoh kepada para pemain. Pengalaman baru itu memberikan tantangan yang berkesan. “Perut saya sampai keram,” ujar dia. Sama seperti pendengar ceritanya, menurut Ari, setiap pemain pun mengandalkan imajinasi ketika bersandiwara.
Kondisi itu, misalnya, ikut membuat Candil kesusahan dalam adegan bertarung karena dia harus menghadirkan suasana itu hanya lewat suara. Tantangan itu dinilainya menyenangkan. “Kalau mendengar audio itu imajinasi jadi lebih liar dan kesannya mendalam," ujar dia.
Pertunjukan audio horor di gedung De Majestic Jalan Braga no. 1 Kota Bandung berlangsung 29-31 Juli 2022. Tempo/Anwar Siswadi
Sementara itu, di luar gedung pertunjukan, marak aktivitas warga yang berfoto dengan para costume player alias cosplayer. Selain berkostum superhero atau tokoh kartun, sebagian berdandan seram, seperti pocong dan kuntilanak.
Kemeriahan suasana horor itu muncul sejak sekitar lima tahun terakhir di sekitar Gedung Merdeka hingga ke Jalan Braga yang menjadi lokasi gedung De Majestic. Area itu pun seperti tumbuh menjadi pusat hiburan bernuansa horor di Bandung.
ANWAR SISWADI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo