Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DI bawah ini wawancara dengan Retno Maruti. Profilnya pantas
dipasang sebagai salah seorang wanita Jawa yang dapat
diandalkan baik sebagai penari maupun penata tari. Ia sudah
menari 26 tahun. Punya puteri seorang, berusia 7 tahun.
Pekerjaannya dosen tari di LPKJ.
Apa yang anda maksud dengan identitas yang anda temukan itu?
Kalau Sardono karyanya macam itu, dulu saya belum ada ciri. Di
dalam Palgunadi, saya tidak seramah dulu lagi. Apa yang
diungkapkan tidak real atau nyata. Misalnya adegan perang tidak
perlu jotos-jotosan. Mati tidak diungkapkan dengan cara jatuh
dan lain-lain. Seperti kita membaca sajak. Selama ini kita
terlalu banyak terpengaruh cara pengungkapan cerita wayang.
Kalau melihat wayang, kita kan seperti diceritain. Kita menerima
yang sudah jadi, selesai, tak usah mikir. Saya tak mau lagi
begitu.
Kenapa peran pria dikembalikan kepada pria?
Supaya lebih jelas pengungkapannya. Bentuk ini lebih berat,
sebab dalam nyanyian, movement harus jalan terus. Tahun 1969
saya muncul dengan tokoh-tokoh, tanpa tarian massal. Tahun 1976
saya muncul dengan Damar Wulan dan memperbanyak penari massal.
Sekarang semua pemain berada di pentas, terus menari
berganti-ganti tanpa perubahan kostum. Pada dasarnya saya
mengembalikan dalam bentuknya yang dulu. Dalam tari Jawa itu ada
patokan gerak, nah itu ingin saya kembalikan kemurniannya. Kalau
orang mau kreasi, sekalian saja yang kontemporer, jangan
setengah-setengah. Saya tak mau mencampur-campur tari Jawa
dengan Bali misalnya. Tari klasik tidak perlu diubah bentuknya,
ia sudah sempurna. Memang dalam penggarapan harus disesuaikan
gerak dan temponya, tapi bukan bentuknya.
Ada perubahan dalam kostum? Kostum kami sederhanalan. Kalau
memakai kostum klasik, repot. Puterinya tak pakai sanggul.
Puteranya tidak pakai irah-irahan (topi) tapi pakai blangkon
saja.
Apa yang mau anda ungkapkan dalam Palgunadi?
Saya mencoba tidak patuh kepada cerita wayang yang ada. Dalam
cerita wayang biasanya yang jahat benar-benar jahat, yang baik
benar-benar baik. Saya tidak percaya ada orang semacam itu.
Dalam Palgunadi, meskipun kesatria, seharusnya jangan terlalu
patuh pada guru.
Bagaimana cara anda bekerja?
Anggota grup tidak diikat. Siapa yang butuh akan datang. Siapa
yang membutuhkan orang lain, akan pergi. Saya lebih suka
mengambil lemari yang belum jadi. Saya hanya melatih pemain
puteri, penari pria dilatih oleh Sulistya S. Tirtakusuma.
Kenapa?
Mungkin karena saya wanita, sesuai dengan kodrat saya. Dulu saya
punya grup terdiri dari wanita semua. Tapi ternyata tidak bisa
wanita-wanita saja. Harus ada kompromi. Suami saya bertindak di
dalam grup sebagai penasehat, kami selalu tukar pikiran sebelum
dan sesudah pementasan.
Bagaimana memisahkan diri scbagai penari dan penata tari?
Kalau hanya sebagai penari, kita tidak memikirkar orang lain,
kalau kita sendiri sudah bagus, ya sudah, peduli orang lain.
Kalau pencipta tidak bisa begitu. Saya, seperti juga Sentot dan
Sardono, adalah penari-penari liar, bukan akademis.
Apa pendidikan formil anda?
Akademi Administrasi Negara (AAN).
Apakah anda dapat hidup dari menari di TIM?
Kepuasan itu lho. Kalau uang, mungkin lebih baik menari di hotel
atau sebangsanya. Waktu saya masih di Sala, bicara tentang uang
dari hasil tari adalah tabu, jadi sudah terbiasa bahwa menari
bukan uang sasarannya. Hidup dari profesi menari sebenarnya
tidak bisa, apalagi dengan wadah TIM.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo