Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teroka

Sebuah Jalan Bertangga-tangga

Irawan Sandhya Wiraatmaja

27 April 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dari sebuah jalan bertangga-tangga, melingkar
Berkelok-kelok, kita masih mencoba berjalan dengan kayu
Yang terbelah ujungnya, menahan kaki yang berat

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Melihat keluasan bukit, pepohonan dan daun
Daun yang luruh, dalam timbunan tanah yang merah
Kita harus pulang, katamu di ujung batas jejak

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lamat-lamat kita mendengar, suara desir dan gemercik
Siapa yang membawa butiran gerimis
Ke dalam goa, kedalaman stalaktit dan jauh berjarak

Kau menggeleng, cuaca berubah di luar

Di atas dinding, beterbangan burung-burung kecil
Dari sarang yang lama dilupakan sebagai rumah
Sebuah keinginan dan gairah yang menggigil

: di manakah kita, di mana kau dan aku bermuasal?

Januari 2019.


Hujan Di Balik Jendela Yang Berkabut

hujan yang memanggil nama-mu, dengan suara berbisik

jatuh di balik jendela. Cuaca buram dan berkabut tak terlihat
warna butiran air dalam bentuk partikel kecil, seperti berkarat

tercium bau rerumputan ilalang, menyebar ke jalan-jalan
yang basah, tak menyisakan bayang-bayang siapa pun, hanya
sebuah gerak yang berkelebat memintas dalam garis bersudut

di antara ruang-ruang rumah, yang terdiam dalam masa silam
"hujan masih menulis di kaca yang berpantulan, cahaya
berloncatan dari satu titik gelap ke titik yang senyap," yang
berangkat dari tiada yang kekal adalah tubuh yang menghampir waktu.

Januari 2019.


Apakah Hidup Katamu

apakah hidup ini seperti kertas? Katamu sambil membayangkan
masa kecil yang jauh, serupa bayang-bayang
berkelebat ditinggalkan cahaya matahari yang berpendar
ada yang bersijingkat diam-diam sebelum tiba jarak kekekalan

apakah warnanya? Kalau ia putih, akan kosong dan tak berisi apa-apa
mungkin saja kau akan merasa kehilangan, garis, butiran huruf
atau tanda-tanda yang menjadi sebuah makna, yang luput
untuk diberikan sebuah napas bagi kehidupan

bukankah bisa melayang atau sobek? Sebagai sesuatu yang rapuh
atau rentan terhadap angin yang berdesir atau suara-suara
yang membuatmu gemetar dan tak bisa bergerak

kembalilah pada muasal! Serumu di kedalaman ruang yang samar
samar, gelap dan tak ada warna selain hitam
dan kita pun akan terus bertanya, apakah hidup, apakah ia terbenam?

Akhir Februari 2019.


Irawan Sandhya Wiraatmaja
lahir di Jakarta, 21 Juni. Buku puisinya, Giang Menulis Sungai, Kata-kata Jadi Batu (2017, memenangi Anugerah Puisi Utama HPI pada 2017.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus