Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MARIE ANTOINETTE Sutradara: Sofia Coppola Skenario: Sofia Coppola Berdasarkan buku Marie Antoinette, the Journey Pemain: Kirsten Dunst, Jason Schwartzman, Judy Davis Produksi: Columbia Pictures, Pricel, Tohokushinsa, American Zoetrope Production
Bagi Sofia Coppola, dunia sejarah Prancis adalah kanvas yang boleh saja dicat dengan warna dasar merah jambu. Dalam film terbarunya, Revolusi Prancis yang biasanya digambarkan banjir darah tiba-tiba saja menjadi kelebatan yang hampir tak penting. Revolusi itu seperti sehelai benang tajam yang pernah mengiris daging sejarah dan menumpahkan lautan darah. Tetapi darah itu pun tak perlu disorot kamera. Bagi dia, itu bukan fokus cerita.
Dengan cat merah jambu itulah kita semua harus membayangkan kehidupan dan isi hati Marie Antoinette. Coppola memulai drama ini dengan kepolosan dan kecantikan Marie Antoinette (Kirsten Dunst), yang baru berusia 14 tahun dan sudah harus mengalami sebuah perkawinan politik dengan Louise XVI, putra mahkota Austria yang baru berusia 15 tahun dan tak paham bagaimana cara bercinta.
Hari-hari pertama Marie Antoinette sebagai istri Louise XVI adalah perkenalannya kepada istana Prancis yang megah dan mewah. Sikap Coppola yang simpatik terlihat dari fokus cerita yang memperlihatkan tekanan para tetua istana hingga protokol yang rigid terhadap si gadis kecil. Malam setelah malam, bulan demi bulan, bolak-balik kita kemudian menyaksikan seorang calon raja yang tak kunjung mampu bercinta, hingga akhirnya sang kakak ipar perlu diimpor untuk menjelaskan soal ”tubuh wanita”. Intrik di dalam istana, pengaruh selir raja Madame du Barry terhadap raja, dan sikap para saudara kepada Marie Antoinette tergambar dengan lincah dan seru. Untuk penggambaran keasingan dan adaptasi seorang gadis di dalam lingkungan asing, Coppola memang prima. Ingat penggambaran seorang wanita Amerika di Jepang dalam film Lost in Translation yang dahsyat itu?
Dengan kehidupan penuh tekanan terhadap Marie Antoinette untuk segera mendapat keturunan, Coppola seolah memberikan sebuah permakluman bahwa gadis remaja yang terlalu muda untuk menjadi ratu itu—setelah Louise XV wafat dan putra mahkota naik takhta—mencari penyaluran kepada daya hidup hedonis yang mengerikan. Itu semua divisualkan melalui rangkaian pesta mewah yang tak berkesudahan, baju-baju dengan dandanan rambut setinggi gunung, dan ribuan pasang sepatu yang bergonta-ganti. Diiringi musik rock yang berdentam, sesekali kita seperti tengah menyaksikan gaya hidup Paris Hilton versi klasik yang seolah menjalani kemewahan hidup sebagai takdir belaka. Dalam film ini, reaksi masyarakat absen total kecuali pada akhir cerita. Itu pun hanya diberi beberapa detik kilasan demonstrasi di istana.
Film Coppola yang sangat menekankan empati kepada sosok ratu yang paling dibenci di Prancis ini memang sebuah langkah berani dan kontroversial. Kirsten Dunst memenuhi segala visi Coppola; dia menampilkan Marie Antoinette yang naif, jelita, dan menganggap berpesta-pora sebagai bagian dari takdir yang terelakkan, bukan bagian dari keserakahan dan sifat rakus. Bahkan kalimat terkemuka ”berikan saja kue itu kepada mereka”, (maksudnya kepada rakyat jelata yang kelaparan) absen. Pemberontakan ke Bastille absen. Apalagi peristiwa pemenggalan leher raja, ratu, dan seluruh bangsawan Prancis.
Ini memang bukan sebuah film sejarah, bukan sebuah biopik yang bersetia kepada kesepakatan historis. Ini sebuah pandangan empati seorang sineas yang tengah gandrung pada warna merah jambu di atas kanvasnya.
Leila S. Chudori
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo